Barangkali lelaki yang kugambar sketsa wajahnya secara diam-diam itu berumur 70 tahun. Pandangannya senantiasa menyiratkan keresahan. Dan, keriput kulitnya tidak hanya di muka, tetapi di sekujur tubuhnya. Sebab, pernah suatu kali aku melihat dia mandi di sungai ini. Waktu itu malam remang dan bulan menari-nari di permukaan Bengawan Solo. Lelaki tua itu membuka pakaiannya dan kulihat kulit tubuhnya sekusut pakaian yang dia lepaskan. Kedua puting susunya hitam, dan mungkin keras, berkilat-kilat terkena cahaya bulan.
Kemudian, aku tahu nama lelaki tua itu adalah Pak Sukoco. Sebab, dia telah menyebutkan namanya, padahal aku belum bertanya. Dan, keriput mukanya mengingatkanku pada Bapak, suami ibuku yang sudah tua itu. Mengingatnya seperti memunculkan lagi fragmen-fragmen usang yang sebetulnya telah begitu berjarak terlalu jauh denganku. Masa-masa di mana air mata begitu akrab dan luka terlampau lekat dengan kehidupan sehingga keluarga bukan lagi tempat yang akrab bagi kebahagiaan, tetapi justru menjadi muara segala kegundahan. Oh, Ibu, mengapa kau sangat membenci lelaki yang harus kupanggil bapak itu?
Semenjak perkenalanku malam itu dengan Pak Sukoco. Aku jadi sering mendengarkan cerita-ceritanya tentang banyak hal, terutama sejarah, seni, dan kebudayaan. Karena dia tahu kalau aku adalah seorang pelukis jalanan di kota ini. Kota yang pernah menjadi pusat kerajaan Mataram yang terkenal itu. Kota yang telah menjauhkanku dengan Ibu. Dengan Bapak yang kutanam sendiri tubuhnya dalam tanah. Lembek dan becek. Hujan ikut mengantarkan jasadnya ke pekuburan di sore itu. Padahal Ibu sendiri tidak pernah datang untuk sekadar meneteskan air matanya di tanah itu.
“Jadi, kamu asli Yogya?”
“Iya.”
“Dan, kamu belum menikah, padahal umurmu hampir kepala empat.”
“Iya.”
“Hahaha ....”
Entahlah, aku seperti menemukan sosok Bapak pada diri lelaki tua itu. Barangkali mereka sama-sama lelaki. Sama-sama tua. Dan, sama-sama seorang seniman. Dulu Bapak adalah seorang pemain ketoprak di Yogyakarta, seorang aktor yang hebat. Aku sering ikut ketika Bapak pentas. Waktu aku masih kecil. Diajaknya aku naik truk hingga ke luar kota. Dan, aku belum begitu suka melukis. Kelak Bapak jugalah yang mengajariku melukis. Sebab, Bapak juga adalah seorang pelukis yang bagus. Seorang realis yang sempurna.
Namun, perlahan-lahan karier Bapak makin menurun. Bapak tidak pernah lagi melukis dan tidak pernah lagi menjadi Semar atau Bagong. Bapak menjadi tua dan sakit. Sebab, Ibu tak ingin Bapak menjadi seniman. Tak berduit dan susah makan. Ibu sering mengutuki Bapak dan orangtuanya yang telah menjodohkan dia dengan Bapak. Kemudian, Bapak berhenti menjadi seniman, tetapi Bapak menjadi sakit. Kemudian, mati. Aku tidak ingin cepat mati seperti Bapak maka aku pergi dari rumah. Sebab, aku ingin menjadi seorang seniman.
“Saya tahu kenapa kamu ingin menjadi seniman. Kamu ingin abadi seperti Raphael atau Da Vinci, ya, toh?”
“Iya.”
“Terus, apa kamu yakin kalau karya-karyamu akan membuatmu abadi?”
“Iya.”
“Hahaha ....”
Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari raut muka Pak Sukoco yang keriput itu. Selain tahi lalat yang melekat erat di hidungnya, seperti tak ingin lepas dan bintik-bintik cokelat kehitaman yang muncul di sekitar pipi sebagai tanda tua. Namun, entahlah wajah itu mampu membuat jari-jemariku mengingat setiap lekuk tirus lelaki itu. Sehingga goresan sketsa yang kubuat di atas kanvas ini begitu sempurna. Padahal berani sumpah, aku baru bertemu dengannya 3 kali saja. Itu pun di setiap malam bulan purnama. Padahal aku hampir setiap malam datang ke tepi Bengawan Solo ini. Meskipun hanya untuk sebentar. Meskipun hanya untuk menghabiskan sisa rokok. Meskipun hanya untuk melihat kunang-kunang.
Pak Sukoco tak pernah memintaku untuk menggambar wajahnya. Sketsa ini kubuat atas inisiatifku sendiri. Sebab, wajahnya tak pernah hilang dari ingatanku. Maka kugambar saja wajah Pak Sukoco secara diam-diam. Kemudian, malam ini sketsa wajahnya telah selesai kugambar. Aku akan memberikan kepadanya. Dan, ini adalah malam bulan purnama. Jadi, dia duduk bersamaku di sini. Di tepi Bengawan Solo ini. Merokok dan memandang bulan yang sama. Namun, setiap kali melihat matanya aku seperti menemukan keresahan yang sama dengan Bapak. Keresahan seorang lelaki tua. Barangkali keresahan yang tidak seharusnya ada.
“Kamu lihat Keraton Surakarta itu?”
“Iya.”
“Umurnya kurang lebih sudah 270-an tahun. Bangunan itu telah menjadi saksi munculnya Gerakan Swapraja tahun 1945 yang dipimpin oleh Tan Malaka. Sekarang lihatlah! Keraton itu tak ubahnya bangunan tua yang resah.”
“Iya.”
“Padahal bangunan itu juga telah menjadi saksi keberanian Letnan Kolonel Selamet Riyadi dalam serangan umum tahun 1949 untuk merebut kembali Surakarta dari tangan Belanda. Dan, kamu dapat melihat di sebelah sana ada jalan yang bernama Jalan Selamet Riyadi.”
“Iya.”
“Tapi, sungai Bengawan Solo ini jauh lebih tua dari Keraton Surakarta itu. Dan, tidak pernah ada yang tahu dengan pasti berapa umurnya. Bahkan konon katanya melalui sungai inilah kayu-kayu jati untuk bahan pembuatan keraton itu dihanyutkan dari Alas Kethu. Sebab, sungai ini hanya mengalir. Seperti waktu. Seperti usia yang terus melaju dan tak pernah berhenti. Kamu tahu? Semakin tua sesuatu, semakin berharga ia dan semakin dijaga ia.”
“Iya.”
“Dan, begitu pula seharusnya manusia.”
“Iya.”
“Tapi, ternyata manusia berbeda dengan benda-benda. Semakin tua dia maka semakin tak berharga dia dan semakin dilupakan dia. Lalu, siapa pula yang mau menjaga kakek-kakek atau nenek-nenek? Sudah tua dicampakkan pula, tak peduli seberapa berguna dia di masa muda dan seberapa besar pengabdianya pada masa lalu. Ya, toh?”
“Iya.”
“Hahaha ....”
Aku tahu siapa yang sedang ditertawakannya. Dan, mata itu, sama resahnya dengan mata Bapak. Mata yang tua. Berkerut dan tak lagi jernih. Belakangan aku tahu bahwa Pak Sukoco itu adalah salah satu Buaya Keroncong yang sangat terkenal di masa mudanya. Dia bukan hanya seorang biduan, tetapi juga seorang pemain cello yang andal. Dia sering tampil di berbagai daerah dan menjadi kebanggaan kota ini. Separuh hidupnya dia habiskan untuk mengembangkan musik asal Portugis tersebut. Hingga keroncong tumbuh di kota ini seperti rumput dan ilalang yang tumbuh di musim hujan. Sebab, musik itu bukan hanya tumbuh di gedung-gedung kesenian, tetapi juga di setiap halaman rumah setiap orang. Dan sekarang, Pak Sukoco duduk di sampingku dengan pandangan penuh resah. Merokok tak habis-habis sambil terus bercerita tentang kotanya dan keroncongnya. Tentang sejarah yang telah membeku menghianatinya, juga tentang masa depan yang mengabut di sela-sela jarinya. Sungguh aku takut sekali menjadi tua. Sebab, negeri ini hanya milik orang muda.
Bulan lindap di atas langit. Bayangannya tak mau tenggelam di sungai ini. Pak Sukoco terus tertawa sampai matanya penuh dengan air mata dan wajahnya semerah bara rokoknya. Asap membuat dia terbatuk. Serta-merta dia menghentikan tawanya, lalu mengusap air matanya yang terus keluar, walau dia telah berhenti tertawa. Matanya berkilat terkena cahaya bulan. Dia menatapku begitu lekat hingga tak bisa kubedakan mana sorot matanya dan mana kunang-kunang. “Kamu akan membuat bapakmu bangga.”
“Iya,” kataku.
“Saya pun mempunyai anak, seorang perempuan. Masih muda, dan suka bernyanyi. Dulu dia kebanggaan saya. Seorang penyanyi keroncong yang hebat. Apa kamu kenal Miss Ellis, Miss Tuminah, Miss Jacoba, Miss Sopia? Suara anak saya tak kalah bagus dibanding suara mereka. Hahaha ....”
Aku ikut tertawa sebentar. Sebab, sudah jarang sekali aku tertawa di kota ini. Entah sudah berapa lama, tetapi perlahan aku melihat air mata Pak Sukoco mengalir lagi. Dan, bukan resah yang aku temukan di sorot matanya, tetapi penyesalan, barangkali juga kekecewaan.
“Keroncong itu budaya adiluhung, sebab ia membawa jati diri dan identitas, keroncong yang sekarang menjadi made in Indonesia dan dikagumi dunia internasional karena berpegang teguh pada kaidah-kaidah adiluhung mempertahankan keaslian estetika musikalitasnya.”
Aku tahu Pak Sukoco orang yang benar-benar menguasai musik itu dan dari caranya berbicara kentara benar bahwa dia betul-betul mendalami dunianya. Namun, kenapa orang seperti Pak Sukoco itu harus hidup seperti ini? Dan, menjalani hari tuanya dengan penuh keresahan. Apa benar katanya itu, bahwa semakin tua manusia maka semakin dia dianggap tak berguna dan semakin dilupakan, sehebat apa pun dia di masa muda dan sebesar apa pun pengabdiannya di masa lalu. Sekali lagi aku melihat sorot matanya yang penuh resah. Sorot mata yang menunjukkan bahwa dia terlalu banyak dihianati. Barangkali oleh sejarah, oleh bangsanya.
Ah, Pak, apa yang kau cari sebenarnya di tepi sungai ini? Bulan, kenangan, atau kunang-kunang?
Rokok di sela jariku telah pendek. Panasnya menyengat telunjuk dan jari tengahku. Kuisap asap terakhir yang dapat dikeluarkan rokok itu, lalu kuembuskan perlahan-lahan. Kulihat bulan buram diselimuti asap rokok. Dan, rokokku padam terbawa arus sungai.
“Saya akan pulang. Sebab, bulan sudah lelap dan tak lagi berpijar,” katanya sambil tersenyum ke arahku. Aku baru menyadari kalau rambutnya lebih putih dari warna bajunya. Sepertinya aku tidak akan memberikan sketsa wajahnya malam ini. Masih ada yang harus aku perbaiki dari gambar itu, terutama sorot matanya. Barangkali malam nanti saja.
Aku ikut berdiri. Tersenyum. Malam memang kian larut dan bayang bulan semakin bergelombang di permukaan Bengawan Solo. Kupandang lekat-lekat Pak Sukoco yang mencoba berdiri dari duduknya. Ah, Tuhan memang Maha Pencipta Dia telah membuatkan sketsa Bapak yang begitu sempurna untukku. Pelan-pelan Pak Sukoco bergumam. Semakin lama semakin keras kudengar.
“Saben bengi nyawang konang, Yen memajang mung karo janur kuning, Kembang wae weton gunung, Pacitan sarwi jenang, Panas udan aling-aling caping gunung, Najan wadon sarta lanang, Minumane banyu bening, Dek jaman berjuang, Nyur kelingan anak alang, Biyen tak openi, Gek saiki ana ngendi, Jarene wis menang, Kuturuan sing digadang, Biyen ninggal janji, Gek saiki opo lali, Neng gunung tak condongi sega jagung, Yen mendung tak silihi caping gunung, Sukur bisa nyawang, Nggunung desa dadi rejo, Nggone pada lara apa.”
***
Keesokan harinya aku dikejutkan oleh selebaran koran dengan headline begitu besar, bertuliskan: POP VS KERONCONG, Mengenang Dua Puluh Tahun Kematian Selamet Sukoco. Dan, saat kulihat sketsa foto yang terpampang di koran tersebut sama persis dengan sketsa pak Sukoco yang kugambar di kanvasku. Hah![]