Selembar kertas itu memberitahuku sebuah nama.
Arfa.
Embun menetes di antara tanaman merambat. Lereng terjal di sekeliling sedikit lembap. Dan mataku berkunang-kunang. Buram dan perlahan memudar, perlahan bercahaya. Dunia seakan berubah lebih terang seiring aku mempertajam pandangan. Awan-awan menggumpal, lalu menjauh. Burung-burung menggerombol membentuk kawanan beraturan.
Aku ... tidak bisa mengingat apa-apa. Tubuhku penuh luka, barangkali terbentur bebatuan tebing.
Selembar kertas itu memberitahuku satu nama lain.
Kartika. Katanya, aku harus memanjat lereng ini dan mencari seseorang yang dimaksud. Nanti, dialah yang akan menjelaskan semua hal yang ingin kutahu. Kenapa aku terbangun di lereng terjal? Siapa yang mencelakaiku? Apakah aku adalah Arfa? Siapa pula Kartika itu?
Selepas meraih bongkahan-bongkahan batu hingga mencapai mulut tebing, cuaca menggelap. Seorang gadis kelihatan linglung, mondar-mandir di sekitar satu-satunya rumah yang bisa kutemui. Di sebelah kiri bongkahan paling besar, ada botol setengah kosong berwarna biru metalik. Aneh sekali, kehadiran gadis di sana teralihkan begitu saja hanya karena sebuah tempat minum.
Kemudian aku ingat, selembar kertas tadi memberitahuku satu hal.
Bawa botol metalik itu ke mana pun—sekadar berjaga-jaga!
Yah. Seberapa ajaib air tersebut tadinya, aku toh tetap dilukai seseorang sampai terjerembap begini.
Kuputuskan untuk menghampiri gadis itu setelah mengambil botol tersebut. Dia sontak menghentikan langkah begitu melihatku.
“Kartika bukan?” tanyaku.
Dia mengangguk-angguk, tapi kemudian menggeleng.
“Hah? A—apa-apaan? 'Kartika bukan'?”
Selembar kertas itu memberitahuku banyak hal.
Kartika tahu semuanya. Dan sebelum dia jadi banyak bicara, bertanyalah segera! Waktu sangat terbatas di sini.
Jadi, kuabaikan kalimat barusan dengan pertanyaan lain, "Kartika, bisa jelaskan semuanya sekarang?"
Gadis itu membelalakkan mata. Dia mendadak bertingkah aneh, lalu mulai mondar-mandir lagi.
Butuh sekitar lima menit hingga kami menatap satu sama lain. Lalu dia pun bicara, “Lihat rumah ini! Kita berdua berjuang buat dapatin semuanya. Sekarang, semua hilang begitu aja.”
Apakah ini semacam ... perampokan? Kami ditipu? Benda-benda di rumah itu dirampas? Aku nyaris tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan.
Tepat setelah itu, terdengar bunyi sirene tidak jauh dari area ini. Suaranya tidak beraturan. Memekakkan telinga. Burung-burung di atas kepalaku mengubah arah terbang mereka, dan gumpalan awan di sana seakan memudar begitu saja.
Gadis itu kembali mondar-mandir. Lalu dia memicingkan mata, menatapku tajam dengan muka merah padam.
“Kita simpan barang curian itu di rumah ini. Tapi sekarang, di mana semuanya? Kamu bilang polisi tahu soal kita. Jadi, kamu ambil barang-barang itu dan lupa ingatan begitu aja.”
“Kartika, a—“
“Kita kriminal, Fa! Kamu minum sebagian obat itu dan menjatuhkan diri untuk memanipulasi mereka. Menghancurkan bukti. Tapi, lihat! Kita nggak tahu di mana barang kita.”
Sesuatu seolah menghantamku begitu keras. Benda apa yang kami curi hingga aku bisa setakut itu?
Selembar kertas tersebut memberitahuku beberapa hal.
Tidak peduli apa yang terjadi, percayalah pada gadis itu! Selamatkan Kartika!
Aku tidak mengerti lagi siapa antagonis dan protagonis di sini. Jadi kusodorkan botol metalik itu, sementara dia menatap ke arah suara, lalu menerimanya dengan ragu.
Ketika mereka semakin dekat, kami sudah berdiri dengan tangan kosong.
Tapi aku masih mengingat dua kalimat terakhir pada selembar kertas tadi.
Kalau mereka datang, bicaralah, “Tuan, kami tidak tahu apa-apa.”
Mereka akan percaya.