Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
8,553
Harapan dan Standard
Drama

Aku memeluk buku pelajaranku sambil berlari keluar dari gedung sekolahku. Langkahku terhenti ketika guntur menyerang selang beberapa saat setelah kilat menyapa. Rintik hujan pun membasahi trotoar. Aku menghela napas berat, tak kusangka cuaca dapat berubah secepat ini. Tadi siang masih sangat terik sampai kami lebih nyaman di dalam kelas menikmati AC. 

Aku duduk di sebuah bangku yang ada di saping pintu depan. Kumemasangkan earphone hitam ke telinga dan memainkan lagu pop kesukaanku. Sesekali kakiku mengetuk kecil ritma lagu. 

Sebuah mobil hitam berhenti di depanku. Aku tersenyum saat supirku keluar dengan membawakan payung dan membawaku masuk. 

Aku melepaskan earphoneku saat mobil sudah memasuki perkarangan rumah. Rumah yang luas tapi aku tidak yakin bangunan megah ini bisa kusebut sebagai rumah. 

Orang-orang akan berpikir bahwa aku sangatlah beruntung bisa terlahir di keluarga yang kaya raya. Memiliki banyak fasilitad di rumah serta pembantu dan asisten pribadi. Banyak dari mereka mengingkan kehidupanku. 

Well, jika aku bisa menukarkan nasib pada kalian. Dengan senang hati kumenawarkannya. Mungkin kalian berpikit bahwa aku tak bersyukur atas apa yang kupunya. Namun, kenyataannya aku hanya lelah dengan semua ini. 

Aku menutup pintu mobil dan melangkah masuk ke yang akan kalian sebut dengan istana. Beberapa pelayan menyambutku dengan memberi hormat kecil, aku sudah terbiasa dengan itu. Aku pun menangguk kecil seraya berjalan melewati mereka. Kumenaiki tangga spiral dan masuk ke kamarku, menikmati kesendirianku sampai sebuah ketukan membuyarkan lamunanku. 

Seorang pelayan berkata dari luar bahwa makanan telah siap, tuan dan nyonya juga sedang menunggunya di meja makan. Aku mengangguk paham dan turun menemuni orang tuaku. 

Aku tersenyum pada mereka, begitu juga dengan mereka yang memperlakukanku layaknya seorang putri kerajaan. Benar, putri kerajaan di mana kamu tak memiliki kebebasan untuk menentukan apapun yang kamu inginkan. 

Seperti saat ini, mereka menanyakan kabar tentang sekolahku dan bertanya apa yang akan aku ambil untuk kuliah nanti. Aku tak menjawabnya, karena aku tahu apapun perkataan yang keluar dari mulutku hanya akan dianggap angin lalu saja. 

Sudah sejak lama, aku mengatakan ingin sekolah seni saja. Menggambar, itu keahlianku tapi mereka malah mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah hobi yang tak seharusnya menjadi sebuah karir. 

Aku tercengang, mereka sama sekali tak mendukungku. Bahkan saat aku diam-diam membeli kuas dan kanvas, mereka mematahkannya dan membakarnya di hadapanku. Mereka sama sekali tak peduli pada tangisanku. 

Aku berpikir apakah orang tua yang lainnya juga melakukan hal yang sama? Saat aku menonton cerita dari seorang musisi yang mengatakan bahwa orang tuanya mendukungnya sepenuh hati dan membiarkan dirinya bereksplorasi dan memberikan bekal musik padanya sedari kecil. Kini, ia telah tumbuh menjadi musisi yang dikagumi banyak orang. 

Iri, tentu saja. Di saat orang tua lainnya bisa menyayangi anaknya, mengerti akan bakat anaknya, memahami jalan pikiran anaknya. Bukankah, itu sebuah kebahagian yang akan mengantarkanmu pada kesuksesan? Namun, bagaimana jadinya jika kita harus bekerja, memaksa otak kita untuk memahami sesuatu di luar batas kemampuannya. 

Aku terdiam di meja makan, saat mereka mengatakan bahwa mereka sudah mendaftarkanku ke universitas bisnis ternama dengan mencantumkan rapot serta sertifikat yang aku punya. Mereka ingin aku tumbuh dan menjadi seperti mereka. Pembisnis yang hebat, memiliki puluhan cabang perusahaan di berbagai negeri. Mereka juga menyuguhiku berbagai pelajaran bahasa berharap aku dapat menjalankan perusahaan mereka dan memimpin salah satu cabang di sebuah negeri. 

Mereka bilang ini semua adalah untuk kebaikkanku, tapi apakah itu benar? 

Aku tidak tahu, aku kembali ke kamarku tanpa menghabiskan makananku. Selera makanku hilang, aku membungkus tubuhku dengan selimut dan menangis. Membiarkan air mataku mengalir membahasai bantal serta gulingku. 

Sepanjang malam, aku tak tidur. Kupandang diriku di depan cermin. Diriku pun tak dapat lagi mengenali gadis yang tengah meratapi nasibnya. 

Aku membuka shower dan membiarkan air dingin itu membahasi seluruh tubuhku dengan pakaian yang masih melekat. 

Pernahkah kalian pikir, terkadang mereka lebih mengerti akan dunia daripada kita. Diriku pun merasa ragu pada pilihanku sendiri. Apakah benar ini pilihan merekalah yang terbaik? 

Tapi, mengapa aku tak bahagia? Bukankah, kita itu harus hidup dengan pilihan lita sendiri dan bahagia dengan pekerjaan kita? 

Aku tahu menjadi seorang pelukis atau seniman, tak'kan sanggup membiayai hidup kita yang super mewah. Lantas, mengapa kita harus memenuhi standard itu? Kenapa kita tak hidup saja semampu kita? 

Aku mengambil gunting di dalam lemari dan hendak mengoreskan nadiku, tetapi tanganku berhenti dan bergetar hebat. Tidak, bunuh diri bukanlah pilihan yang tepat, apapun kesulitannya pasti ada jalan keluarnya. Aku menghapus air mataku dengan kasar, merobek secarik kertas dari buku tulis dan menuliskan surat pada orang tuaku. 

Kemudian, aku mengambil koper dan menaruhkan semua pakaianku. Mengambil beberapa barang yang aku tak bisa lepas. Kulirik pada jam kecil di atas nakas. Sudah jam tujuh pagi, supirku akan mengantar orang tuaku ke kantor mereka. 

Itu artinya, hanya ada para pelayan di rumah ini. Aku membersihkan mukaku dan merapikan pakaianku. Kemudian, mengeluarkan kepalaku di balik pintu, mengecek keadaan sepertinya sepi. Para pelayan pasti sedang membersihkan ruangan lainnya. Aku mengendap dan membawa koperku. Untung saja, koper milikku ini tak mengeluarkan suara yang ribut seperti koper-koper yang pernah kutemui di bandara. 

Dengan cepat, aku turun dan keluar melalui pintu belakang rumahku. Tak ada yang melihatnya, aku langsung memanggil taksi online dan pergi dari rumah. 

Sejujurnya aku tak tahu ke mana aku akan pergi, aku akhirnya berhenti di sebuah mall dan menikmati sarapan kecilku di sebuah cafe. Namun, saat aku hendak membayarnya. Sial, aku lupa membawa dompetku dan dengan secepat kilat, aku berlari keluar dari mall dan dikejar oleh para satpam. 

Aku langsung memasuki sebuah toko baju dan mengambil pakaian dengan asal lalu masuk ke ruang ganti. Aku mengganti pakaian tersebut dan mencabut tag harganya. 

Sengaja, berdiam lama di dalam lalu mengintip keluar dan sepertinya semuanya sudah aman. Aku lantas menggantungkan pakaian milikku dengan asal. Kemudian, berjalan keluar dari toko baju tersebut. 

Untung saja, penjaga tokonya tak menaruh curiga padaku dan sepertinya mereka telah kehilangan jejakku. 

Ponselku bergetar dan menampilkan kontak ibuku menelepon. Kurasa para pelayan sudah menemukan surat itu dan mengetahui bahwa aku kabur. Tapi, aku tak memiliki kartu ataupun uang sepeser pun. Dengan begitu, mereka tak akan mampu melacakku. Akhirnya aku bisa bebas dari cengkraman mereka. Senangnya! 

Ah, sepertinya kehidupanku yang sesungguhnya akan segera dimulai. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar