Aku dan Dino saling membenci satu sama lain. Kami berdua tinggal di kompleks yang sama, bahkan, rumahku dengannya saling bersebelahan.
Dino sering sekali membuatku kesal. Setiap kali aku memiliki pacar, ia mencoba untuk membuatku berpisah dengan pacarku. Siapa yang tidak kesal coba?
Hingga suatu waktu, aku baru saja pulang dari supermarket, secara tidak sengaja, aku melihat pacar baruku sedang berbincang dengan Dino. Dengan mengendap-endap, aku berusaha untuk menguping pembicaraan mereka.
Hah, tapi lagi-lagi, aku tetap tidak bisa mendengar kalimat yang diucapkan Dino kepada pacar baruku itu dengan jelas. Namun, pacar baruku itu tampak menganggukkan kepalanya, dengan raut wajah sedih.
Seminggu kemudian, Dino tiba-tiba saja berdiri tepat di depan perusahaan tempat aku bekerja. Aku yang baru pulang kerja dan kelelahan, cukup malas untuk bertengkar dengan Dino. Namun, kali ini, Dino tidak mengajakku bertengkar.
Dia menggandengku ke sebuah tempat yang tidak jauh dari perusahaanku. Dia mengajakku masuk ke dalam sebuah kafe. Betapa terkejutnya aku ketika melihat kedua orangtuaku dan orangtua Dino menyambut kami di area taman kafe. Musik biola yang merdu juga sangat membelai telingaku.
Dino tiba-tiba saja berjongkok di hadapanku. Dia membuka benda kotak berwarna merah, lalu memperlihatkan sebuah cincin berlian yang cantik kepadaku.
"Ini apa?" tanyaku.
"Ini cincin, apa kamu tidak bisa melihatnya?!" Dino mendengus kesal.
"Iya, aku tahu. Dalam rangka apa kamu memberikanku cincin ini?" tanyaku lagi.
"Aku berniat melamarmu dengan cincin ini, disaksikan oleh kedua orangtua kita. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganmu," sahut Dino.
"Tapi, aku membencimu, karena kamu selalu membuatku gagal berpacaran!" pekikku.
"Jika mereka meninggalkanmu, itu tandanya mereka tidak serius kepadamu, Bella," jawab Dino dengan santai.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Bukankah kamu juga membenciku? Kamu terlihat sangat benci kepada keberuntunganku yang bisa mendapatkan pacar dengan mudah?!" sentakku. Namun, dia hanya mengulas senyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak pernah membencimu. Aku sangat menyayangimu, bagaimana bisa aku membencimu. Selama ini, aku selalu takut menunjukkan perasaanku, tetapi semakin lama aku melihatmu dengan pria lain, hatiku semakin sakit. Maka dari itu, aku melakukan hal itu untukmu," balas Dino.
"Maksudmu apa?" tanyaku dengan nada menyentak.
"Kamu ingin tahu, apa yang telah kukatakan kepada mereka?" tanya Dino. Jelas saja, aku menganggukkan kepalaku.
"Sebentar lagi, aku akan melamar Bella, bahkan aku berencana menikahinya dalam waktu dekat. Jika kamu memang benar-benar mencintai Bella, cepat menghadap ke orangtuanya, maka aku akan mengalah. Namun, jika kamu tidak serius mencintai Bella, mundurlah, karena aku sungguh-sungguh mencintai Bella. Aku yang akan menghadap ke kedua orangtuanya," cetus Dino.
Aku membelalakkan kedua mataku. Jadi, itu yang diucapkan Dino oleh para pacarku?
"Pantas saja, setiap pacarku yang bilang habis bertemu denganmu, mereka langsung memutuskanku," sahutku. Dino menganggukkan kepalanya.
"Kamu tahu, di dunia ini memang banyak sekali pria, tetapi hanya sedikit yang mau diajak berkomitmen dengan serius," ucap Dino.
"Jadi, jangan sia-siakan laki-laki baik yang sudah mau berkomitmen dengan serius bersamamu, contohnya seperti aku," ucap Dino dengan senyuman manisnya.
"Jadi, gimana? Maukah kamu menerima lamaranku dan menikah denganku?" tanya Dino. Tanpa pikir panjang, aku langsung menganggukkan kepalaku.
Ternyata selama ini, aku salah menilai Dino.