Disukai
1
Dilihat
7
Sticky Note
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Alya pulang malam, terjebak lembur lagi. Semua penghuni kos sudah masuk kamar.

Ia membuka pintu kulkas untuk mengambil air dingin, dan seperti kebiasaannya, ia menempelkan sebuah sticky note kecil.

“Untuk siapapun yang makan pudingku lagi, semoga hidupmu tetap manis walau mencuri.”

Alya tersenyum sendiri. Humor kecil itu menjadi cara pelampiasannya saat hidup terasa membosankan. Tak ada yang pernah membalas sticky note-nya. Semua penghuni kos sibuk dengan urusan masing-masing.

Tapi keesokan paginya, Alya tertegun melihat sebuah sticky note biru menempel tepat di bawah tulisannya.

“Pudingmu enak. Maaf. Aku butuh manisannya malam itu.”-- Kamar Baru

Alya terbelalak.

Ada penghuni baru? Sejak kapan?

Ia membaca ulang catatan itu. Tidak ada nama. Kosan mereka memang kedatangan penghuni baru minggu ini, tapi Alya belum sempat bertemu. Pintu kamar itu selalu tertutup rapat.

Malam itu juga, Alya menulis balasan.

“Lain kali bilang saja, aku bisa bagi. Tapi kalau kamu ambil tanpa izin lagi, aku akan memukulmu dengan sendok puding.”

Esok paginya…

“Deal. Tapi aku takut sendok pudingmu. Kelihatan kejam.”

Alya cekikikan.

Ini awal mula permainan kecil.

***

Hari-hari berikutnya Alya dengan sengaja menempelkan sticky note lagi di pintu kulkas.

Tentang apa saja, cuaca, kopi yang terlalu pahit, mie instan favorit, bahkan tentang tetangga kos yang suka menyanyi terlalu keras di kamar mandi.

Penulis “Kamar Baru” selalu membalas.

Ternyata orang itu lucu, punya pemikiran aneh, dan seakan membaca cara bercandanya dengan sangat tepat.

Kemarin ketika Alya menulis;

“Hari ini aku ingin menyerah pada hidup. Kerjaan capek bikin kepala panas.”

Ia menjwab;

“Kalau mau bisa kubuatkan teh dingin, tinggal bilang. Aku tidak bisa memperbaiki hidupmu, tapi setidaknya aku bisa membuat teh.”

Alya menyimpan sticky note itu di buku catatannya, menurutnya itu menyentuh.

Ia mulai menantikan balasan itu setiap pagi dan malam, seperti ritual rahasia, karena selalu membuatnya penasaran.

***

Rasa penasaran itu membuat Alya malam ini menunggu di dapur lebih lama dari biasanya, dengan alasan ingin memasak mi. Padahal karena satu alasan ingin tahu siapa orang asing itu.

Namun ia tidak muncul.

Bukannya menyerah, Alya mengirim sticky note yang lebih pribadi.

“Apa pekerjaanmu?”

Balasan;

“Sementara ini, berusaha tetap waras.”

Alya tertawa, tapi membalas lagi:

“Beneran.”

Setelah itu baru muncul;

“Animator freelance. Deadline adalah musuh sekaligus teman hidupku.”

Alya tertegun.

Akhirnya ada sedikit petunjuk.

Esoknya ia menulis;

“Kalau kamu animator, coba gambar aku dong berdasarkan tebakkanmu.”

Dan malamnya, sebuah sticky note panjang muncul:

“Sudah.”

Tidak ada gambarnya. Tidak ada apa pun.

Hanya satu kata; Sudah.

Alya mendadak merasa aneh. Semacam geli yang tidak bisa dijelaskan.

Sudah? Sejak kapan?

Ia mencoba membalas:

“Maksudnya apa?”

Tapi hingga malam berganti pagi, tidak ada balasan.

Untuk pertama kalinya, Alya merasa gelisah.

***

Suatu malam, Alya pulang lebih awal. Ia mendengar suara seseorang batuk pelan dari dapur. Ia langsung berjingkat mendekat.

Lampu dapur mati. Namun ada cahaya dari kulkas yang terbuka. Seorang laki-laki sedang mengambil minuman.

Alya yakin itu penghuni baru.

Ia mengatur napas mungkin ini saatnya mengenal satu sama lain secara langsung.

Namun ketika ia melangkah ke depan, ponselnya berdering, panggilan itu membuatnya teralih sesaat.

Laki-laki itu menutup kulkas cepat-cepat dan menghilang ke lorong. Gerakannya begitu ringan, seakan ia terbiasa menghindar.

Alya mengejarnya, tapi pintu kamarnya sudah tertutup.

Di pintu kulkas ada sticky note baru.

“Maaf. Bukan waktunya.”

Alya mengetuk pintu kamarnya, sekali saja.

Tidak ada jawaban.

Ia menempel sticky note terakhir malam itu;

“Kapan ‘waktunya’?”

Tidak ada balasan sampai tiga hari.

Alya hampir menyerah.

Namun hari keempat, ia menemukan balasan panjang;

“Ketika aku yakin kau tidak kecewa melihat wajahku.”

Alya membaca itu berulang-ulang merasakan sesuatu yang aneh.

Ia takut mengecewakanku? Kenapa?

Alya membalas;

“Kalau aku suka dengan cara kamu menulis, aku rasa aku juga suka wajahmu.”

Balasan datang cepat, seolah ia sedang menunggu;

“Jangan terlalu yakin.”

***

Pada suatu malam hujan deras, listrik tiba-tiba padam. Kosan gelap gulita. Alya meraba-raba jalan ke dapur untuk mencari lilin. Ketika ia masuk, ia melihat cahaya samar dari bawah pintu yang separuh terbuka, kamar baru.

Itu satu-satunya kamar yang tetap menyala.

Alya tidak bisa menahan diri.

Ia mengetuk pintu pelan.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi.

Pintu terbuka sedikit lagi. Alya bisa melihat wajahnya, tapi hanya setengah. Dia masih menunduk.

“Maaf… aku Alya,” kata Alya hati-hati. “Kita… sering saling balas sticky note.”

Tangannya berhenti menggambar. Bahunya menegang.

Ia tidak menatap Alya.

“Aku tahu,” katanya pelan.

Alya terdiam. Suaranya terdengar… rapuh?

Ia melanjutkan, “Boleh aku lihat wajahmu dengan jelas?”

“Tidak.”

Kalimat itu cepat, hampir panik.

“Kenapa?”

“Karena kalau kau lihat, semuanya berhenti.”

Alya memandangnya dengan bingung. “Berhenti apa?”

“Hubungan ini.”

Alya terdiam lama. Kemudian berkata perlahan, “Aku tidak mau itu berhenti.”

Laki-laki itu menutup buku gambarnya. Tangannya bergetar.

“Aku tidak seperti yang kamu pikir,” katanya dengan suara pecah. “Aku punya masalah.”

“Aku juga,” jawab Alya mantap. “Semua orang punya.”

Ia mengangkat wajah sedikit, dan Alya baru menyadari sesuatu. Ada sebekas luka melintang di pipinya. Bekas jahitan lama. Namun bukan itu yang membuat Alya terkejut.

Melainkan ekspresi ketakutan di matanya.

Laki-laki itu cepat-cepat menunduk lagi, seakan malu.

“Aku sering dibully,” katanya lirih. “Sebelum pindah kos ini. Mereka bilang wajahku menakutkan.”

Alya merasakan dadanya panas.

“Namamu siapa?”

Ia ragu sejenak sebelum menjawab pelan;

“Revan.”

Alya mendekat selangkah. “Revan, aku tidak peduli soal lukamu.”

Ia menahan napas. “Kau bilang begitu sekarang. Tapi nanti beda lagi.”

Alya menggeleng kuat. “Tidak. Karena aku menyukai seseorang dari cara ia berbicara, cara ia berpikir, cara ia menghibur orang asing dengan sticky note konyol. Dan itu kamu.”

Revan masih menunduk.

Sampai Alya berkata;

“Boleh aku lihat wajahmu?. Seluruhnya.”

Lama sekali ia terdiam.

Akhirnya ia mendongak perlahan, dengan ragu.

Dan Alya melihatnya.

Sebuah bekas memanjang dari pipi ke rahang. Namun bukan sesuatu yang“menakutkan” seperti kata orang.

Alya tersenyum kecil.

“Kau kelihatan baik.” Sangat baik.”

Revan menatapnya dengan mata tak percaya.

“Kau benar-benar tidak takut?”

“Kenapa aku harus takut? Justru aku takut kamu berhenti menulis untukku.”

Revan menutup wajahnya dengan tangan. Suara tawanya pecah.

“Terima kasih...”

***

Esok paginya, ketika Alya membuka pintu kamar, suasana kos sepi. Terlalu sepi.

Di pintu kulkas, ada satu sticky note baru. Tulisan itu pendek:

“Terima kasih sudah menemani bagian diriku yang ingin hidup.”

Alya mematung. Tubuhnya dingin.

Ia berlari ke kamar Revan. Tidak ada suara. Tidak ada jawaban.

Pintunya tidak terkunci.

Kamar itu kosong. Dalam bak sampah kecil di sudut kamar, hanya ada satu gambar seorang perempuan. Wajah Alya, dan di belakangnya, siluet seseorang yang menatap dari jauh.

Revan tidak berpamitan. Tidak mengatakan ke mana ia pergi. Tidak memberikan kesempatan.

Ia hanya…menghilang.

***

Alya pindah kos setahun setelah kejadian itu.

Sticky note-sticky note itu masih ia simpan dalam kotak kecil di meja belajarnya.

Ia tidak pernah bertemu Revan lagi.

Tidak ada kabar, tidak ada jejak.

Sampai suatu hari ia melihat sebuah pameran seni bertema “Wajah yang Tak Terlihat” di sebuah galeri kecil. Ia masuk hanya karena judulnya terasa familiar.

Di salah satu sudut ruangan, Alya berhenti.

Di sana terpajang gambar yang sangat ia kenali.

Dirinya.

Di bawahnya tertulis nama seniman, R. Dan sebuah catatan kecil;

“Untuk seseorang yang mengajariku bahwa bahkan luka yang paling dalam pun ingin dilihat.”

Alya berdiri lama sekali di depan gambar itu. Merasakan kehilangan yang tidak akan pernah ia mengerti sepenuhnya.

***

Malam itu, Alya pulang ke kamarnya dan menempel sticky note di cermin membiarkannya di sana.

Walau ia tahu Revan tidak akan pernah membalasnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi