Disukai
0
Dilihat
11
Sepenggal Malam di Tahun 83
Sejarah

Suara muntahan besi itu terdengar kembali. Tidak terlalu menakutkan karena suaranya ada di kejauhan. Tapi yakin saja, akan ada banyak jeritan ditempat sana. Jeritan pilu yang disambut dengan nyanyian serangga malam yang saling bertalu.

Entah sudah keberapa kalinya rentetan peluru itu menghiasi malam gulita di desa ujung Kecamatan Kotagede ini. Awalnya penduduk ketakutan dengan suara-suara itu, karena takutnya ada penjajah baru atau lama kembali membobol dan meringkus Indonesia.

Namun, kenyataanya baru kali ini suara-suara peluru itu terdengar melegakan alih-alih mencekam. Mengapa? Karena besi-besi itu memusnahkan para gali -gabungan anak liar- yang selama ini menjarah dan menimbulkan gelisah di kalbu setiap penduduk. Termasuk si Aryo.

Bocah kelas 6 Sekolah Dasar yang hampir saja menjadi korban penculikan gali. Lantaran ibunya yang tak punya anak perempuan memakaikannya kalus emas. Membuat salah seorang gali berniat menculiknya untuk meminta tebusan setelah merampas kalung di leher Aryo dengan cara mencekiknya. Setelah itu, ibunya Asih, tak pernah lagi membiarkan Aryo keluar rumah. Tidak peduli bahwa Aryo ketinggalan pelajaran di kelas.

"Pasti besok ada mayat," celetuk Aryo Polos.

Bu Asih langsung saja menyabet pelan kepala putranya dengan selendang manik yang selalu membelit lehernya setiap malam dan keluar rumah. Sembari memberikan teguran bahwa mungkin saja suara itu dari saudagar yang berburu bajing. Padahal itu hanya alasan yang dibuat untuk menutupi ketakutannya saja.

 Aryo mendengus keras. Umpatan jengkel yang pernah dia dengar dari teman sejawatnya dia lontarkan dalam hati seraya mengelus lembut kepalanya yang terkena pukulan selendang.

"Lah, Ibu piye to? Bukannya malah bagus ada gali yang mati? Ibu jadi lebih tenang ke pasar. Aryo juga bisa sekolah lagi," timpal Bapak Aryo, Suraji, dari arah belakang. Duduk sila bergelung dalam sarung di atas kursi lapuk sembari memasukkan kemenyan ke dalam lintingan.

Aryo mengangguk membenarkan. Karena memang setelah adanya Petrus - Penembakan Misterius - yang terjadi belakangan ini, suasana kota, bahkan desa jadi lebih tenang.

"Iyo, tapi kan enggak semua gali mati Pak. Emang Bapak pikir gali itu cuma ada seratus? Ribuan Pak, ribuan!!" jawab Bu Asih menggebu.

Dia tidak habis pikir dengan suaminya yang bisa tenang-tenang saja menyuruh anak mereka yang hampir mati sekolah lagi.

Kemudian ajang debat suami istri itu dimulai kembali dengan lisan Bu Asih yang mengingatkan suaminya bagaimana putra cilik mereka hampir saja mati di tangan gali cungkring kalau saja tetangga bujang mereka, Wiryo, tidak menyelamatkannya dengan menodongkan celurit.

Pak Suraji yang merasa kalah berdebat pun memilih untuk menyulut rokok dengan korek kucing dan menyeruput kopi hitamnya yang mulai kehilangan kepulan asap. Mengabaikan bau sengak yang mulai menyebar ke seluruh ruangan.

"Jadi rungokno yo le. Selama si gali-gali itu belum hilang semua, kamu gak usah sekolah dulu. Dirumah aja sama Ibu, lebih enak," tandang Bu Asih dengan nasihat keras.

Aryo hanya mengangguk lemas dan bergumam sebagai balasan. Tidak minat untuk melontarkan umpatan dalam diam lagi. Lama terjadi keheningan di ruang tamu kecil itu. Hanya terdengar Bu Asih yang mulai mengeluh dengan bau rokok yang menyesakkan dan asap putihnya yang meluncur deras dari mulut suaminya. Sebelum sebuah gedoran keras tak sabar itu berhasil membuat mereka serentak menoleh ke arah pintu.

"Pak Raji, Mbok Asih. Buka pintunya! ini Darmo."

Teriakan dari seorang bernama Darmo itu membuat Pak Suraji dan Bu Asih seperti tersengat listrik. Bu Asih langsung saja menyeret Aryo untuk di bawa masuk ke kamar. Sementara Pak Suraji ancang-ancang menyeret kursi jadul yang dia duduki tadi tepat ke arah pintu. Menjadikannya sebagai pemberat agar sosok yang masih setia mencoba mendobrak pintu itu tak bisa memasuki kediaman mereka.

Ada 4 buah kursi ditambah 1 meja yang Pak Suraji kumpulkan. Tubuh kurusnya bergerak mundur ke belakang menjaga jarak dari pintu. Bulir keringat sebesar biji jeruk tak henti mengalir dari pelipisnya, melewati leher, dan turun membasahi kaos putih longgar di badannya.

"Buka pintunya Suraji!"

Mata cengkung Pak Suraji melebar.

Itu Wasno.

Pentolan gali di Kecamatan Kotagede, pangkatnya lebih tinggi dari Darmo. Mengetahui bahaya semakin memberat, Pak Suraji bergegas masuk menyusul anak dan istrinya yang kini terlihat meringkuk di samping kasur seperti cindhil.

"Gimana ini Pak? Kenapa Darmo ada disini?" Bibir Bu Asih bergetar. Dia terus saja memeluk Aryo yang mati-matian menahan tangis.

"Ibu tenang aja, Bapak sudah tahan pintunya pakai kursi," ucap Pak Suraji menenangkan.

Namun, Bu Asih tak merasa lega lantaran suaminya mengatakan itu dengan sekujur tubuh yang bergetar. Dia menunduk, terus memeluk putra semata wayangnya yang ikut meringkuk. Tak henti menciumi puncuk rambut Aryo yang bau apak karena susah disuruh mandi.

Pak Suraji, merangkul kedua keluarganya dalam pelukan yang lebar. Mencoba menenangkan dengan menyuruh keduanya berdoa kepada Sang Pemilik Jagat. Suaranya yang bergetar coba dia hilangkan dan menggantinya dengan suara lembut, tapi justru suaranya terdengar mencicit layaknya anak tikus. Berharap cemas agar kedua sosok dalam dekapannya berangsur-angsur tenang. Walau gedoran di belakang mereka terdengar semakin brutal diringi dengan makian yang semakin kasar di setiap kalimat.

Padahal baru saja tadi dia berharap para gali itu mati. Tetapi kini, kenyataan seolah ingin mengajaknya bermain-main. Sosok gali yang paling ditakuti di seluruh kecamatan datang mencoba mendobrak rumahnya.

Pak Suraji tidak mengerti. Tidak mungkin Wasno tidak tau kalau dirinya orang miskin. Emas yang mereka punya saja sudah direbut tanpa nurani. Jika mereka ingin menjarah sentong merekapun palingan hanya ada beras segenggam di tenggok bambu. Atau mereka ingin menjual keluarganya?

Tidak. Pak Suraji tidak akan pernah membiarkan itu. Dia akan menawarkan nyawanya untuk melindungi kedua insan yang saling mendekap di dadanya kini. Mesikpun dia tidak yakin nyawanya bisa semahal mobil-mobil para pejabat. Dan benar. Setelah hampir 15 menit suara dobrakan itu berhasil pecah menimbulkan suara remahan kayu yang saling tersebar.

"Suraji! Berani betul kamu gak buka pintu buat kami!" bentakan dan langkah keras itu terdengar semakin mendekat ke arah kamar mereka yang hanya tertutup selembar korden berlubang. Pelukan ketiga insan di pojok ruangan berdinding anyaman dingin itu semakin erat. Mereka pasrah jika harus menjadi korban perampokan sama seperti tetangga jauh mereka sebelumnya.

Namun, justru suara rentetan peluru berirama itu yang berhasil datang. Terdengar sangat keras sampai membuat telinga mereka berdengung. Sontak Bu Asih menjerit keras dan Aryo menangis meraung. Pak Suraji sendiri langsung menunduk merangkul keluarganya kuat-kuat. Mencoba menjadikan punggung kurusnya sebagai tameng.

Sampai suara benda ambruk ke tanah itu berhasil tertangkap telinganya setelah peluru mereda. Pak Suraji meluruskan punggung dan menajamkan telinganya kembali. Suara langkah kaki dengan sepatu berat terdengar memenuhi lorong di sampingnya. Dia memberanikan diri melihat ke arah pintu dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Wasno dengan kondisi telungkup, kepala miring, dan mata melotot melihat ke arahnya.

Dia mati.

Kemudian, terlihat sebuah tangan bersarung hitam menarik kerah belakang Wasno, membuat gali kakap itu tak lagi terlihat dalam pandangan Pak Suraji. Beberapa detik setelahnya, korden pembatas kamarnya terbuka. Memperlihatkan seorang pria gagah bersetelan serba hitam menyisakan kedua matanya saja, berjalan menghampirinya.

"Petrus," gumam Aryo tanpa sadar yang bisa didengar kedua orang tuanya.

Sosok hitam besar dengan senapan laras panjang menyampir indah dibahu itu bertanya keadaan mereka dengan suara berat seperti orang dari dalam sumur. Tapi tak mendapat jawaban lantaran ketiga manusia di pojok itu hanya menatap sosok di depan mereka cengo. Masih terkejut dengan apa yang terjadi, sampai sang petrus menjentikkan jarinya mengembalikan kesadaran mereka serentak.

"Kalian baik-baik saja?" ulang sang petrus.

Pak Suraji sebagai wakil membuka mulut. Membaritahukan keadaan ketiganya dengan jawaban serak karena suaranya sulit mencapai kerongkongan.

"Syukurlah. Kalian sudah aman sekarang, jadi kalian bisa keluar. Maaf kami tidak akan membersihkan rumah ini, tapi…." sang petrus menggantung ucapannya hanya untuk mengambil selembar uang bernilai melebihi emas Aryo dari kantong celananya.

Pak Suraji menatap uang itu bingung.

"Untuk biaya pintu yang rusak," kata sang petrus menerangkan.

Pak Suraji yang mendapat bantuan tentu saja menerima dengan senang hati uang itu. Mata uang dengan warna yang seumur-umur terhitung jari dia melihatnya.

"Terimakasih banyak Pak. Terimakasih karena sudah menyelamatkan kami," ucap Pak Suraji dengan kelegaan tak dibuat-buat.

Sang petrus tersenyum walau tak mencapai mata. Membalas dengan bahasa santun dan tulus. Kemudian, Sang petrus dengan langkah berat layaknya seorang rimba berjalan keluar dari kamar tidur sepetak itu. Sebelum dirinya berhasil keluar sepenuhnya, dia menoleh ke belakang menatap ke arah mata Aryo yang masih sembab.

"Lanjutkan sekolahmu Nak. Orang dengan pendidikan dan gelar tinggilah yang selama ini selalu bernasib baik," ucapnya sebelum tubuhnya berhasil keluar dari korden kelabu meninggalkan Aryo dengan mata termenung.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Rekomendasi