Petrichor

Aroma petrichor menguar lembut saat hujan perlahan turun membasuh bumi usai gersang menyapa sepanjang siang tadi. Aku duduk di pojok sebuah kedai bersama dua temanku, yang baru pulang dari kerja. Tawa riang menarik sudut-sudut bibir kami tatkala sentuhan humor menggelitik hati, sebagai pelepas penat usai kelelahan yang menimpa hari ini.

 

Sampai kemudian canda riang itu berubah tegang ketika salah seorang temanku mengubah topik pembicaraan. Entah iblis mana yang merayu isi kepalanya untuk tiba-tiba membahas tentang kasus pembunuhan yang belakang ini menjadi topik terhangat di daerah tempatku tinggal. Pembunuh hujan, begitulah orang-orang di sini melabelinya.

 

“Aku dengar dari seorang kenalanku yang bekerja di kepolisian, dia bilang pembunuh hujan memiliki pola setiap kali membunuh,” ujar Sita.

 

“Angka ganjil,” sahut Tara. “Semua orang sudah tahu tentang hal itu,” lanjutnya. “Pembunuh hujan akan membunuh korbannya setiap tanggal ganjil, dan ....”

 

“Dan setiap kali hujan turun,” sambung Sita.

 

“Ya, seperti sekarang ini,” tandas Tara.

 

“Mungkin besok pagi polisi akan menemukan mayat lagi. Bukankah sekarang tanggal tiga? Tanggal ganjil,” tutur Sita.

 

Aku hanya diam menyimak obrolan kedua temanku. Jujur saja, aku terlalu masa bodoh dengan kasus pembunuhan itu, yang bahkan sama sekali tidak berpengaruh dalam hidupku.

 

Obrolan mereka terus berlanjut sampai tepat pukul 21.00 WIB, kami keluar dari kedai. Sita dan Tara, yang tinggal bersama pergi lebih dulu setelah memesan taksi online. Sedangkan aku yang tinggal tak jauh dari sini pun lebih memilih berjalan kaki untuk sampai ke kontrakan.

 

Aku berjalan di bawah hujan tanpa payung, menembus gerimis yang masih menemani setiap langkah kakiku, bersama senandung kecil yang menembus bibirku, mengiringi malam sunyi yang menyapaku.

 

Sampai ketika aku masuk ke dalam sebuah gang yang biasa aku lewati setiap malam. Aku mendengar senandungku disambut oleh seseorang dari arah belakang. Aku terdiam, masih mencoba tenang dalam sepi yang mengoyak keberanianku.

Namun, jantungku tak dapat berdusta, ia menggedor keras sanubariku, memerintah otakku untuk menggerakkan kakiku cepat. Lari! Begitulah isi kepalaku berteriak. Tapi, respons tubuhku benar-benar lambat. Rasa takutku yang meledak membuatku tak dapat bergerak. Air mataku jatuh, menemani langit yang seakan sedang berduka malam ini.

 

Sampai kemudian aku merasakan aroma petrichor tercium pekat dalam hidungku. Aku masih diam, ketika tubuhku yang terasa kaku diseret menuju tempat yang tak kutahu. Iris mataku tak lepas menatap tanah yang tampak dilumuri air berwarna merah pekat. Rasa asin bercampur amis merasuki lidahku saat air berwarna merah itu mengalir dari kepalaku yang terbaring tak berdaya.

 

Pada detik-detik terakhir sebelum kelopak mataku terpejam rapat. Aku teringat perkataan dua teman karibku.

 

“Aroma petrichor. Sebenarnya pembunuh hujan akan beraksi saat aroma itu tercium,” papar Tara sambil menarik napasnya dalam, menghirup aroma petrichor yang hampir pudar.

 

“Dan senandung,” sahut Sita. “Kata seorang saksi yang melihat korban sebelum dibunuh, dia mendengar korban itu bersenandung.”

 

Rain, rain go away. Come again another day. We want to play ....”

7 disukai 1 komentar 7.3K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
serem. 😰 🌟🌟🌟/🌟🌟🌟🌟🌟
Saran Flash Fiction