Disukai
2
Dilihat
1684
Seandainya Aku Tidak Membalas Ciumanmu
Romantis

Sebenarnya aku menyesal. Sudah ratusan hari aku bertanya kepada diri sendiri, kenapa aku tak bisa sampai benar-benar gila memikirkannya  Aku bahkan baru merasa dia berarti saat dia sudah menetap di bawah langit yang tidak sama. Jutaan kilo meter berhasil membuatku gila, sudah gila karena kejadian itu aku mencintainya.

Tepatnya satu tahun lalu, saat akhir semester kelas dua belas yang sibuk dengan les masuk PTN. 

Aku berpacaran dengan Raka sudah sejak akhir semester ganjil kelas sebelas. Aku dan dia sudah melewati banyak kenangan manis yang sekarang mulai berkurang adanya karena kami berdua sama sama menginginkan masuk PTN. Paling tidak, akan tetapi harus; aku memintanya menungguku di gerbang sekolah untuk pulang bersama. Ya, kami memiliki minat berbeda, Raka ingin masuk jurusan teknik oleh karena itu ia les IPA, sedangkan aku ingin masuk soshum dan mengikuti les soshum untuk sbmptn nanti.

“Raka!” aku berlari menemui Raka yang melambaikan tangan di antara gerbang sekolah. “Udah nunggu lama?”

Raka mengangguk, “Ayo.” dan menggenggam tanganku untuk berjalan bersama.

Namun, hari ini, Raka tidak banyak bicara. Aku hanya banyak memandangi wajahnya yang murung, tanpa berani mengganggunya. Karena sebelum hari ini, aku sempat kaget saat Raka begitu saja menamparku karena aku banyak bertanya soal keadaannya. Iya, aku takut.

Raka mengajakku berhenti di taman yang selalu jadi tempat perpisahan kita untuk pulang ke rumah masing-masing. Dia langsung membalikkan badannya untuk pergi.

“Raka!” aku memanggilnya, tidak bisa tidak peduli kepadanya.

Raka kembali melihatku, tapi hanya menaikkan alis.

“Hari ini baik kan?”

Dia hanya mengangguk.

“Bagaimana kalau kita beli minum dulu? Matcha?”

“Nggak, aku harus pulang, ada acara.”

“Acara apa?”

“Nggak penting buat kamu tahu,” jawab dia yang kemudian langsung meninggalkanku.

Aku tidak tahu, kenapa hal seperti ini terjadi kepadaku. Ingin sekali aku mengajaknya menghabiskan waktu bersama untuk menanyakan masalah ini. Namun, entah dimulai sejak kapan, dia lebih banyak diam daripada bercerita hal random seperti sebelum biasanya. Aku tahu ini terlihat tidak sehat, tapi bagaimana aku bisa melepaskannya dalam keadaan seperti ini.

Ada suatu malam, Raka meneponku.

Aku berlari seperti orang gila, menghampiri Raka yang menangis lewat telepon. Dia mengajakku bertemu di taman perpisahan itu. Ya, sudah pukul sepuluh malam lewat puluhan menit. Aku tak menghiraukan itu, aku takut Raka menyakit dirinya sendiri.

Dan benar saja, aku langsung menghampirinya dan menahan tangannya yang sedang memukuli kepalanya sendiri. “Raka sadar! Ada aku!”

Raka langsung memelukku. Namun, ini bukan pelukan yang biasa ia berikan, Raka terlalu mendekapku sampai aku tidak bisa bernapas. “Ra aaak,” rintihku sambil berusaha melepaskan pelukannya.

“DIAM! Aku mau peluk kamu.”

“Tapi Raka, aku gak bisa napas.”

Raka menengadahkan kepalaku, “Udah bisa napas?”

Aku takut, wajah Raka begitu menakutkan.

“UDAH BISA NAPAS BELUM?”

Aku segera mengangguk beberapa kali.

“Ngomong dong!

“Iya, sayang,” jawabku sambil merintih takut.

“Nah gitu temenin aku nangis. Kan kita pelukan juga sayang.”

Tapi Raka masih memelukku dengan cara kasarnya.

Hari-hari yang aku lalui selanjutnya, menjadi banyak ditanyakan banyak orang, apalagi teman sekelasku karena tiba suatu hari di dekat pelipis mataku ada luka memar.

“Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, Nay?”

“Nggak, ini aku cuma kena pintu waktu buka pintu, baru bangun tidur soalnya.”

“Bukan karena Raka?”

“Bukan, Ca.”

“Kamu bikin seisi sekolah khawatir, Nayla.”

Aku tersenyum tipis. Ya, beberapa hari saat sebelum ada luka memar ini, Raka memarahiku di depan semua murid yang ada di sekolah karena melihatku aku sedang bersama teman laki-laki untuk mengerjakan tugas kelompok. Raka menghajar temanku itu. Sejak saat itu, kemarahan Raka semakin tidak terkendalikan, dan luka memar yang ditanyakan Aca sebenarnya menjadi salah satu hasilnya. 

Aku dan Raka masih berpacaran, hanya saja semakin hari semakin aku tidak tahu apakah ini cinta atau bukan? Apakah Raka mencintaiku? Dan apakah aku masih mencintainya?. Seperti bukan pacaran, tapi aku terlalu takut jika nanti tak bersamanya. Karena pernah waktu itu Raka meminta maaf saat aku menanyakan perasaannya atas bagaimana sikapnya kepadaku belakangan ini, dan dia menangis sampai mencium lututku dengan merintih; “Aku sayang sama kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Jangan putusin aku, aku janji akan baik ke kamu. Kamu masih sayang kan sama aku?”

Dan karena luka memar ini, aku kembali memikirkan validasi pernyataan Raka itu. Aku takut jika sebenarnya ada yang Raka sembunyikan sampai seperti ini, akan tetapi sudah ada beberapa kali aku menanyakan “putus atau terus?” hanya kepada diri sendiri. Entah, mungkin untuk sementara aku harus menahannya, karena manusia gampang berubahnya.

Belakangan ini, aku banyak menghabiskan waktu dengan mengerjakan tugas les-ku. Tugasnya kelompok, tapi hanya berdua. Aku masih sama dengan laki-laki yang waktu itu dihajar Raka karena kebetulan absen kami berurutan.

“Ardan, gimana kalau ngerjainnya di tempat yang enak?” tanyaku.

“Hmmm? Maksudnya nggak mau di sekolah?”

Aku mengangguk.

“Gimana kalau abis ini kita kerjainnya di cafe?”

“Iya, maksudku juga tempat seperti itu!”

“Ar, kita tunggu dulu, ya. Aku tanya temannya Raka dulu, Raka udah pulang atau belum,” pintaku saat kami hendak keluar dari sekolah.

“Kenapa sih, Nay?”

Aku menengok kepada Ardan karena tidak mengerti maksudnya.

“Kenapa kamu masih bertahan sama dia? Itu luka yang ada di wajah indah kamu karena dia kan?”

“Hah? Bukan, bukan gara-gara Raka. Ini kena pintu.”

“Pintu nggak bulat bentuknya.”

Aku menghela napas, “Aku mohon ngertiin aku ya, Ar.”

“Ok, aku ngertiin kamu.” Tapi Ardan malah menarik tanganku, membawaku keluar dari sekolah sampai naik bus yang tepat datang saat kita baru sampai di halte. 

Bus ramai penumpang. Ardan melepaskan genggamannya pada ku dan berdiri di belakangku, “Pegangan,” katanya.

Aku langsung mengikuti apa kata Ardan. Apa yang baru saja dilakukan Ardan membuatku lega karena Raka pasti tidak akan tahu. Aku tersenyum dan melirik ke belakang, ternyata mata kami langsung bertemu di dalam samudra yang begitu dalam.

Dan kini aku duduk berhadapan bersama Ardan dengan suasana yang berbeda. Beda di antara suasana sebelumnya yang hanya sebatas mengerjakan tugas kelompok.

“Maaf soal tadi aku lancang megang tangan kamu, Nay.”

Untuk beberapa detik, aku kehabisan kata-kata, “Nggak apa-apa kok, gapapa.”

Barista menghampiri kami dan memberi menu yang ada di cafe ini.

Namun, “Matcha aja with normal sugarnya dua,” Ardan mengatakan apa yang sudah biasanya aku pesan di cafe bersama Raka.

Barista pun mengiyakan lalu pergi ke dapur.

Saat ini, suasana semakin tidak nyaman. Tidak nyaman yang dalam artian, aku bingung harus bagaimana. 

“Mau ngerjain tugas?” tanya Ardan.

“Kayaknya suasananya lagi nggak enak.”

“Kenapa?” Ardan bertanya lagi.

“Kamu yang kenapa Ar?”

“Kamu mau dengar aku jujur?”

“Jujur tentang apa?”

“Tentang perasaan aku.”

Aku terdiam mendengar Ardan yang begitu juga sudah sangat jujur. Aku sudah tahu apa yang akan ia akui, aku sudah tahu dengan berani menatap matanya. Beruntungnya dua gelas matcha yang dipesan lebih dulu hadir. Matcha memang yang selalu menyelamatkanku, aku langsung meneguknya, Ardan juga jadi mengikutiku.

“Kamu suka matcha?” tanyaku karena ingin mencairkan suasana.

“Udah dari lama suka.”

Aku mengangguk mendengarnya.

“Bukannya kamu mau nanya lagi?”

Aku menaikkan alis, tidak mengerti.

“Soal kenapa aku bisa tahu kamu suka matcha.”

“Oh, iya, kenapa?” aku terbata-bata.

“Karena aku suka kamu dari lama juga, Nayla.”

Aku diam, aku tidak tahu harus menjawab apa.

Ardan malah tersenyum, “Bukan, bukan karena kita satu kelompok lalu aku bawa hati, justru aku sangat senang bisa satu kelompok dengan orang yang aku suka. Aku udah suka sama kamu dari kita satu kelompok saat ospek.”

“Ha?” aku benar-benar tidak tahu. 

Ardan masih tersenyum, “Akhirnya aku lega bisa ngungkapin ke kamu.”

“Kita satu kelompok ospek?” tanyaku untuk memastikan.

Ardan mengangguk dengan yakin, “Iya, tapi di situ Raka juga sudah menyukai kamu dengan terus bertanya kepada kamu, padahal masih banyak orang yang bisa menjawab, termasuk aku.”

“Maaf, aku sama sekali nggak tahu kalau kamu ada di situ.”

“Kamu juga jadi tertarik kepadanya, selalu excited saat menjawab pertanyaannya.”

“Iya, memang aku juga menyukai dia sejak waktu itu.”

“Tapi, kamu baru jadian semester ganjil kelas sebelas.”

“Jangan jangan kamu tahu tanggalnya.”

“Tidak,” Ardan tertawa, “Aku haanya ingat.”

Aku menghela napas, lalu kembali berpikir soal ungakapan perasaannya tadi, “Kamu nggak minta jawaban buat ungkapan perasaan kamu tadi?”

“Aku sudah tahu jawabannya, kamu belum bisa lepasin Raka, Nay.”

Aku terdiam mendengarnya.

“Kenapa kamu masih mau bertahan sama dia yang udah buat kamu bonyok?”

Aku tertawa mendengar bahasa Ardan, “Udah beres ngungkapin perasaan malah so asik bahasanya ya. Aku nggak akan tergoda sama kamu. Aku perempuan setia.”

“Setia itu berarti nggak mendua, kalau mau putusitu hak masing-masing pasangan, Nay.”

“Akunya juga nggak mau putusin dia, Ar.”

“Iya tahu. Terus itu kenapa?”

“Aku masih sayang sama dia.”

“Tapi kamu udah nggak sayang sama diri kamu sendirin, Nay.”

“Nggak gitu dong konsepnya.”

“Begitu, Nay. Kamu pasti udah beberapa kali mikir putus atau nggak kan?”

Lagi lagi aku dibuat diam.

“Kalau di antara orang pacaran udah ada yang mikir kayak gitu berarti kesetiaannya udah mulai hilang, cuma nggak mau anggap itu benar aja.”

“Aku masih sayang sama Raka, Ar. Cuma takut aja, Raka masih baik sama aku kok.”

“Tapi akhir akhir ini seringnya jahat, kasar, gak hargain kamu.”

“Udah, aku mohon cukup pembicaraannya.”

Ardan mengangguk. Kami kembali pada matcha yang mulai dingin. Hari juga ternyata sudah mulai jam empat sore, cuacananya menjadi redup. Tidak ada yang menarik di senja ini, selain uangkapan perasaan Ardan yang tidak ada artinya. 

Semuanya terjadi di sini, begitu saja.

Tiba-tiba dari lantai bawah cafe terdengar teriakan seseorang memanggil namaku, “NAYLA!” teriakannya begitu jelas, begitu membuatku yakin itu suara Raka.

Aku membelalakan mata, kakiku gemetar, tanganku mengepal. “Ar, gimana ini. Aku takut.”

Aku bahkan tidak berani melihat Ardan atas apa yang ia lihat ini dibandingkan dengan apa yang sudah aku jawab untuk perasaan yang ia ungkapkan. Namun, teriakan Raka semakin terdengar dekat jaraknya.

Tiba-tiba ada yang menghampiriku, tapi bukan Raka. Bahkan dia menghampiri bibirku dengan bibirnya menjadi satu. Ardan menciumku saat suara Raka sekarang jelas berada di lantai yang sama dengan kami. 

“Balas cium aku kalau kamu mau putus sama Raka,” suara pelan Ardan membuat aku berdegup kencang.

Saat suara Raka kedengarannya jelas hanya beberapa langkah dari kami. Aku memutuskan untuk membalas ciuman Ardan. Seketika aku melupakan Raka, dan teriakan Raka menghilang. Namun, aku sama sekali tidak melepas ciumanku kepada Ardan, tidak ingin memastikan Raka benar-benar melihat ini atau tidak, aku hanya mengikuti bagaimana dan kapan Ardan mengakhiri ini. 

Namun, Ardan baru mengakhirnya saat dirinya memenuhi pikiranku. Ardan mengakhiri pertemanan kami. Ya, aku dengan Ardan tidak pernah bersama seperti aku pernah bersama Raka. Aku juga tidak bisa menyalahkan Ardan, karena Ardan pernah menjelaskan kenapa dia tidak mengajakku bersama. Katanya; “Kamu membalas ciumanku karena ingin putus dengan Raka, bukan karena membalas cintaku.”

Aku menjawabnya, “Tapi sejak saat itu kamu yang memenuhi seisi pikiranku.”

“Anggap saja itu tidak pernah terjadi.”

Jika Raka menyiksaku dari luar, Ardan menyiksaku dari dalam. Sangat terasa sakitnya menjalani hidup dengan kenangan yang Ardan berikan kepadaku. Namun, seandainya aku tidak membalas ciumannya, sepertinya dia akan tetap bertahan menciumku sampai membuat aku putus dengan Raka. Karena kejadian itu, Raka sendiri yang memutuskanku dengan cara tidak lagi melihatku. Aku dengan Raka seperti manusia yang baru keluar dari kendaraan umum yang jauh dari rumah masing-masing. Dan setahuku Raka sampai saat ini belum lagi mempunyai pacar.

Sedangkan Ardan, dia melanjutkan studi ke Jepang. Dia memang memintaku untuk ke bandara saat ia berangkat. Dan saat aku menurutinya, dia memelukku di sana. Dan lagi lagi memberikan kenangan.

“Bagaimana jika aku menunggu kamu, Ar?’ tanyaku sekaligus mengadu.

“Aku hanya suka kamu, aku tidak pernah menunggu jawabanmu. Ingat itu.”

“Lalu kenapa kamu buat aku gila akan kamu?”

“Kamu hanya belum menerima itu, Nay.”

“Ar..”

“Aku sudah dijodohkan, Nay. Itu kenapa aku tidak mengejar kamu walau aku suka kamu disaat yang sama dengan Raka.”

Aku ingat betul bagaimana sedihnya kebenaran itu. Beberapa hari lalu, aku mendapatkan surat undangan pernikahan Ardan dengan pasangannya bernama Anita. Oleh karena itu aku menulis cerita ini, karena seandainya aku tidak membalas ciumannya, dia tetap yang menciumku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi