Penjemputan Bapak #Bagian 1

Saya tidak menyukai perayaan ulang tahun. Saat-saat ketika Nenek, Kakek, dan juga saudara sepupu tiba-tiba datang. Mengejutkan saya di tengah malam. Sementara salah satu dari mereka -biasanya sepupu perempuan- membawa kue penuh krim dengan beberapa lilin menyala di atasnya. Tak lupa mereka menyanyikan lagu yang akan selamanya saya benci, baru kemudian menyuruh saya untuk meniup lilin-lilin tersebut. Saya harus melakukannya, Nenek selalu bilang, “Tidak baik menolak rezeki.”

Apakah mereka lupa ada ‘perayaan’ lain di tanggal ulang tahun saya? Dan, tentu saja jauh dari kata ‘rezeki’ yang sering menjadi tameng Nenek begitu saya menolak barang-barang yang ia berikan. Misalnya, perayaan ulang tahun itu tentu saja. Ah, tidakkah mereka paham, saya hanya tidak ingin merayakan kematian Ibu juga?

Nenek selalu bilang, saya adalah anak beruntung. Karena tidak ikut mati bersama Ibu. 19 tahun lalu, Ibu meninggal tanpa sempat meneteki saya setetes pun. Tangis saya bercampur dengan tangis Bapak yang semakin keras seiring tubuh Ibu dibawa ke liang lahat. Sampai sekarang, saya masih sering mengunjungi tempat tersebut. Setengah hati menyesali mengapa Ibu memilih mati daripada merawat saya, dan setengah hati berdoa agar Ibu bisa tidur nyenyak menunggu kiamat. Guru agama saya dulu bilang, orang-orang saleh akan menunggu datangnya kiamat secepat kilat.

Dan, sepertinya Bapak juga sedang dalam perjalanan menyusul Ibu ke liang lahat. Bapak sakit, kata dokter komplikasi. Baru dua bulan lalu Bapak keluar dari rumah sakit di kabupaten tetangga, untuk kemoterapi. Kesehatan beliau tidak bisa dikatakan baik, maupun buruk. Bapak masih terus berbaring di kasur. Namun, begitu saya tawarkan untuk pergi ke rumah sakit kembali, ia menolak.

Ndak usah ngabisin duit, bentar lagi Bapak juga mati.” Begitu katanya. Bapak sepertinya memang sudah ngebet pingin menunggu kiamat bersama Ibu di liang lahat.

Kisah cinta Ibu dan Bapak sudah terkenal, terutama di keluarga besar kami. Bapak adalah anak ketiga Nenek, dan satu-satunya anak laki-laki. Dua uwak saya, yang masing-masing sudah lebih sepuh tapi berharap tidak segera masuk liang lahat, seringkali merasa iri dengan Bapak. Uwak pernah bilang, gara-gara Bapak anak laki-laki, semuanya diutamakan. Bapak adalah sarjana pertama di keluarga besar, beliau juga yang paling memiliki pekerjaan bagus di antara anak-anak Nenek. Bapak adalah seorang dosen.

Bayangkan! Bapak adalah dosen yang selalu bekerja menggunakan kemeja rapi, dasi yang selalu berganti setiap hari, dan sepatu mengkilap. Bapak juga selalu wangi meskipun penggemar kretek nomor satu, tentu saja setelah Kakek. Betapa bangganya kedua orangtua Bapak memiliki seorang putra pegawai! Bekerja dengan seragam rapi, menerima gaji setiap bulan, bahkan terkadang diundang untuk mengisi seminar yang tentu saja mendapat uang pesangon. Saya heran, mengapa Nenek dan Kakek tidak memberi kesempatan kepada dua uwak saya untuk menjadi dosen juga? Padahal, saya juga diajar oleh dosen perempuan. [Bersambung]

4.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction