"Lis, izinin aku tidur di sini, ya," bujukku memelas sembari menepuk pelan bahu istriku yang pura-pura mengatupkan mata. "Aku janji gak akan sentuh-sentuh setitik pun tubuhmu. Di luar dinginnya minta ampun, tak tahan aku tidur di sa-" tanganku berhenti menepuk-nepuk bahunya ketika sepasang mata beringas itu mendadak membeliak. Jantungku melompat kaget.
"Kalau Mas mau tidur di sini, silakan. Biar aku yang tidur di luar!" serunya galak. Tanganku spontan memberi isyarat berhenti ketika tubuhnya hendak bangun.
"Ya sudah, gak usah, Lis. Aku saja yang tidur di luar." Aku pun menyerah dan kembali ke sofa butut yang tidak ada empuk-empuknya sama sekali; menjauhi istriku yang mendekam dengan nyaman di antara kasur dan selimut bulu bau minyak gosok. Istriku yang sering mengeluh masuk angin itu rutin membalurkan minyak berbau rempah-rempah sebelum tidur, menyebabkan baunya menempel pada selimut usang hadiah dari pernikahan kami 10 tahun lalu. Meringkuk dalam sarung tipis kotak-kotak, tubuhku menggeliat mencari posisi paling nyaman di atas sofa bersisakan karet ban dan kayu keras, dan hanya sedikit saja spon yang tertinggal. Kerasnya bukan main. Dipakai duduk pun tak nyaman, apalagi dipakai untuk tidur. Namun, sofa butut ini barangkali lebih baik dari pada tidur beralaskan samak. Paling tidak, tubuhku tak harus menderita akibat dinginnya lantai peluran. Walau tetap saja angin bisa menyelinap lewat sela-sela jendela dan bilik rumah yang bolong di berbagai sudut, membuat tubuhku gemetaran.
"Lis, apa kamu gak kangen sama aku?" tanyaku, berharap bisa meluluhkan kebekuan hatinya.
Tak ada jawaban.
"Lis, kita gak bisa seperti ini terus. Kita harus saling bicara dan-"
"DIAM!"
Ketika perintah seperti itu sudah melesat dari mulutnya—bagai komandan Paskibra yang suaranya lantang dan tegas—maka aku harus mematuhinya. Keheningan pada akhirnya kembali menghajar.
Tega sekali istriku. Sudah sebulan lamanya ia tak sudi tidur seranjang. Jangankan melakukan hubungan suami-istri, baru kubelai kepalanya saja sudah mengamuk, bagai orang yang kerasukan. Ditatapnya mata sipit itu barang lima detik saja, benda apa pun yang ada di dekatnya langsung mendarat di wajahku. Pupilnya melebar nyaris menyerupai orang sekarat. Kalau sudah begitu, yang bisa kulakukan hanyalah mengalah dan angkat kaki dari hadapannya. Tak ingin membangun perdebatan yang sekonyong bisa memicu penyakit darah tingginya semakin parah. Dia dulu adalah wanita jinak dengan senyum memesona yang selalu menyapaku setiap pagi hingga malam. Nada bicaranya seramah penyiar radio di saluran nomor 3, yang biasa menerima request lagu dari para pendengar. Begitu sopan dan ramah masuk ke dalam telinga. Semua kelemah-lembutannya itu menguap ketika pasokan ekonomi yang kuberikan tak lagi mampu membuat wajahnya terpoles bedak. Istriku merupakan wanita yang gemar merawat diri. Dulu, ia tak pernah mau pergi keluar tanpa memoles wajahnya atau membalurkan krim anti sinar matahari ke sekujur tubuhnya. Sekarang, jangankan merawat diri, mempertahankan perut tetap terisi makanan pun rasanya memengapkan. Semenjak satu per satu emas di tubuhnya terpaksa dilepas, sifat ganasnya pun mulai terbentuk. Ia sering marah-marah hingga tensinya meninggi. Yang paling parah adalah ketika kami terpaksa menempati gubuk reyot peninggalan mendiang buyutku ini. Penghasilanku dari mencabuti rumput liar tak lagi sanggup membayar biaya kontrakan. Dari situlah awal mula kami tidur terpisah.
Suara isakan yang teredam sesuatu membuyarkan lamunanku. Seketika hati ini mencelus mendengarnya. Istriku pasti sedang menangis dengan selimut membekam mulutnya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Sudah tak terhitung berapa kali telinga ini mendengar rintihan tersebut. Hatinya pasti hancur sekali harus hidup menderita.
Aku memang pengecut.
***
Ketika melewati hutan yang berada di kaki gunung untuk menuju sawah milik Ki Unang, kepalaku teringat cerita-cerita dari mendiang kakek buyutku. Konon, jauh di tengah-tengah hutan ada pohon kiara yang usianya nyaris seabad. Setiap kali melewati hutan ini, yang muncul dalam pikiran masa kecilku—bahkan hingga sekarang—ialah sosok beruk yang mendiami pohon tersebut. Makhluk menyeramkan itu ditutupi bulu lebat berwarna kelabu dengan mata merah menyalang, begitulah penuturan kakek buyutku. Dulu kakiku selalu pontang-panting ketika melintasi hutan ini, tapi sekarang hal tersebut sudah tak lagi mengancam.
Menurut mata batin yang dimiliki oleh kakek buyutku, beruk tersebut bisa memberi kekayaan. Ada beberapa orang yang tiba-tiba meruah hartanya, dan kakek buyut meyakini mereka meminta pertolongan pada si beruk buruk rupa.
Tiba-tiba pemikiran konyol melintas. Jika aku meminta kekayaan pada makhluk tersebut, istriku pasti gembira ketika pundi-pundi kembali mengisi kekosongan saku. Ia tentunya akan memberikan kembali wajah serta tubuhnya perawatan. Emas-emas yang sempat dicabut bakal menghiasi setiap lekuk tubuhnya lagi. Lantas, kami pun akan kembali tidur bersama dan saling melepas pakaian. Ah, menyenangkan sekali rasanya. Namun, nasihat kakek buyut tiba-tiba saja membuyarkan itu semua. Jangan pernah meminta bantuan pada makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia. Sial.
Aku pun melanjutkan perjalanan ketika tersadar telah menghabiskan beberapa menit lamanya termenung sambil mengerawang ke dalam hutan. Langkah ini semakin lebar mengingat tugas mencangkul yang menunggu di sawah milik Ki Unang seolah memanggil situasi krisisku yang gersang. Upah mencangkul dua kali lipat lebih besar daripada mencabuti rumput liar. Semoga saja uang yang nanti kubawa pulang bisa membeli senyuman istriku.
***
Waktu seolah berlari hingga sinar matahari sudah meninggi ketika petak terakhir selesai kugarap. Pekerjaan seperti ini menguras banyak tenaga, cukup membakar lontong serta gorengan yang disuguhi Ki Unang secepat kilat. Walau begitu, kegiatan ini bisa dikatakan mudah karena kondisi tanahnya yang berair. Hasil tanganku memang tidak secepat Mang Solih—mantan pekerja Ki Unang. Namun cukup membuat senyum puas di wajah Ki Unang mengembang.
Perutku meraung minta diisi asupan lagi. Segera setelah berpamitan dan menerima upah hari ini, kutarik kakiku dengan cepat menuju jalan pulang. Berharap istriku berbaik hati menyediakan makanan walau hanya nasi tanpa lauk pauk.
Setibanya di rumah, hidangan sederhana telah tersaji. Akan tetapi, gelagat aneh mencuat dari istriku. Sambil terisak di dalam kamar, kudengar dirinya tengah melakukan sesuatu yang mencurigakan. Merasa ada yang tak beres, kuputuskan untuk memeriksanya. Benar saja. Ia tengah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas.
"Apa yang kamu lakukan, Lis?" tanyaku.
Dengan mata yang sembap, ia memelotot, seolah penderitaannya tengah memberontak. "Aku mau pergi ke rumah orang tuaku!"
"Tapi kenapa, Lis?" tanyaku keheranan mengingat kedua orang tuanya juga hidup melarat.
"Aku muak, Mas. Aku kira menikah denganmu itu bisa memperbaiki kehidupanku, tapi nyatanya tidak. Hidupku sama saja menderita, malah makin menderita dengan ulahmu!"
"Ulahku? Ulah macam apa yang membuatmu muak?"
"Kamu pemalas dan menjijikkan!"
"Apa?"
"Aku sudah tak tahan lagi. Kamu itu pengecut! Kamu manusia paling bodoh yang pernah kutemui!"
Sesuatu yang menyakitkan menerjang hatiku. Wanita ini benar-benar telah meruntuhkan langit kesabaran. Tubuhku lelah sekali dan sekarang ia menghinaku habis-habisan. Aku mengangkat tangan hendak menamparnya, tapi urung ketika ia mulai menangis kencang.
"Tampar saja aku, Mas. Ucapanku memang keterlaluan. Setidaknya aku telah berkata jujur padamu. Kau memang menjijikkan!"
Tanpa berkata-kata lagi Lilis—istriku—mengambil tas yang baru terisi beberapa pakaian itu dan segera hengkang. Masih disambar gejolak kemarahan, aku hanya bisa melantingkan piring berisi nasi yang baru dimakan separuh itu hingga berhamburan.
Moncong tak kasat mata seolah membisikkan sesuatu. Ingatanku kembali pada hutan di kaki gunung, tempat si beruk buruk rupa bersembunyi. "Aku akan mendatangi monyet itu dan meminta kekayaan padanya. Bagaimana pun, Lilis tak boleh meninggalkanku. Aku tetap mencintainya walau ia sudah melukai hatiku"
***
Kuputuskan untuk menemui si beruk buruk rupa.
Memasuki hutan yang dibungkus oleh kegelapan malam, rasanya sengatan panik menjulang di hadapanku. Berbekal senter yang sudah dipastikan terisi penuh daya baterainya, keraguan menyebabkan langkahku tersendat-sendat. Namun, hasrat untuk memperoleh kekayaan begitu pekat. Bayangan istriku yang seolah akan pergi selamanya membuat tekad ini semakin mantap. Sekilas nasihat kakek buyut berkelebat. Namun segera kusingkirkan.
Suara-suara binatang malam setidaknya meramaikan keheningan walau terkadang kedengaran angker. Dengan penerangan ala kadarnya, pupilku nyaris tak mampu mendeteksi hadirnya bahaya. Berkali-kali kaki ini tersandung batu atau onggokan kayu. Mengerem kaki sejenak, kupikir hutan telah menelan sosokku lebih dalam. Pepohonan berjejer penuh sesak, semak-semak perdu kelihatan bergerak-gerak dengan sendirinya. Akan tetapi, pohon kiara itu tak kunjung kelihatan. Pemandangan seperti ini membuatku sulit menelan ludah. Kuputar leher ketika sesuatu seperti sedang mengikuti. Namun, tak ada apapun di belakang sana. Mungkin ini hanya pikiranku saja yang gentar. Perjalanan pun kembali berjalan.
Ketika keputusasaan nyaris memuncak, akhirnya kutemukan pohon raksasa yang mencagun dengan kokoh. Batang-batangnya menjulur secara serampangan, membentuk diameter yang sama besarnya dengan kolam ikan milik Ki Unang. Kengerian serta kepuasan seketika bersatu padu. Pasti ini adalah pohon kiara tempat si beruk itu bersemayam. Kuarahkan senter pada pohon tersebut untuk mengamatinya lebih jelas. Ketika cahaya senter menjangkau puncak pohon, sesuatu yang besar melompat dan jatuh sempurna di hadapanku. "Astaga!" Tanpa sadar jerit ketakutan keluar.
"A-pa kau si beruk i-tu?"
Seekor makhluk yang dipenuhi bulu berwarna kelabu berdiri. Matanya merah menyalang—persis seperti yang dikatakan kakek buyut. Perawakannya besar dan berotot. Bahkan, aku merasa mungil daripadanya. Hanya saja jangkungnya sepuluh senti lebih pendek dariku. Sebuah ekor meliuk-liuk di belakangnya. Ia menarik mulutnya sehingga menampilkan senyum menyeramkan.
"Ya. Aku adalah makhluk yang kau maksud."
Mengenyahkan rasa ngeri, kutatap wajahnya yang membengkak di bagian rahang. Apakah makhluk yang buruk rupa ini benar-benar bisa memberikan kekayaan? Keraguan mulai merayapiku.
"Sudah lama sekali tak ada manusia yang mendatangiku. Apa yang kau mau?"
Tanpa berlama-lama kuceritakan apa yang kuinginkan darinya. Selagi berbicara, beruk tersebut menggaruk-garuk bagian tubuhnya. Sempat terlintas untuk kabur karena tak tahan dengan kengerian ini, tapi pada akhirnya aku tetap bertahan.
"Sudah kuduga hal itu yang akan kau minta. Satu hal yang harus kau ketahui terlebih dahulu bahwa setiap permintaan harus ada pengorbanan." Terlihat seringai samar dalam wajah jeleknya.
"Pengorbanan seperti apa?"
"Berikan padaku jantung orang yang kau sayangi, maka akan kukabulkan permintaanmu."
"A-pa? Maksudmu aku harus membunuh orang yang kusayangi?" tanyaku dengan nada meninggi.
"Ya. Kemudian berikan jantungnya padaku."
"Tidak bisa!"
"Seperti itulah peraturannya. Jika kau tidak bisa melakukannya maka permintaanmu takkan kukabulkan."
Tiba-tiba saja beruk buruk rupa itu memanjat pohon dengan cepat, diiringi cekikiknya yang menyeramkan. Kesal karena main pergi begitu saja, kutinju salah satu sulur pohon hingga patah. Apa-apaan ini?
"Sial. Apa yang harus kulakukan?!"
***
Sepulangnya dari hutan, aku meringkuk dibawah selimut bulu bau minyak gosok. Lilis benar-benar pergi dan entah kapan kembali. Ingin sekali tangan ini memeluk tubuhnya, sambil menceritakan kengerian yang baru saja kualami. Walau taruhannya ia akan mencercaku habis-habisan karena ulah bodoh yang kulakukan. Wanita berpinggang ramping itu satu-satunya yang kupunya. Mana mungkin nyawanya dibiarkan menjadi tumbal untuk seekor beruk buruk rupa. Aku menyesal telah melanggar pepatah kakek buyut. Takkan pernah kulakukan hal semacam itu. Sumpah!
Yang kuinginkan hanyalah uang agar Lilis kembali lagi. Dulu, sewaktu menjadi supir di sebuah pabrik makanan beku, hidup kami bisa dikatakan berkecukupan. Namun, ketika kemalangan menimpa, semuanya berbalik drastis. Di suatu malam apes, tak sengaja mobil yang kukendarai menabrak sepeda motor. Seluruh benda berharga pun terpaksa dijual untuk mengganti banyak kerugian. Terkena sengatan traumatis, aku memilih bekerja serabutan seperti mencabuti rumput liar atau mencangkul. Paling tidak, pekerjaan tersebut lebih aman. Walau secara ekonomi tentu tidak aman bagi rumah tanggaku dengan Lilis.
Sebagai seorang lelaki aku memang pengecut.
"Lis, apa yang harus kulakukan supaya kamu bisa bahagia hidup denganku? Aku tak bisa hidup tanpamu. Tolong maafkan aku, Lis."
Untuk pertama kalinya tangisku menyeruak. Baru sebentar saja berpisah dengannya, batinku langsung tersiksa. Apalagi kalau harus membunuhnya. Lebih baik aku saja yang mati daripada harus melihat wanita yang kusayangi menjadi santapan makhluk buruk rupa itu.
"Mas!"
Tiba-tiba, sosok yang kurindukan itu muncul. Aku mengucek mata memastikan kalau itu bukan bayangan semata. Lilis menatapku dengan mata yang sama basahnya.
"Lis?" ucapku masih belum percaya dengan kehadirannya.
"Mas, maafkan aku."
Lilis menghambur ke arahku dengan tangis pecah. Ia membiarkan tangannya melingkari perutku sementara napasnya tersengal-sengal. Kubalas pelukannya dan kami menangis bersama sambil mengucapkan kata maaf berulang kali. Apakah ia benar-benar menyesali perbuatannya sekaligus menerima keadaanku? Sekilas kusadari ada yang berbeda dari isakannya. Namun, dekapan ini membuatku lemah hingga tak mampu bertanya.
"Mas, aku menyesal. Tak sepatutnya aku berlaku buruk padamu. Aku memang wanita yang kejam." Ia menyibak anak rambutku pelan, menyebabkan sengatan yang luar biasa. Rasanya seperti pertama kali bersentuhan dengannya.
"Maaf karena telah membuatmu terluka, Mas."
Belum sempat mulutku berbicara, ia melumat bibirku dengan lincah. Gairah yang telah lama terpendam seketika meledak. Kususuri tengkuk lehernya untuk melekatkan ciuman kami. Namun tanpa kuketahui, diam-diam Lilis menyimpan benda tajam di saku celananya. Dalam kelengahan yang luar biasa karena rangsangan birahi, mataku abai ketika Lilis menghunuskan pisau padaku.
"Rasakan! Akan kuserahkan jantungmu pada si beruk itu!"
***
Dengan napas yang terengah-engah, Lilis menyusuri hutan untuk menemui si beruk. Tangannya menjinjing kantong hitam berisi jantung suaminya. Sebelumnya, ia sudah mengikuti lelaki itu ke hutan, lantas menyaksikan percakapan antara suaminya dengan si beruk. Ia tahu betul kalau suaminya takkan sanggup untuk membunuhnya. Maka dari itu, ialah yang akan melakukannya. Kekayaan terasa semakin nyata di hadapannya.
Setelah berhenti tepat di depan pohon kiara, Lilis mengarahkan senternya ke puncak pohon. Kemudian, persis seperti yang terjadi pada suaminya, si beruk pun melompat dan mendaratkan awak besarnya di hadapan Lilis.
"Wah, lihat! Ada perempuan cantik datang," ucap si beruk sambil menampilkan senyum mengerikan.
"Aku ingin meminta kekayaan," tutur Lilis tanpa berbasa-basi sambil menyerahkan keresek berisi jantung suaminya.
"Apa ini?" Si beruk keheranan.
"Ini adalah jantung orang yang kusayangi. Sebagai bentuk pengorbanan."
Tiba-tiba saja si beruk tertawa lepas, menambah kengerian tengah malam. Lilis ketakutan sekaligus bingung menyaksikan tingkah makhluk tersebut.
"Sayangnya bukan jantung yang kuminta dari seorang wanita. Bentuk pengorbananmu akan berbeda dengan laki-laki. Ha-ha-ha ...."
"Lalu apa yang harus kuberikan?" tanya Lilis ketakutan.
Si beruk mendekatkan mulutnya pada telinga Lilis kemudian berbisik, "Kau harus menikah denganku. Jadilah istriku wahai cantik."
Lilis menjatuhkan tubuhnya yang seakan lumpuh sementara si beruk kian mendekatinya. Ia memberontak ketika makhluk besar itu menyentuh kaki putihnya dengan tangan kasar penuh bulu. Wanita yang baru menjadi janda itu menjerit keras, seakan-akan jeritannya mampu membangkitkan kembali arwah suaminya yang sudah tertidur lelap, manakala tangan si Beruk semakin liar menjamahnya.
Btw cerpennya bagus kak