Tebing

Pernah suatu hari kita berjalan berdua di sisi sebuah tebing yang sangat curam. Di atas sana kita saling bertatapan dan mengagumi keindahan satu sama lain. Entah sudah berapa lama hingga membuat diriku lelah dan tanpa ku sadari, aku mendorongmu ke dalam jurang. Namun kau bertahan, berpegangan di tepi tebing. 

Kau meminta pertolongan ku untuk membantumu naik, karena tak ada orang lain di sana selain diriku yang bodoh, sedang terpana dengan keindahan dunia di sekitarku. Aku pun mengulurkan tanganku, meraihmu dan membantumu naik ke atas tebing. Kau marah, tentu saja marah, namun setelahnya kau tersenyum dan memaafkan kesalahanku. 

Entah mengapa aku selalu melakukan kesalahan yang sama. Mendorongmu lagi ke dalam jurang, menolongmu lagi dan terus berulang melihatmu menderita. Tetapi kau hanya tersenyum menanggapi kebodohan ku. 

"Mengapa kau masih bisa tersenyum?" tanya ku. 

"Untuk dirimu, tidak perlu sebuah alasan" jawabnya dengan senyuman tulus yang membuat pipi ku terasa perih. 

Sampai suatu ketika saat aku ingin menolongmu untuk kesekian kalinya, aku pun tergelincir dan jatuh ke dalam jurang. Kita bersama-sama berpegangan ditepi tebing dan kini aku merasakan apa yang selama ini kau rasakan. 

Kita bertahan melewati hari-hari bersama, tersenyum dan tertawa bersama. Kita mengira bahwa ini bahagia, nyatanya sedang saling menderita. Walaupun demikian baru ku sadari, cobaan seberat apapun bisa ku lalui dengan senyuman, saat kau ada disisi ku. 

Sampai pada saatnya, dengan segala cara aku berhasil membantumu naik ke puncak untuk mengakhiri penderitaanmu. Kau pun berhasil naik, lalu tersenyum melihat keindahan dunia di atas sana tanpa diriku. 

Aku yang masih berpaut di tepi tebing, mengulurkan tangan berharap kau membantuku untuk naik ke sana, namun tak kau hiraukan, kau memilih pergi berjalan menjauh meninggalkanku. Aku berteriak memohon agar kau kembali, tetapi dunia di atas sana sepertinya terlalu indah dibandingkan dengan diriku yang bodoh ini. 

Ku lihat sekeliling, berharap keindahan dunia ini bisa menghiburku, tetapi entah mengapa pemandangan yang sebelumnya terlihat indah menghilang begitu saja dari pandangan ku.  

"Kemana keindahan itu pergi?" tanya ku.

Aku menunggu, berharap bisa melihat keindahan itu lagi. Hampa dan sepi yang kurasa saat ini, bahkan hujan yang turun tak terasa membasahi. Entah mengapa terlintas di pikiranku wajah dan senyuman mu. Air mata serasa menari di permukaan kulit ku, karena tak bisa ku pungkiri, kau lah keindahan itu.

Eratnya genggamanmu, dekapanmu teramat ku rindu. Ku rela bersimpuh demi mendapatkan maaf mu, aku tau tak semudah itu. Andai bisa ku putar kembali waktu, namun semua itu hanya khayalan semu. 

Hari demi hari ku lewati, banyak tangan yang mencoba meraih, tetapi tak cukup kuat untuk membantuku naik ke puncak tebing. Sempat aku berpikir untuk melepaskan genggamanku untuk terjun ke dalam jurang dan mengakhiri semua ini. Sebelum aku melakukannya, aku memejamkan mata. Setelah mata ku terbuka, baru aku sadari. 

"Tidak, aku tidak akan terjun!" ujar ku.

Karena saat ini yang bisa menolongku untuk naik hanyalah diriku sendiri. Walaupun tak dapat dipungkiri, aku masih mengharapkan uluran tanganmu untuk membantuku naik ke puncak bersamamu.

2 disukai 5.4K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction