“Ae-Ri, kamu tidak berniat pergi lagi kan!” Seorang perempuan berambut hitam panjang diikat tinggi dengan bando di kepalanya membuka pintu dan memasuki kamar Kim Ae-Ri. Ia tampak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya melotot melihat koper yang masih terbuka berisi baju dan perlengkapan Kim Ae-Ri.
Kim Ae-Ri membuka korden jendela kamar, dilihatnya salju pertama di Gangnam sudah turun. Sepertinya salju turun sejak semalam, karena ia bisa merasakan hawa dingin ketika tidur. Kim Ae-Ri melihat ke bawah jalanan Apgujeong-dong. Masih ramai seperti biasanya, dipenuhi para pejalan kaki di trotoar. Bedanya kali ini orang-orang memakai jaket tebal.
“Ae-Ri,” panggil Park Eun Jung, “Kamu berniat pergi lagi?” tanyanya.
Kim Ae-Ri tidak merespon, pandangannya masih kosong menatap salju yang berjatuhan. Begitulah keadaan Kim Ae-Ri setiap kali melihat salju. Ia tidak akan fokus. Matanya akan menunjukkan begitu banyak kesedihan yang membuat orang lain ikut sedih.
“Ae-Ri. Ayolah! Ini sudah tiga tahun berlalu. Laki-laki brengsek itu sudah bahagia, kenapa kamu juga tidak bahagia? Nikmati hidupmu, Ae-Ri.”
Kim Ae-Ri mengalihkan pandangannya ke sahabatnya dan berkata, “Apa seorang pembunuh bisa bahagia, eonni?”
Park Eun Jung dan Kim Ae-Ri saling bertatapan, hingga salah satunya melepas tatapan tersebut. Park Eun Jung menghela napas, sulit untuknya menatap Kim Ae-Ri saat keadaannya seperti ini. Mata Kim Ae-Ri terlihat sendu, menunjukkan semua luka yang menyakitkan.
Park Eun Jung tersenyum, kemudian kembali menatap Kim Ae-Ri. “Kenapa tidak?” tanyanya balik pada Kim Ae-Ri, “kamu lihat penjahat di luar sana? Yang melakukan kejahatannya berkali-kali, mereka bisa bahagia. Kenapa kamu orang baik tidak bisa bahagia?”
Kim Ae-Ri masih menatap Park Eun Jung sendu. “Karena aku masih memiliki hati yang bisa merasakan sakit. Jika hatiku mati rasa, aku mungkin akan bahagia setelah semua yang terjadi.”
Kim Ae-Ri tersenyum yang membuat hati Park Eun Jung getir. Perempuan yang sudah dianggapnya adik ini begitu terluka dengan luka lama.
Kim Ae-Ri kembali melihat ke luar jendela sebelum akhirnya menutup korden. Ia beranjak dari tempat tersebut dan mendekati Park Eun Jung yang duduk di samping kopernya. “Eonni, aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil menutup koper. “Aku janji, aku akan segera kembali.”
Park Eun Jung menghela napas pelan. Kalimat yang selalu sama diucapkan Kim Ae-Ri seperti tahun-tahun sebelumnya. Setelah menutup kopernya, Kim Ae-Ri menurunkan kopernya dari kasur.
“Baiklah.” Park Eun Jung berdiri menghadap Kim Ae-Ri. “Berjanjilah padaku, kamu akan kembali dengan melupakan masa lalu dan hidup bahagia.”
Kim Ae-Ri terdiam. Ia tidak bisa menjawab karena perasaan bersalah yang masih membekas. “Aku harus pergi, eonni,” ucapnya sembari memeluk Park Eun Jung.
Lagi-lagi Park Eun Jung menghela napas. Sahabatnya ini memang terlalu baik untuk disakiti. Hingga ia tidak bisa berjanji untuk bahagia.
Kim Ae-Ri melepas pelukannya.
“Aku akan mengantarmu ke bawah.” Park Eun Jung berniat mengambil koper, tapi ditahan oleh Kim Ae-Ri. “Andwae, eonni. Di luar sangat dingin. Jangan menyakiti dirimu. Aku tidak ingin kamu sakit,” ucap Kim Ae-Ri.
“Berhentilah memikirkan orang lain, pikirkan dirimu sendiri, Ae-Ri!” kata Park Eun Jung gemas.
Kim Ae-Ri hanya membalas dengan senyuman. “Aku pergi, eonnie,” pamitnya sebelum keluar dari kamar.
Park Eun Jung menghela napas berat, “Dasar gadis bodoh! Kenapa kamu terlalu baik!”
***
Kim Ae-Ri memijak tangga terakhir sebelum menuju trotoar. Bisa ia rasakan bagaimana hembusan hawa dingin menerjang tubuhnya meski ia sudah memakai pakaian tebal. Bisa ia lihat deru napasnya yang keluar dari hidung. Kim Ae-Ri menarik kopernya kemudian keluar dari penghuniannya.
Sepanjang perjalanan, Kim Ae-Ri tak berhenti mengusap lengannya kanannya. Salju pertama tahun ini sungguh dingin untuknya. Sesekali ia merapatkan syalnya agar lebih hangat. Sesampainya di halte, ia duduk menunggu bus bersama orang-orang.
Tidak lama bus berhenti di halte. Kim Ae-Ri segera menaiki bus. Melakukan pembayaran dengan kartu. Kemudian duduk di dekat pintu belakang yang kosong. Bus mulai melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan daerah Apgujeong-dong.
Kim Ae-Ri menatap ke luar jendela, menyaksikan butiran salju yang terus berjatuhan menutupi jalan dan pepohonan. Kim Ae-Ri meneteskan air mata, ingatannya melayang tiga tahun silam.
Kim Ae-Ri berjalan terburu-buru malam itu. Sepulang kerja ia ingin tiba di apartemen kekasihnya. Selain untuk memberikan jaket yang baru saja ia beli. Cuaca dingin membuatnya tidak kuat berlama-lama di luar. Salju tahun ini benar-benar dingin. Suhunya hingga mencapai minus delapan belas derajat celcius. Suhu tertinggi yang pernah terjadi di Gangnam.
Kim Ae-Ri menekan password pintu apartemen. Ia membuka pintu apartemen kekasihnya begitu kode disetujui. Dilepasnya sepatu yang ia pakai, lalu meletakkannya di rak depan pintu seperti biasa. Ada yang aneh malam itu, high heel warna pink di rak tersebut. Kim Ae-Ri yakin, ia tidak pernah meninggalkan barang di apartemen kekasihnya. Ia juga tidak memiliki high heel seperti itu.
Perasaan tak enak mulai menyergap hati Kim Ae-Ri. Ia memegang tas slempangnya erat. Bungkusan yang berisi jaket ia dekap. Perlahan ia melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Ia reflek menoleh ke arah dapur begitu ia mendengar suara. Kim Ae-Ri menguatkan hatinya, melangkah menuju dapur.
Bungkusan berisi jaket yang ia dekap terlepas detik itu juga. Ia melihat bagaimana kekasih yang ia cintai mencumbu seorang perempuan. Yang tidak kalah menyita perhatian Kim Ae-Ri adalah besarnya perut perempuan tersebut. Han Joo Won yang mendengar suara pun menghentikan ciumannya dan menoleh. Wajahnya terkejut melihat Kim Ae-Ri di hadapannya. Begitu juga dengan perempuan di depan Han Joo Won.
“Siapa kamu?”
Perempuan tersebut menunduk.
“Kenapa kamu tidak menjawab?” tanya Kim Ae-Ri lagi.
Han Joo Won mendekati Kim Ae-Ri, tapi yang didekati mundur. “Jangan mendekatiku. Aku sedang hancur sekarang.”
Han Joo Won terdiam di tempat.
“Jawablah. Siapa kamu? Atau kamu akan kehilangan bayimu,” ucap Kim Ae-Ri penuh emosi.
Perempuan tersebut tampak terkejut, dielus perutnya yang sudah buncit. “Aku … Park Yun Hee,” ucapnya agak gemetar.
“Berapa usianya?” tanya Kim Ae-Ri lagi.
“Lima bulan.”
Kim Ae-Ri tersenyum getir mendengar pengakuan perempuan tersebut. Air mata yang ia tahan lolos begitu saja. Ia dihianati kekasihnya selama itu dan ia baru tahu.
Kim Ae-Ri menatap tajam Han Joo Won, “Jangan pernah mucul di hadapanku lagi. Dan segera nikahi perempuan yang kamu hamili ini,” ucapnya sebelum pergi.
“Ae-Ri!” panggil Han Joo Won. Tidak terima dengan keputusan kekasihnya, Han Joo Won mengejar Kim Ae-Ri.
Kim Ae-Ri berlari sembari menangis sejadi-jadinya. Bagiamana bisa ia dihianati seperti ini oleh lelaki yang ia percaya akan menjaganya di masa depan?
Cuaca dingin malam itu tidak ia rasakan karena rasa sakit. Salju yang berjatuhan tak ia hiraukan.
“Ae-Ri!” Han Joo Won menahan tangan Kim Ae-Ri, tapi Kim Ae-Ri segera menepisnya. “Kamu tidak bisa memutuskan hubungan kita sepihak,” ucap Han Joo Won.
“Apa kamu gila!” bentak Kim Ae-Ri. “Kamu menghamili perempuan lain dan masih mengharapkanku!”
Han Joo Won yang dibentak merasa tidak terima, “Itu karena kamu, Ae-Ri!” bentaknya balik.
“Aku? Memang apa salahku hingga kamu lakukan ini!”
“Karena kamu selalu menolak setiap kali aku meminta, Ae-Ri!”
Kim Ae-Ri tidak habis pikir dengan perkataan kekasihnya.
“Aku butuh kepastianmu, aku butuh cintamu, tapi kamu tidak pernah memberikannya!”
Kim Ae-Ri menampar keras pipi Han Joo Won. “Cinta bukan hanya sekedar berhubungan! Jika kamu berpikir begitu, itu bukan cinta namanya!”
Han Joo Won mengusap bibirnya yang terkena kuku Kim Ae-Ri.
“Ae-Ri, ini salahku.” Park Yun Hee datang dan memegang tangan Kim Ae-Ri, “Kamu bisa menamparku.”
Emosi Kim Ae-Ri memuncak. “Diamlah!” Kim Ae-Ri menepis tangan Park Yun Hee kasar hingga membuatnya jatuh.
“Ah!” rintih Park Yun Hee sembari memegang perutnya.
Kim Ae-Ri dan Han Joo Won terkejut. Keduanya menyaksikan bagaimana darah merembas dari baju Park Yun Hee dan mengalir begitu saja. Salju yang tadinya berwarna putih berubah menjadi merah.
“Anakku!” Tangis Park Yun Hee pecah di tengah kesakitannya.
Seseorang menyodorkan sapu tangan, membuyarkan lamunan Kim Ae-Ri. Kim Ae-Ri melihat pemiliknya. Lelaki itu tersenyum dan berkata, “Ambilah. Sebelum orang-orang berpikir kamu sakit.”
Kim Ae-Ri mengambil sapu tangan bewarna abu-abu tersebut dan menghapus air matanya. Laki-laki itu duduk di sampingnya. Kim Ae-Ri menoleh, lelaki tersebut ikut menoleh.
Tidak ada tempat duduk kosong selain di sini. Jika yang lain ada kosong, aku akan pindah,” jelasnya.
"Tidak perlu.” Kim Ae-Ri menggeleng, “Kamu tidak perlu pindah.”
Lelaki tersebut mengangguk dan berkata, “Khamsahamnida”
Kim Ae-Ri kembali menggeleng, “Aku yang harusnya berterimakasih.” Kim Ae-Ri menyodorkan sapu tangan ke pemiliknya lagi, “Mianhae. Aku membuatnya kotor.”
“Air mata bukan hal yang kotor. Tidak perlu meminta maaf.” Lelaki tersebut memasukkan sapu tangan ke dalam jaketnya.
Tidak ada pembicaraan setelah itu. Keduanya diam. Kim Ae-Ri kembali menatap luar jendela. Sesekali ia akan menghela napas untuk menghilangkan perasaan bersalahnya. Dulu, sebelum kejadian itu, ia sangat menyukai musim dingin. Namun, setelahnya ia begitu membeci datangnya salju.
Tanpa Kim Ae-Ri sadari, lelaki di sampingnya mengamati dirinya. Mengapa begitu banyak kesedihan di matanya, apa yang sudah terjadi? batin lelaki tersebut.
***
Oh Young Jae membuka pintu, berdiri di teras sembari menggosok-gosok telapak tangan. Cuaca siang di Gangnam begitu dingin. Salju tak kunjung berhenti sejak seminggu yang lalu. Ia menatap perempuan yang sedang asyik membuat boneka salju. Ia menggeleng menyaksikan bagaimana bahagianya perempuan tersebut dibanding satu tahun lalu saat pertama kali mereka bertemu. “Ae-Ri, berhentilah bermain salju. Kamu akan sakit nanti.”
Kim Ae-Ri bergeming, ia masih sibuk menghiasi boneka salju buatannya.
Oh Young Jae menghela napas. Rasanya percuma memberi tahu Kim Ae-Ri jika ia akan sakit saat bermain salju. Perempuan itu lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri. “Jika kamu terus bermain, anak kita akan sakit,” ucapan Oh Young Jae sukses menghentikan pergerakan tangan Kim Ae-Ri. Oh Young Jae tersenyum melihatnya.
Kim Ae-Ri menoleh dan tersenyum, “Baiklah, setelah aku meletakkan ini.” Kim Ae-Ri menunjukkan sebatang pohon kecil kemudian ia letakkan di tengah di antara mata boneka salju untuk menjadi hidung. Setelah selesai, ia bergegas menuju laki-laki yang menunggunya. Kim Ae-Ri langsung memeluk Oh Young Jae.
“Kenapa kamu begitu nakal?” Oh Young Jae membalas pelukan Kim Ae-Ri. Mengelus punggung dan menyalurkan kehangatan pada perempuannya.
Kim Ae-Ri mendongak menatap Oh Young Jae, “Bermain salju sangat asyik,” ucapnya, “aku pikir dia menyukainya.”
Oh Young Jae beralih menatap perut buncit Kim Ae-Ri, “Tapi, jangan terlalu lama. Jika kamu kedinginan, dia juga akan kedinginan.”
Kim Ae-Ri menggangguk, “Baik, appa.” Keduanya langsung tertawa.
Oh Young Jae membawa Kim Ae-Ri masuk ke dalam. Pelan-pelan ia membantu Kim Ae-Ri duduk di sofa. Kemudian melepaskan sarung tangan perempuannya dan menggosok tangan Kim Ae-Ri sembari meniupnya.
“Bagaimana dengan pesananku?” tanya Kim Ae-Ri.
“Tunggu di sini.” Oh Young Jae menuju pantri di depan mereka. Ia kemudian membawa nampan berisi dua mangkok dan gelas berisi air mineral.
Mata Kim Ae-Ri langsung berbinar begitu melihat mangkok di atas nampan.
Oh Young Jae menyuapi Kim Ae-Ri makanan tteokbokki. Kim Ae-Ri bisa merasakan bagaimana rasa pedas dan manis menyatu dalam potongan-potongan kue beras itu. Rasa khas saos gochujang menambah kesan lezat di dalamnya. Makanan yang cocok untuk musim dingin.
Kim Ae-Ri berhambur memeluk Oh Yong Jae, laki-laki itu reflek menjauhkan tangannya karena sedang memegang mangkok dan sumpit.
“Chagiya. Gomawo.”
Oh Young Jae tersenyum dan mengecup kening Kim Ae-Ri, “Apa pun akan kulakukan untukkmu.”
Kim Ae-Ri tersenyum. Ia paling suka dengan kalimat itu. “Aku juga ingin makan jajangmyeon.” Kim Ae-Ri menunjuk mangkok satunya. Dengan senang hati, Oh Young Jae menuruti keinginan Kim Ae-Ri.
Keduanya menikmati kebersamaan mereka. Kim Ae-Ri menemukan kebahagiaannya lagi di musim dingin tahun ini. Memiliki suami sebaik Oh Young Jae yang memperlakukan dirinya seperti ratu. Kebahagiannya terasa lengkap karena ia akan menjadi seorang ibu. Kim Ae-Ri mengandung anak dari laki-laki yang berhasil menghilangkan sakit di hatinya. Musim dingin bukan lagi luka untuknya. Musim dingin bagian dari kebahagiannya seperti dulu.