Aku, Dia, dan Benda-Benda yang Bisa Berbicara

Terkadang, batas antara nyata dan tidak nyata sangatlah tipis. Jarak hidup dan mati bisa jadi amat singkat. Hasil penelitian ilmuwan dan omongan penyihir mungkin tidak jauh berbeda. Dan waktu yang berlalu tetap saja sia-sia.

Penantian kami sama-sama tidak berarti.

Bertahun-tahun sebelum ini, dia sangat menyukai keajaiban. Tulisannya dipenuhi dunia peri, kuda bersayap, dan mainan yang tingkahnya seperti manusia. Aku ingat sekali ketika pemuda itu memberiku hadiah boneka yang bisa berbicara.

Katanya, kalau aku menanyakan sesuatu, benda itu akan memberi jawaban yang tidak mungkin tidak benar.

Kenapa aku suka menangis?

Apakah seseorang bisa membuat panda terbang?

Kapan kami libur panjang?

Dan ... adakah orang yang menyukai gadis sepertiku?

Boneka itu memberi semua jawaban benar kecuali satu, bahwa seseorang mencintaiku dengan tulus.

"Siapa?"

Dia terdiam sebentar, kemudian menggeleng pelan.

"Dia ... pemilik pertamaku. Seorang penyakitan yang tinggal menunggu waktu."

Aku termangu sebelum melemparnya ke tempat yang jauh. Tanah di sana berumput pendek, basah, dan dihinggapi banyak burung. Tempat pemuda itu tersenyum hangat dan mengambil bonekanya.

Belakangan, aku menyadari betapa berharganya pemberian seseorang, dan betapa tidak salahnya kata-kata boneka tersebut.

Pemuda itu begitu baik hati. Dengan sabar menunggu perasaannya terbalas, sementara aku mengunjunginya saat ada waktu. Dia menunjukkan banyak sekali tulisan yang terselip di antara buku pelajaran, serta benda-benda ajaib lain yang bisa kuajak bicara.

Meja, kapan kamu dibuat?

Papan, seperti apa rasanya dipalu?

Kotak pensil, bagaimana cara membalas perasaanya?

Pemuda itu mungkin masih menunggu, namun aku tetap diam di tempat.

"Adakah orang yang mencintaiku?" tanyaku suatu kali, ketika dia terbaring di ranjang rumah sakit. "Kenapa kata-katanya begitu jujur? Kenapa dulu aku lempar boneka itu?"

"Karena kamu percaya? Karena kata-katanya benar?" Dia menjawab acuh tak acuh, lalu tertawa keras sampai terbatuk-batuk. Batuknya tidak berhenti hingga aku harus menepuk pelan punggungnya. Saat itu—detik itu juga—aku dihantam fakta konyol soal kenapa pula dia harus menunggu perasaannya terbalas? Selama ini aku begitu peduli padanya, yang berarti bahwa ... aku mencintainya?

Aku berdoa sepanjang waktu supaya ada dokter yang bisa menyembuhkannya, memberi kesempatan pemuda itu untuk mendengar ucapanku.

Lampu, kapan dia pulang?

Langit-langit, kapan kami bisa duduk berdua?

Dinding rumah sakit, kapan dia akan berlari lagi?

Anehnya, tidak ada jawaban kali ini. Entah sihir pemuda itu akhirnya redup. Atau aku mulai menyadari kegilaan kami.

Di rumah sakit, dia lebih banyak terdiam, mengetik sesuatu di ponsel, atau tertidur. Kami seolah sama-sama tidak punya kesempatan untuk sekadar mengobrol.

"Benda-benda, kenapa dia diam aja?" tanyaku akhirnya.

"Guyonan lama. Kapan terakhir kali kamu lucu begini, ya? 'Boneka, apa binatang bisa terbang?'"

Ah! Guyonan?

Tepat ketika itu, seorang gadis muncul di ambang pintu. Dia membawa buket bunga dan keranjang besar berisi buah-buahan. Selama sepersekian detik, aku merasa gadis itu sangatlah asing.

Atau akulah si asing tersebut?

Ada cincin berwarna sama di jari manis mereka. Ada senyum tulus lain di bibir pemuda itu. Dan ada begitu banyak pertanyaan di kepalaku.

Dia menunggu jawaban atas perasaannya?

Atau justru akulah yang salah mengira?

Saat mereka akhirnya berpelukan, kuputuskan untuk beranjak dan menatap ke luar jendela.

Yah. Dia terlalu awal mencintaiku, sementara aku terlambat mencintainya.

7 disukai 5.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction