Asu Rampit

Aku mendekat, tapi dia memintaku pergi. Harga diri manusia, aku yakin itulah penyebab keengganannya. Padahal, orang-orang selalu menyebutnya asu rampit.

Sendiri, tidak tahu cara menghitung, kurang duit, dan selalu cengengesan tidak jelas. Dengan begini, kamu bakal mulai dilabeli kurang.

Dua bulan lalu, dia tinggal di rumah Norma, si perempuan penjual gula merah. Seminggu yang lalu, giliran Aji yang membiarkan kediamannya menjadi rumah singgah. Aji tidak tahan, jadi dalam tiga hari, Asu Rampit pindah ke gubuk Tirah, wanita paruh baya yang hobi membantu perempuan melahirkan.

Hari ini, aku akan mencoba mendekatinya lagi.

Dia duduk di sana, di atas pohon roboh yang sudah mulai lapuk menghitam. Dia menatap ke sandal penuh tanahnya. Saat ada pejalan kaki lewat, kesedihannya hilang karena dia akan mengangkat wajah sambil cengengesan. Sudah kuduga, dia memang tidak pernah belajar soal cengengesan.

Dia dijauhi oleh manusia lain karena cacat. Otak? Bukan. Kaki? Bukan. Masa lalu? Iya. Gosipnya, ibunya melahirkan dia setelah kawin dengan adik dari kakeknya.

Aku mendekat secara perlahan dan sesopan mungkin. Sekitar 40 senti darinya, aku duduk meringkuk. Hebat! Dia tidak mengusirku lagi.

Dia menghela napas. "Kita temanan, yok," ajaknya pada udara kosong. Ah! Salah. Dia mungkin sedang bicara padaku.

Hahaha, akhirnya dia menyadari bangsanya sendiri.

_

- Asu rampit, anjing tidak bertuan yang kotor, berpenyakit, dan biasanya memiliki tampilan menyedihkan (Kutai Menamang)

18 disukai 13 komentar 8.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Pak Awang orang Kutai juga?
Iya, Pak.. Asu rampit ini istilah dalam Bahasa Kutai Menamang. Saya kebetulan orang Menamang, di Kukar...
Cerita dari Kutai, mbak Imel? (Kukar, maksudnya)
Thenkyuuu (^_•)
Keren kak ceritanya semangat terus
Ayoook...
Kita temanan yok!!
Terima kasih banyak buat kedatangannya, kak Adinda (^_•)
simpel yang keren
Cuma 200-an kata aja. Singkat bangett, hehehe
Saran Flash Fiction