Distance

Sepasang kaki melangkah hingga bergema di lorong sekolah yang sudah sepi tidak terawat. Pemiliknya memakai syal hitam tebal yang menutupi wajah serta mulutnya. Angin kencang yang menerpa tubuhnya menghentikannya sejenak. Matanya terpejam sambil mengingat pembicaraannya dengan juniornya.

---

"Kak Wataru, apa kakak yakin akan tetap pergi?"

Pertanyaan Maika nyaris membuat tekad Wataru redup, tapi ia mampu meyakinkan diri kembali setelah menghirup napas dalam-dalam. Lalu ia berbalik menghadap Maika yang bola matanya tampak berkilauan di bawah cahaya lampu.

"Maika, apa kau bisa menjaga rahasia?"

Maika tampak bingung sekilas, sebelum pupilnya melebar. Ia langsung berlari tepat ke depan Wataru.

"Kak Wataru akan bertarung dengan kak Akemi kan'?"

Wataru tersenyum sedih. Ia mengagumi kepekaan juniornya ini.

"Kalau iya kenapa?"

"Tidak boleh!"

Seru Maika dengan segenap tenaga hingga tubuhnya bergetar. Air mata yang tadinya terbendung pun bocor membanjiri pipinya.

"Sayang sekali aku tidak bisa menerima permintaanmu itu. Akhirnya identitas pembantai yang kita cari sudah ditemukan. Dengan ini, kita bisa membalaskan dendam ayahmu."

"Bukan itu yang ayah inginkan! Apa kau sudah lupa?"

Wataru tidak mungkin lupa pesan terakhir guru sekaligus penyelamatnya. Jangan pernah gunakan kesempatan keduanya untuk balas dendam.

"Maika, tolong simpan ini."

Wataru merogoh sakunya dan memberikan cincin perak kepada Maika. Maika terbelalak melihatnya dan mencoba menghentikannya, tetapi Wataru sudah keluar.

"Kak Wataru tunggu!"

Maika mencoba mengejar Wataru meskipun ia tahu percuma saja. Tanpa cincin itu, 'limiter' dari Wataru sudah dilepas. Namun itu juga berarti dia siap untuk mati jika gagal.

"Kenapa jadi begini?"

Lutut Maika lemas hingga ia tersungkur ke lantai dan menangis. Pandangannya tidak lepas dari cincin perak itu.

"Aku benci kamu ... aku benci kamu ... AKEMI MARUFUJI!"

Teriaknya dalam kesendirian yang mungkin harus ia mulai biasakan.

---

"Wataru."

Lamunan Wataru terpotong dan di hadapannya telah berdiri orang yang dicarinya.

"Akemi."

Akemi menekan jepit rambut kupu-kupunya dan dari punggungnya keluar sayap kupu-kupu berkilau merah. Tangannya pun memasang kuda-kuda untuk menarik pedang.

"Jadi begini ya akhirnya."

Wataru memutar gelang berwarna hijau di pergelangan tangan kirinya hingga ia mengerang sedikit.

"Memaksakan diri seperti biasanya, tipikal."

"Aku tidak datang kemari untuk menerima komentarmu. Aku akan menghentikan kebrutalanmu."

"Banyak orang bicara begitu, tetapi darah mereka yang berakhir melumuri pedangku ini."

Akemi tersenyum menceritakanku perbuatannya. Wataru mengepal dengan kuat hingga otot lengannya menegang.

"Biarpun kita dulu adalah teman dekat, kejahatan dan kebajikan tidak bisa bersama."

"Begitu ya? Kau dan paham kebajikanmu bisa pergi saja ke alam baka. Bersama gurumu."

Dalam satu tarikan napas, Akemi menerjang dan mencabut pedangnya dengan mengincar kepala Wataru. Wataru memanfaatkan reaksi supernya untuk menahannya, meskipun tangannya terluka karenanya.

"Ah, kau melepaskan 'limitermu'. Ini menarik."

"Ini adalah bukti keteguhanku untuk mengalahkanmu."

Akemi tersenyum mendengarnya. Mulutnya membisikkan mantra dan sayap kupu-kupu di punggungnya berpindah menyelimuti pedangnya.

"Kalau memang itu yang kau mau, akan kuladeni keberanianmu dengan permainan pedang terindah. Yang lebih hebat dari kakak kelas kita dulu."

Wataru melompat mundur dengan cepat dan memasang kuda-kuda. Akemi pun demikian. Dengan seruan dari dalam jiwa, keduanya bertarung hingga titik darah penghabisan. Hingga jarak mereka melampaui langit dan bumi.

3.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction