Di Desa Yomitan, seseorang akan dilupakan sesaat setelah kematian. Kutukan dari masa silam. Begitu kata Hano Sanae kepada anaknya, Kazusa.
Seminggu yang lalu Kazusa menguburkan ayahnya dan kini tak punya ingatan apa-apa lagi selain ibunya tak mungkin melahirkannya ke dunia seorang diri. Ia pasti punya seorang ayah. Menyambangi pusaranya hanya membantu Kazusa mengingat namanya. Hano Keiji—nama yang tertulis di batu nisan. Mencoba bertanya ke orang lain pun tak berguna. Setiap orang menderita hal yang sama. Kutukan itu tak pandang bulu. Bahkan Sanae, yang sudah menghabiskan 20 tahun bersama, tak sedikit pun terlihat merindukan suaminya.
Sanae berkerja sebagai buruh di pabrik barang elektronik. Ia berangkat kerja dari pagi dan pulang ketika matahari sudah di ufuk barat. Terkadang ketika sibuk sekali, ia baru pulang di saat hari telah gelap.
Kazusa menghabiskan waktu di rumah sendiri selagi menunggu Sanae pulang. Ia telah menyelesaikan sekolahnya beberapa waktu lalu dan masih berusaha mencari pekerjaan. Ternyata mencari pekerjaan lebih sulit dari dugaannya. Ia berjanji pada ibunya akan segera bekerja lalu menghabiskan gajinya untuk mentraktirnya makan di restoran. Kini, beberapa bulan setelah wisuda, hal itu masih jadi angan-angan di siang bolong yang terbersit ketika ia meringkuk di sudut kamarnya sambil membaca novela.
Kamarnya gerah. Kipas angin yang terletak tak jauh dari kasur sedang rusak. Selepas bacaannya selesai, Kazusa keluar dari kamar lalu duduk di halaman belakang rumah untuk menghirup semilir udara yang bisa melegakan rongga paru-parunya. Ia mencoba mengingat apa yang biasa ayahnya lakukan sehari-hari. Di dalam rumahnya tak ia temukan foto-foto ayahnya yang bisa djadikan petunjuk. Ibunya mengaku tak ingat ketika ia mengatakan tak sengaja menemukan foto-foto seorang laki-laki berseragam supir taksi di gudang; tertimbun di bawah rongsokan kardus. Apakah itu ayahku?
Sanae menemukan putrinya sedang pulas tertidur di halaman belakang sepulangnya dari pabrik. Ia menatap wajah Kazusa dengan pilu. Wajah seorang perempuan yang bercahaya nirmala namun sedang redup karena beban yang ditanggungnya. Apa wajah ini yang dilihat Keiji selama waktu itu?
Ia membangunkan Kazusa dan menyuruhnya masuk. Kazusa berjalan terombang-ambing, masih setengah sadar.
“Ibu pulang cepat hari ini?”
“Ibu membawakanmu kipas baru.”
Kazusa tersenyum melihat kardus besar di belakang ibunya. Begitu menyentuh kasur, ia melanjutkan tidurnya. Sanae menyalakan kipas yang baru lalu mengangkut kipas yang rusak ke gudang. Ia melilitkan kabel kipas itu ke salah satu foto supir taksi yang tergeletak di sana sampai seakan-akan leher supir taksi itu sedang tercekik oleh kabel.
Sanae membuka pintu rumahnya. Juri, tetangganya, sedang berdiri menunggunya.
“Kazusa di rumah?”
“Sedang tidur. Terima kasih sudah mau bekerja sama untuk menolongnya.”
“Tidak masalah. Predator seperti Keiji memang pantas mati. Aku kemari karena ada tawaran pekerjaan untuk Kazusa.”
“Oh, dia akan senang sekali. Tapi apa tidak ada kekhawatiran soal kesehatannya?”
“Maksudmu ingatannya soal Keiji? Aku rasa tidak akan jadi masalah.”
“Aku berhutang banyak sekali padamu, Juri.”
Setelah Juri pulang, Sanae kembali ke sisi Kazusa. Mengusap rambutnya. Mencium ubun-ubunnya. Ia masih tak bisa memaafkan dirinya sendiri yang terlalu sibuk bekerja selama bertahun-tahun hingga Kazusa mengambil tindakan sendiri. Yang bisa ia lakukan kini hanya merajut dongeng soal Desa Yomitan lalu membiarkan Kazusa mengenakannya.