Laki-laki itu menyapu daun kering di rerumputan sebelum menyuruh perempuannya duduk. Barulah dia memperbaiki duduknya sendiri di samping perempuan itu.
Laki-laki itu kemudian menatap perempuannya dengan tatapan yang hangat, dalam, seolah tidak ada lagi kesempatan untuk melakukannya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Sayang?"
"Kamu cantik. Hari ini, kamu sangat cantik. Aku tidak bilang kemarin kamu tidak cantik, Sayang, tapi hari ini kamu benar-benar cantik."
"Kamu masih menganggapku cantik setelah semua rambutku rontok? Kamu pasti bercanda, kan, Sayang?"
"Aku serius. Hari ini kamu telah membawa standar kencatikan yang luar biasa. Dan aku tak pernah menyesal mengakuinya."
"Kamu memang tak pernah kalah dalam berkata manis."
Mereka lalu saling menatap, saling membagi senyum. Mereka tak peduli dengan pandangan orang-orang yang juga sedang berada di taman itu, sebab yang mereka peduli hanyalah keyakinan bahwa mereka bersama.
"Terima kasih, Sayang." Perempuan itu meraih tangan laki-lakinya, kemudian menggenggamnya erat. "Terima kasih kamu masih bersamaku selama aku berjuang dengan kanker ini."
Laki-laki itu tersenyum.
"Pertama kali mengetahui ada tumor di tubuhku, aku hancur. Aku kehilangan semangat untuk hidup. Apalagi, orang tuaku sama-sama pergi karena ini. Ditambah, setelah kepergian mereka, aku benar-benar sendirian. Sampai kamu datang..."
Perempuan itu diam sejenak karena sedang menahan air mata yang hendak luruh.
"Sampai kamu datang, aku mulai merasa aku tidak benar-benar sendirian. Aku justru merasa kalau aku adalah perempuan yang sangat beruntung. Jujur... kehadiranmu lebih dari obat, sehingga aku bahkan tidak sadar kanker itu masih menyerang payudaraku."
"Akulah yang justru beruntung bersamamu. Kamu masih ingat, kan, kamu telah menyelamatkan laki-laki pemabuk yang secara tak sadar menghabisi nyawa ibu kandungnya. Saat itu, aku dipenjara bertahun-tahun, dan ketika keluar, tidak ada yang ingin menerimaku. Aku lalu berencana terjun dari jembatan sebab apa gunanya hidup yang seperti mati. Tapi… kamu tiba-tiba datang dan menggagalkan semua rencana itu.”
Keduanya lalu sama-sama tersenyum. Senyum yang saling menghangatkan.
"Sayang... kalau aku pergi nanti, aku ingin kamu mencari perempuan lain," tutur perempuan itu yang membuat laki-lakinya cukup terkejut.
"Apa yang kaukatakan, Sayang? Kamu tak akan pergi, dan aku tak akan mencari perempuan lain."
"Cepat atau lambat, aku akan tetap pergi. Aku hanya tidak ingin kamu kembali kesepian setelah aku pergi."
"Cukup, Sayang. Jangan katakan itu lagi! Kamu pasti sembuh dan kita akan menikah."
"Tidak, Sayang. Kamu akan menikah dengan perempuan lain. Kamu harus janji.”
Laki-laki itu menatap perempuannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Aku akan sangat marah kalau kamu tidak mau berjanji padaku."
Laki-laki itu masih diam. Bibirnya cukup bergetar untuk mengatakan sesuatu.
"Katakan, Sayang! Katakan kalau kamu akan mencari perempuan lain setelah aku pergi, dan kamu akan menikah dan berbahagia dengannya."
Laki-laki itu masih saja membisu.
"KATAKAN!"
"Baiklah, aku berjanji. Aku akan mencari perempuan lain setelah kamu pergi. Aku akan menikah dan berbahagia dengannya. Tapi, aku mohon, kamu harus sembuh agar aku tidak perlu melakukan semua itu."
Perempuan itu lantas tersenyum. Senyum yang sangat indah. Senyum terakhir yang harus laki-laki itu saksikan. Sementara laki-laki itu hanya bisa menangis, meratap, dan menyadari kalau perempuan yang dari tadi duduk di sampingnya sebenarnya telah pergi. Sudah sangat lama telah pergi.
Pinrang, 070421