“Bu, kalau aku besar nanti jadi seperti ibu atau ayah?”
“Kamu akan jadi seperti yang kamu inginkan.”
Pernyataan itu selalu menjadi kunci segala tindakan yang kupilih. Ibu memberi kebebasan untuk mewujudkan keinginanku. Menukang atau menenun, ibu selalu mendukung. Rambut sepantat atau plontos mengkilat, ibu hanya tersenyum.
Rupanya kebebasan tak pernah benar-benar ada. Di angka tujuh belas, aku harus memilih demi selembar kartu identitas yang konon bisa mempermudah kehidupan.
“Nak, ibu sebenarnya tak mau memaksamu, tapi kamu harus memilih satu identitas. Pria atau wanita. Blangko kartu ini tak punya pilihan pria dan wanita. Masalahnya, kamu harus punya kartu ini agar diakui.”
“Kenapa orang sepertiku tak digolongkan jenis lain? Kenapa harus memilih satu? Kenapa harus mengorbankan salah satu?”
“Karena di luar sana keistimewaanmu dianggap ketidakwajaran.”
“Tuhan bukan laki-laki, bukan perempuan. Apa aku tak bisa dianggap seperti itu?”
“Kamu bukan Tuhan. Kamu cuma rakyat yang hidupnya tergantung dari selembar kartu.”