Semua orang bilang bahwa neraka itu berwarna merah gelap. Seperti api atau seperti darah. Namun neraka ini berwarna abu-abu dan sedikit bercampur warna biru. Aromanya tidak mengeluarkan bau amis kulit yang tercincang ataupun bau busuk tulang yang menggersang habis dibakar karena dosa. Aroma neraka ini menyeruak serupa wangi tanah basah yang dicampur tengik kotoran kambing dan juga besi-besi tua. Namun neraka ini memiliki kesamaan dengan seluruh neraka selepas kematian yaitu mendatangkan kengerian dan tidak pernah menawarkan jalan keluar. Hanya saja kamu tidak perlu mati terlebih dulu untuk mencicip neraka ini.
“110894. Maju!”
Teriakan dari seorang petugas berbaju militer lengkap dengan senapan ralas panjang yang mengait di bahunya membuat antrean itu bergerak. Bocah berkulit hitam legam dengan tubuh serupa kerangka berjalan maju mendekat setelah merasa namanya dipanggil. Tangan mungilnya gemetar menengadah meminta sesuatu. Dengan tatapan jijik, petugas memberikan sepotong roti yang diletakkan dalam piring dan segelas air putih.
Petugas itu mengeplak keras tepat di kepala bocah itu, “Sudah sana. Pergi kau, bocah tengik! Kau bikin antrean makin panjang.” Ancamnya dengan mata mendelik.
Pada detik itu, rasanya dia ingin melawan balik. Melempar roti dan segelas air putih itu ke tanah. Lantas dengan amukan paling gila, dia akan menghambur ke arah petugas itu. Memukul, menampar, menendang, menginjak atau bahkan menggigit sekalipun. Apa saja. Asal bisa membalas semua penghinaan yang selama ini dia dapatkan. Namun rasa lapar membuat seluruh sendi tubuhnya bergemetar hebat. Ditambah semua pasukan yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu membawa senapan laras panjang semua. Bocah itu yakin, belum sempat dia memberikan bogeman pertama sudah bisa dipastikan akan ada sebutir peluru yang melubangi tengkorak kepalanya. Membayangkannya saja sudah membuat lututnya lemas. Tidak ada yang lebih memuakkan selain manusia yang berkhianat dengan kaumnya sendiri. Akhirnya dia menelan kembali seluruh penghinaan itu untuk masuk ke perut tipisnya. Seperti kemarin dan seperti yang kemarin-kemarinya lagi.
Baru saja bocah itu berjalan sebentar, ketika dia menengok kembali. Ternyata dia memang tidak pernah sendiri. Ada bocah lain seumurannya, wanita paruh baya, pria berumur setengah abad hingga para manusia renta yang mengenakan baju persis sama dengan dirinya. Tatapan itu nanar karena mereka hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum mendapatkan giliran. Giliran yang akan membawa mereka dimasukan ke sebuah ruang khusus. Tempat di mana makhluk dari langit telah menunggu untuk menyayat kulit hingga mengeluarkan isi kepala mereka. Anehnya, makhluk langit memiliki teknologi aneh yang membuat mereka kemudian mampu mengambil alih tubuh yang telah mereka koyak itu. Dan siapapun yang keluar dari ruangan itu, mendadak menjadi orang asing.
Bocah itu selalu ngeri ketika membayangkannya. Langkah kakinya semakin bergegas untuk menjauh dari sumber kengerian itu. Namun baru berjalan beberapa langkah, ternyata ada seorang petugas menahan bahunya. Petugas itu menatap bocah itu dengan perasaan iba, kasihan dan juga ngeri dalam waktu sama.
“110894. Nanti malam, giliranmu diternak.”