Hasna Jasmine

Jasmine sudah bisa berjalan saat genap 1 tahun. Perkembangannya pun bagus dan terhitung cepat. Aku selalu mendengarnya dari orang-orang, tidak jarang pula aku mendengarnya dari mulut Ibu sendiri. Mata Jasmine bulat, lentik, nan indah dengan garis ketegasan seorang perempuan jelita yang kelak akan tumbuh menjadi perempuan dewasa yang dielu-elukan.

Aku selalu melihat foto-foto Jasmine yang sedari dulu telah tersenyum lebar. Ia nampak sangat bahagia sedari dulu, dengan senyum Ibu dan Ayah yang lebar disetiap waktunya. Ibu bilang padaku, Jasmine lahir setelahku dan menjadi penghibur kabar burukku. Matanya lentik, bibirnya mungil, dengan bentuk wajah yang sempurna, ia menangis dan menyambut Ibu saat melahirkannya.

Banyak orang-orang yang suka kepada Jasmine, setidaknya sedari aku mengingat masa kecilku aku telah dapat merekam beberapa kejadian itu. Aku memperhatikan adikku, tumbuh dengan indah dan sejak awal kelahirannya telah disambut oleh dunia. 

Sedangkan aku, aku lahir dengan paru-paru yang lemah. Kata Dokter, semenjak dikandungan aku terhimpit Jasmine dan aku lebih banyak mengalah padanya. Bobot tubuhku tak serupa dengannya padahal Ibu melahirkanku tepat 9 bulan, tak kurang. Kandungan Ibu pun sehat, tak ada tanda-tanda bahwa ternyata pada kenyataannya ia akan memiliki anak kembar identik yang memiliki perbedaan. Ini sangat langka.

Kami terlahir dari embrio yang sama, kemudian membelah menjadi dua. Seharusnya, secara teori aku memiliki nasib yang sama dengan Jasmine. Kecantikannya, kepintarannya, sifatnya yang lincah dan terbuka pada orang-orang, tetapi entah sedari aku lahir aku divonis berbeda.

Wajahku tidak mirip dengan Jasmine, orang-orang disekitarku tidak percaya bahwa kami kembar identik. Kalaupun percaya, mereka akan mengatakan bahwa kami kembar tidak identik. Aku hanya menghela nafas.

Malam menjelang

“Kamu jangan suka iri kalau Jasmine lebih banyak dapat kasih sayang.”

“Aku bukannya iri, aku butuh support Ayah sama Ibu. Tapi kenapa aku selalu dibanding-bandingin sama Jasmine! Kenapa aku gak pernah bisa dapat kesempatan?”

“Kita gak ada maksud gitu, Hasna.” Ibu meredam.

Aku menutup pintu pergi dari rumah. Terdengar suara Ayah berteriak-teriak sudah seperti orang yang sedang membuat pengumuman.

Setahun Kemudian …

Kesuksesan dan kebahagiaan menurut dunia selalu memiliki arti yang sempit. Nilai yang bagus, masa depan yang cerah, wajah yang jelita, otak yang cerdas, lancar dalam kehidupan, kebahagiaan yang seperti itu yang selalu menjadi patokan. Jika, pengertiannya seperti itu maka aku tidak masuk dalam kategori apapun. 

“Hasna, masih betah gak ngurusin panti asuhannya ibuku? Semoga masih betah yah, anak-anak suka banget ada kamu disini.” Surinala tersenyum sumringah sembari membereskan ruangan baru untuk kantor kami.

“Kenapa?” tanya Surinala.

“Aku seneng aja, bisa bekerja kemanusiaan dan mendapat hati yang lapang. Aku bahagia banget ngeliat anak-anak ketawa dan main di luar sana."

“Kamu tahu satu hal Hasna, kebahagiaan itu sejatinya kita yang sederhana tapi bisa membahagiakan orang lain.” 

Sedetik, Surinala memancarkan cahaya. Aku baru tersadar. Ayah dan Ibu yang kelak akan tersadar, Jasmine yang selalu mengirimiku pesan untuk menyuruhku kembali pulang ke Bandung. Mungkin mereka belajar arti kehilangan. Pun aku belajar menjadi orang yang kuat karena ketidakberdayaan.

Selesai

13 disukai 4 komentar 7.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@dulkhab : ;)
semua berakhir bahagia, :)
Hey Jasmine!
Saran Flash Fiction