Pagi-pagi sekali, Kara sudah bangun dari tidur lelapnya. Dalam hitungan waktu dua puluh menit, Kara sudah selesai dengan ritual di pagi harinya.
Mama Kara yang melihat puterinya sudah rapi seperti itu, menggelengkan kepalanya keheranan. Tumben sekali, karena biasanya, Kara setiap pagi paling susah dibangunin.
Mamanya tidak tahu saja alasan Kara untuk pergi cepat pagi ini, karena itu semua demi bisa pergi bareng sama Mas Raka–anak tetangga sebelah, yang jarak rumahnya hanya terpaut tiga rumah dari rumah Kara.
Begitu sampai di depan rumah Raka, Kara langsung berjalan menghampiri Raka. "Pagi Mas Raka."
"Eh, Kara ... pagi juga." Kara mengulum senyumnya, melihat calon imamnya sedang mengelap kaca mobil dengan kain basah.
"Udah mau berangkat yah Mas?" tanya Kara.
"Iya, ini lagi sedikit bersihin kaca mobil sebentar," balas Raka.
Kalau soal seperti ini, jangan ditanya lagi, karena Kara emang paling pinter modusnya. Pagi-pagi begini dia udah dandan cantik, baju yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu juga langsung Kara pakai. Niatnya hari ini emang mau nebeng sama Raka. Lumayankan, hemat ongkos terus dapat ekstra bonus bisa lihat wajah segar Raka pagi-pagi.
Dalam hati, Kara sudah menyusun strateginya. Soalnya Kara lagi dalam mode pe-de-ka-te sama Raka. Demi bisa nebeng sama Raka, Kara sampai rela bangun pagi sekali. Tumben banget lho Kara bisa bangun pagi tanpa dibangunin Mamanya. Biasanya sang Mama lah yang selalu membangunkannya di waktu subuh untuk menunaikan salat. Itu pun seringkali setelah selesai salat subuh, Kara malah langsung ngacir lagi ke dalam kamar. Yap! apalagi kalau bukan untuk melanjutkan tidurnya.
Tapi untuk hari ini, menjadi pengecualian untuk gadis itu. Kara sudah menyiapkannya, untung saja jam weker yang sudah diatur Kara itu berhasil membangunkannya, Kara jadi bisa deh bangun tanpa sahutan suara Mamanya.
"Kamu sudah sarapan?" Kara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kamu bisa masak juga?" tanya Raka.
Mendengar Raka bertanya seperti itu, Kara hanya dapat mengulum senyumnya. Kara jelas merasa tersindir dengan pertanyaan Raka.
"Kalau masak mie, telur ceplok sama masak air, itu bisa dikatakan bisa masak juga nggak Mas?" Bukannya menjawab, Kara malah balik bertanya.
Raka tersenyum kecil, tangan kirinya terangkat mengusap puncak kepala Kara. "Kalau itu, semua orang juga bisa Kara."
"Oh, hehehe ... Kara emang nggak jago masak sih Mas, doyannya makan aja," ujar Kara sembari menunjukkan cengirannya.
"Kenapa? Bukannya sebagai perempuan, sudah seharusnya bisa memasak ya?" tanya Raka.
"Iya sih Mas, tapi menurut Kara, masak itu ribet Mas." Kara bersedekap dada.
"Kenapa begitu?" tanya Raka lagi.
"Kara sebelumnya udah pernah coba bantuin Mama masak di rumah. Pas masak ikan, eh minyaknya malah nyiprat Mas, perih banget kena tangan Kara. Dari situ, Kara ogah deh belajar masak lagi, minyaknya nakutin sih."
"Saya suka melihat perempuan pandai memasak, terlihat lebih anggun," ujar Raka dengan nada tenangnya.
Ini Mas nya nge-kode ya?!
"Tipe calon istri idaman Mas Raka ya?" ujar Kara, sembari kedua matanya melirik Raka dengan penuh harap.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Raka hanya tersenyum membalasnya.
Aduh! kayaknya belum apa-apa gue udah diblacklist duluan nih jadi calon istri Mas Raka.
"Mamaaa... Kara mau belajar masak!" jerit Kara dalam hati.