AKU PERNAH HIDUP. Angan-anganku menggeliat di setiap derap langkah kaki yang cemerlang. Kata ibu, kau adalah gadis ceria yang senang menebar kemurahan serta kebahagiaan. Ayah pernah bilang bahwa, kau punya pipi yang merekah bagai potongan langit senja kemerahan. Aku pernah hidup, memang pernah hidup, dan selamanya akan tetap hidup.
Kemarin hari ulang tahunmu, kan, Bu? Lewat jendela kumuh itu, langit temaram terasa damai. Kepada bintang-bintang yang berserakan, juga kepada bulan yang mencorong, kuucapkan selamat ulang tahun untukmu. Semoga cahaya lembutnya menghantarkan ucapan tulus itu. Bagaimana kabar Ayah sekarang? Apa semuanya baik-baik saja? Aku merindukan keluarga kecil kita yang hangat serta penuh tawa. Bisakah kita kembali kumpul bersama? Aku masih hidup ... dan akan tetap hidup.
Di suatu tempat, entah di mana, tubuh yang kata orang bongsor ini terbaring masih mengenakan seragam hari Kamis. Ibu benar, tubuhku bertambah tinggi, rok merah kotak-kotak ini tak lagi memayungi hingga kedua lutut. Teman-teman juga mengatakan kalau seragam hari Kamisku telah menyusut. Ayah akan membelikan seragam baru yang lebih besar, kan? Aku ingin memakainya di hari Kamis berikutnya. Tinggal dua hari lagi. Apakah bisa?
Ibu ... Ayah ... di sini gelap dan dingin. Makanannya juga tidak enak. Aku tidak bisa bergerak, tangan dan kaki ini terasa lumpuh sehingga dia terus menyuapiku— secara paksa. Sepertinya ia tidak dianugerahi tangan yang pandai memasak. Bahkan, masakan rumah sakit jauh lebih enak. Aku ingin menyantap hidangan yang selalu Ibu buat ketika sarapan, atau camilan yang sering Ayah bawa ketika pulang kerja. Dia menyajikan makanan terburuk yang pernah ada, bahkan jarang memberiku minum. Piringnya juga tak pernah dicuci. Aku ingin pulang! Perut yang kelaparan ini meraung tak tertahankan. Dia sungguh biadab.
Hari ini hujan turun lagi. Apakah atap di rumah masih bocor? Kasurku selalu basah kena air hujan. Apakah Ibu menaruh wadah di atas kasurnya sekarang? Atau Ayah telah membetulkan atapnya? Di sini tidak ada atap yang bocor, tapi udaranya jauh lebih gila. Dia membiarkanku berbaring di lantai keras dan kotor ini, bahkan tak memberi sehelai kain tipis pun. Sekujur tubuhku gemetaran menahan dingin yang luar biasa. Terkadang, dia memelukku hingga bulir keringat mengucur. Bau menyengat pun menggelayut di mana-mana. Aku ingin pulang! Kapan kalian akan datang menjemput?
Setiap saat, mataku selalu menatap jendela kumuh itu, berharap kalian datang dengan senyum menenangkan sebagaimana mestinya. Dia bukan orang yang berperasaan sejak awal kami bertemu. Makhluk tersebut kasar dan tak punya hati. Malam itu, di jalanan yang sunyi, bahkan saat lampu-lampu jalan pun belum tertidur, sekonyong-konyong ia datang dan menyergap; menutup mulutku rapat-rapat. Tubuh bongsor yang mendadak menciut ini meronta-ronta memberikan perlawanan. Akan tetapi, tangannya semakin brutal menghantam apa saja sehingga penglihatanku menjadi sehitam langit malam itu. Kejadiannya begitu tiba-tiba dan secepat kilat. Ibu ... Ayah ... dia bahkan lebih menakutkan daripada hantu yang ada di film horor. Ia mengurung dan menyiksaku di tempat mengerikan ini. Tangan dan kakiku diikat, mulutku dipaksa melahap setiap makanan yang bahkan binatang mana pun tak mau menyantapnya. Seluruh tubuh ini rasanya sakit dan tak berdaya.
Kalian akan datang, kan? Kita akan pergi melihat kembang api tahun baru nanti. Ayah sudah berjanji akan membawaku melihat menara-menara tinggi di luar negeri. Ibu juga berjanji akan membelikan mantel musim dingin. Bagaimana dengan salju? Kita akan melihatnya bersama-sama, kan? Aku ingin tetap hidup! Tolong datang dan jemput aku sekarang. Temukanlah aku sebagaimana kalian menemukan tempat persembunyian masa kecilku.
Di sinilah jiwa dan ragaku terbaring. Gadis pemimpi yang pernah memiliki semangat melambung hingga ke lengkungan tertinggi langit. Aku memang hidup. Namun, takkan jadi gadis ceria lagi seperti kata Ibu. Mungkin, rona di pipi yang kata Ayah merekah telah berubah menjadi suram. Akan tetapi, aku pernah hidup, benar-benar pernah hidup, dan selamanya akan tetap hidup. Datanglah dan biarkan aku memiliki kehidupan lagi walau tidak secerah sebelumnya. Datanglah sebelum semuanya berakhir. Jangan biarkan pertahanan ini lenyap.
Ibu ... ayah ... cepatlah datang. Dia menghampiriku dengan seringai menyeramkan mengambang di wajahnya. Berlarilah dan selamatkan aku sebelum dia kembali membuka celananya seperti malam-malam sebelumnya.