Sandera

"Turunkan senjata kalian!"

...

"Saya bilang, turunkan senjata kalian! Atau saya ledakkan kepala anak ini."

"Tenang!"

"TURUNKAN!"

"Oke. Semuanya turunkan!"

"Sekarang, jauhkan senjata itu dari hadapan kalian."

...

"JAUHKAN SEKARANG JUGA!"

...

"Oke. Tenang. Kami tak akan melukaimu, tapi lepaskan anak itu sekarang."

"Kalian pikir, saya percaya? Kalian sudah terlalu sering membual."

"Jadi, apa maumu sekarang?"

"Pastikan dulu saya bisa keluar dari tempat ini dengan aman!"

"Katakan saja apa maumu!"

"Bawakan mobil! Parkir tepat di depan pintu!"

...

"Kenapa? Kalian tidak bisa melakukannya?"

"Saya mohon..."

"DIAM!"

"Oke... tunggu!"

...

...

"Sudahlah... aku tahu kalian tidak bisa melakukannya. Dan berhenti berpura-pura kalian ingin melakukannya. Toh, apalah saya? Saya pasti cuma tumbal kalian. Anak ini selamat atau tidak, kalian pasti akan menangkap saya, atau bahkan menembaki saya. Setelah itu, kalian akan berbahagia dengan penghargaan baru kalian."

...

"Mobil itu sudah di depan pintu. Sekarang, lepaskan anak itu!"

...

...

"Bagus! Saya pikir kalian semua pembual!"

...

Dor!!

...

...

"Paman, bangun! Bangun, Paman! Saya mohon..."

***

"Paman, saya ingin itu."

"Pistol?"

"Iya. Pistol itu, Paman. Dengan pistol itu, saya bisa jadi polisi, Paman."

"Hmhm, ya sudah, tapi katakan dulu, kenapa kamu ingin jadi polisi?"

"Biar keren."

"Baiklah, Paman akan membelikan pistol itu asal kamu jadi polisi yang jujur. Kamu tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak kamu, dan kamu tidak menghukum orang yang benar. Janji?"

"Siap, Paman!"

"Anak yang baik."

"Terima kasih, Paman... dor! Dor!"

...

"Oh iya, Paman, apa nanti saya bisa pegang pistol betulan?"

"Tentu saja! Tapi..."

"Tapi apa, Paman?"

"Tapi, kamu harus belajar dengan giat! Dan satu hal lagi, mulai dari sekarang kamu tidak boleh menyusahkan ibu sama bapak."

"Gampang itu, Paman!"

"Sekarang, temani Paman ke bank ya!"

"Siap, Paman!"

"Bentar! Pistolnya Paman ambil dulu ya..."

"Kenapa, Paman?"

"Nanti orang bank pada panik lihat polisi kecil pegang pistol ke bank."

"Hahah. Iya, Paman. Ini!"

***

Bank cukup sepi ketika laki-laki berjanggut panjang dan peci rajut itu melewati pintu. Seorang anak laki-laki yang memakai celana katung sepertinya tak pernah lepas menggandeng tangannya. Mereka berjalan bersama dengan senyum lebar di wajah seolah surga sedang hinggap sebentar di sana.

Laki-laki itu kemudian mengambil nomor antrean. B 15. Selanjutnya, dia meraih kertas formulir, lalu mengisinya. Sedang anak laki-laki itu tak sekalipun menjauh, menemani laki-laki itu yang sedang menulis sambil berdiri. Barulah setelah formulir itu dia isi, mereka duduk bersama nasabah lainnya.

Monitor masih menayangkan nomor antrean B 11 ketika laki-laki itu sedang duduk dengan wajah yang tak bisa lepas dari senyum yang lebar. Dia memang sedang membayangkan wajah bahagia emaknya di kampung ketika melihat total saldonya. Sampai senyum di wajah itu menghilang, benar-benar menghilang, ketika seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk di sebelahnya berteriak kencang.

"Senjata! Laki-laki itu memiliki senjata di jaketnya."

Berkat teriakan perempuan paruh baya itu, semua orang di bank panik, termasuk laki-laki itu dan juga anak laki-laki yang masih setia bersamanya. Alarm yang dibunyikan perempuan teller menambah kepanikan laki-laki yang kini tertuduh itu, sehingga tidak ada yang bisa dilakukan saat itu selain menyandera keponakannya sendiri.

Pinrang, 070421

9 disukai 5.9K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction