Mencari Musim Semi di Tumpukan Jerami

Namaku Kakashi. Nama yang kubuat sendiri. Aku tidak punya orang tua seperti anak-anak kecil yang sering kulihat berlarian di pematang sawah pada sore hari. Aku mendengarkan mereka merumpi dan bermimpi. Ada yang ingin menjadi pengusaha, pilot, atau penyanyi. Aku tidak mengerti maksud mimpi-mimpi mereka karena yang kukenal hanya orang-orang yang disebut petani. Di tempat yang kudengar bernama Gunma ini, petani mulai menanam padi di musim semi dan memanennya di musim gugur. Anak-anak itu paling gemar berkelana ke sana kemari di musim gugur di antara padi yang ranum. Seorang anak yang paling kecil punya mimpi lain. Ia bilang ingin menjadi Atom Boy. Aku suka anak itu karena ia tidak takut berbeda. Namanya Ukai. Teman-temannya menertawakannya—bukan hanya karena cita-citanya—melainkan juga karena namanya yang aneh. Dari situ aku tahu bahwa anak-anak ini punya nama masing-masing dan orang tua mereka yang memberikannya.

Seperti Ukai, aku juga punya mimpi. Aku jatuh hati pada burung-burung yang terbang di atas kepalaku. Aku ingin berkenalan, berteman, lalu ikut bermain di udara. Aku tahu nama-nama mereka. Yang mungil dan gesit bernama Pipit, sedangkan yang hitam legam bak mayang bernama Gagak. Sebaliknya, mereka tak kenal siapa Kakashi. Aku tidak bisa terbang dan tidak punya sayap. Aku bahkan tak mampu berpindah tempat seperti anak-anak itu. Kakiku menancap ke dalam tanah dan aku tak kuasa mencerabutnya. Mungkin itu sebabnya burung-burung enggan mendekatiku dan berkesimpulan langit bukan tempat untukku. Aku teringat anak yang bernama Ayumi. Tubuhnya putih seperti susu sapi dari rambut hingga kaki. Ia selalu sendirian. Anak-anak sebayanya tidak mau mengajaknya bermain. Padahal Ayumi anak yang baik. Ia sering menemaniku seraya bersenandung pelan. Kalau saja anak-anak itu mau mengenal Ayumi, aku yakin anak itu akan menjadi teman setia. Aku mengawasi Pipit yang sedang melayang. Aku ingin memperkenalkan diri. Tanganku bahkan senantiasa kurentangkan untuk menyambutnya. Ah, ia berbelok arah begitu melihatku.

Saat ini sedang musim dingin, tidak ada aktivitas di sekitarku. Petani beristirahat di balik dinding yang mereka bangun masing-masing. Meninggalkan ladang tak terjamah hingga membeku dan aku yang sendirian diguyur salju. Sesaat sebelum musim dingin, aku mendengarkan anak-anak itu membicarakanku. Mereka berceloteh soal sosokku yang bermanfaat. Awalnya aku tak paham maksudnya, sebelum mereka menyinggung soal burung-burung yang takut untuk mendekati padi. Burung-burung itu takut kepadaku. Aku berdiri di sana hanya untuk mengusir mereka.

Hujan turun. Aku melihat langit. Tiada tanda-tanda Pipit, Gagak, Manyar, dan lainnya akan melintas. Mungkin mereka juga sedang berlindung dan saling menghangatkan diri. Saat ini aku hanya ingin melihat mereka lagi. Yang aku lakukan justru melihat bayangan tubuhku di genangan air. Aku tidak tahu untuk apa aku terus berdiri di sini. Lebih baik salju terus turun lalu menguburku hidup-hidup.

Suatu hari aku mendengar suara tawa dari pematang sawah. Ukai dan teman-temannya. Mereka sedang tertawa bersama, bukannya menertawakan Ukai. Aku gembira karena aku juga melihat Ayumi di antara mereka. Ia tersenyum sementara seorang gadis merangkul bahunya. Melihat anak-anak itu, aku lega salju sudah reda. Di langit, Pipit dan lainnya mulai menampakkan diri. Mereka tidak perlu mendekat. Aku cukup puas mengagumi mereka dari sini. Musim semi telah tiba.

8 disukai 2 komentar 5.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Kepatihan menjadi berbeda dari yang lain dan syukurnya ditutup dengan manis. ☺️
Saran Flash Fiction