Disukai
0
Dilihat
1134
Hidup Tetap Berjalan Setelah Kehilangan
Romantis

Aku tidak tahu bagaimana mengawali cerita yang isinya kehilangan semua. Namun, justru itu yang membuat akan tersampaikan begitu saja. Haha, aku juga tidak mempunyai keluarga, apalagi teman, bahkan pacar. Yang ada aku hanya mempunyai majikan. Majikan yang sudah dua tahun duduk di kursi roda akibat kecelakaan beruntun, dan aku menjadi pelayannya hampir mau enam bulan. 

Majikanku lebih menyedihkan daripadaku, dia sudah mendapatkan jantung yang tidak sempurna sejak ia lahir di dunia, di umur yang seharusnya ia pakai untung mencapai kampus impian, ia menjadi korban kecelakaan beruntun akibat pengemudi yang mabuk, padahal dia sedang dalam perjalanan pulang setelah kelas tambahan untuk ujian masuk kampus. 

Dia pun membenci keramaian, yang dia sukai hanya aku. Dia selalu ingin tahu tentangku dan cerita mengapa aku menjadi pelayan yang paling lama bertahan mengurusnya. Bukan karena aku membutuhkan uang, tapi mungkin karena takdirku yang selalu membersamai orang yang dekat dengan kematian.

Setiap pagi dia selalu memanggilku untuk duduk di teras yang menghadap ke perkebunan rumah. Mungkin kelebihan yang ia punya salah satunya adalah harta miliknya, walaupun uang orang tuanya 70% dipakai untuk pengobatan, tapi siapa yang mau memiliki penyakit mematikan? Bahkan Dokter yang menangani UGD saat dia kecelakaan pun heran kenapa ia bisa bertahan dengan keadaan jantung seperti itu disaat kakinya menjadi lumpuh total.

“Ika!”

Aku menghampirinya dengan membawa dua gelas teh hangat dan piring yang menyajikan biskuit coklat kesukaannya. Aku membantu dia pindah dari kursi roda ke kursi taman, lalu aku duduk di sampingnya. 

“Aku mau tiduran.”

“Apa? Mau ke kamar?” tanya aku balik.

Dia menggeleng, lalu malah menaruh kepalanya di atas kakiku dan menggerakkan kakinya sendirian ke ujung samping kursi. Aku pun menjadi melihatnya dari atas, dia dari bawah. Dia tersenyum seolah senang bisa melakukan ini sendiri tanpa bantuanku.

“Panji, jangan kayak gini. Nanti badan kamu sakit,” ujarku.

Majikanku yang bernama Panji ini meledek dengan menutup matanya, padahal tidak tidur. Aku juga tidak bisa mendorongnya seperti bagaimana hubungan antara manusia yang sehat. Aku selalu menuruti apa yang diinginkan dia, termasuk dia yang memintaku memanggil namanya secara utuh tanpa menambahkan panggilan pelayan kepada majikannya.

Aku selalu memahaminya, karena sebelum dia seperti ini, dia sangat aktif dalam organisasi. Apa yang terjadi padanya juga seharusnya tidak boleh ia terima. Dia sudah banyak menceritakan bagaimana kehidupannya dari lahir hingga sekarang kepadaku. Kalau banyak dari manusia yang melupakan kebahagiaan sewaktu kecil, tapi untuk manusia seperti Panji justru memingat kesedihan dari bagaimana sakitnya ia berjuang hidup sedari kecil sampai sekarang. Bahkan masa masa mengerikan  baginya ada saat ia masih sekolah dasar. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menjalani terapi daripada bermain layangan dari bungkus makanan di lapangan bersama temannya. Semua itu sudah membaik saat dia menginjak SMA, tapi Tuhan justru ingin dia tidak berjalan. 

Yang diinginkan Panji di kebun rumah setiap paginya hari adalah untuk menangis, dan akulah yang menonton itu. Aku selalu akan mengusap air matanya saat pipinya sudah sangat basah. Lalu memainkan rambutnya yang terhempis angin pagi itu sekaligus iri karena rambutnya panjang tapi lebih sehat daripada rambutku. Rambutnya hitam lurus, untung saja kulitnya tidak seputihku, kalau tidak dari belakang ia akan terlihat seperti teman perempuanku.

“Awww.”

“Tuh apa aku bilang? Badan kamu sakit kan.”

Panji membuka matanya sembari memberikan senyuman yang selalu ia berikan. Senyuman yang selalu bisa aku baca untuk apa yang harus aku lakukan. Aku pun membantunya kembali duduk. Aku dengan Panji duduk bersampingan. 

Setiap paginya, dia juga selalu bertanya soal; “Gimana perasaan kamu?”

“Masih sama, Panji. Aku nggak akan mau memulai yang tidak tidak untuk bersamamu.”

“Kalau begitu masih ada esok.”

Dan itu yang selalu ia balas. Entah apa yang membuat Panji menyukaiku, tapi mungkin salah satu penyebabnya adalah karena sering bersamaku. Panji bahkan sudah mengatakan perasaannya ini kepada orang tuanya yang bekerja di luar negeri, dan mereka merestui sampai beberapa kali meminta aku memikirkan untuk mengiyakan saja apa yang ingin Panji dengar. Aku menolak itu dan Panji, sudah puluhan kali. Dia menanyakan itu setiap hari karena aku tinggal di rumahnya bersama satu pembantu lain, tukang kebun, sopir, dan belasan penjaga. 

Walaupun begitu, Panji sudah mengetahui alasan mengapa aku menolaknya, tapi itu juga jadi yang selalu ia tanyakan setiap hari. Panji ingin mendengarnya berkali-kali, dan aku menceritakannya berkali-kali kenapa aku tidak mau menerima penawaran bahagia ini; hanya karena takut kehilangan lagi.

“Ada satu pertanyaan baru yang mau aku tanyakan kepadamu, Ika.”

“Apa itu?”

“Apa kamu menolakku karena memang tidak pernah merasakan cinta kepadaku?”

Pertanyaan itu membuat aku melihat Panji yang sudah memandangiku. Ini pertanyaan baru di antara puluhan pertanyaan sama sebelumnya. Aku mencoba menjawab itu, “Mungkin. Tapi aku lebih merasa karena aku belum bisa menerima kepergian lagi.”

“Kebahagiaan memang bukan untuk sampai akhir hidup, Ka. Tapi kebahagiaan itu untuk sekarang. Kalau gak sekarang, kapan kamu bahagia lagi?”

“Kebahagiaan yang seperti itu justru berbahaya. Hanya sementara, tapi bekasnya lama sekali.”

“Tapi itu tidak seharusnya menjadi alasan kamu tidak bahagia lagi.”

“Aku memang tidak akan sebahagia dulu.”

Panji tersenyum, “Aku juga, tapi sejak kamu menjadi pelayanku rasanya bahagia.”

“Panji, aku jadi pelayan kamu karena takdirku selalu membersamai orang yang tidak pasti hidupnya akan berapa lama lagi.”

“Kamu pikir aku tidak pernah divonis?”

Aku tersentak, ini juga hal yang baru Panji beritahu kepadaku.

Panji maraih tanganku untuk ia genggam, hanya begitu, tidak memberiku penjelasan.

“Maafin aku. Kamu baru kasih tahu aku. Tapi aku memang belum siap kehilangan lagi, Panji,” jelasku berusaha menenangkan suasana.

Panji mengangguk, “Kamu pikir aku tidak ada kekhawatiran seperti itu? Aku juga takut kamu pergi.”

“Nggak akan, Panji. Aku udah nggak ada orang tua, gak ada rumah yang bisa aku jadikan alasan pergi darimu. Alasannya hanya karena aku takut.”

“Kamu memang tidak mempunyai perasaan untukku, Ka. Aku tahu, tapi tak apa, itu merupakan hal yang sangat bisa berubah di kemudian hari.”

Aku diam. Semua yang aku abaikan memang sudah pasti kenyataan yang sebenarnya. Selama ini, selama aku menjaga Panji, yang ada dalam pikiranku tetap Anta.

Tiga tahun lalu.

Anta adalah pacarku selama-lamanya. Namanya Gantara, hanya aku yang boleh memanggilnya Anta. Anta menjadi pacar sekaligus teman yang selalu ada untukku setelah Ayah dan Ibu pergi dari dunia. Beruntungnya aku diasuh oleh Bibi yang baik dan rumahnya tidak jauh dari sekolah. Setiap berangkat dan pulang sekolah, Anta menjadi sopirku.

“Ayo Nona,” ucap Anta dengan rayuan smirknya yang membuat lesung pipinya terjun sedalam samudra. 

Aku naik ke motor vespa putih yang Anta dapat dari Ayahnya yang sangat sukses walau sudah ditinggal pujaan hatinya karena melahirkan Anta.

“Mau makan di mana nih?” pertanyaan Anta ini dengan nada suaranya yang khas menjadi kebiasaan setiap kami baru pulang sekolah.

“Makan nasi remas enak sepertinya.”

“Siap tuan putri.”

Anta sendiri lebih sering memanggilku seperti itu daripada namaku, sedangkan aku sangat menyukai memanggilnya anta. Dia tahu itu, dan dia suka itu. Nasi remas yang Anta temukan secara asal di dalam jalan yang hanya bisa untuk satu mobil menjadi pemenang dari kuliner Ika dan Anta. Sedari awal pacaran sampai kami lulus dari SMA, lalu berpisah juga di sana.

“Kamu ke sini lagi kapan?”

“Cuma tujuh hari sayang, satu minggu nggak lama kan?”

Aku mengangguk, tapi masih memikirkan bagaimana Anta di Australia, lebih tepatnya tanpa aku bersamanya dan dia bersamaku. Anta meraih tanganku dan mengelusnya, “Kamu tahu aku nggak akan pergi dari kamu, ini hanya karena aku harus bertemu Papa aja. Papa kan udah bilang beberapa kali ke kamu kalau aku kuliah di sini dan bareng kamu.”

Aku mengangguk, “Kamu harus kabarin setiap datang, lagi di mana, dan pulangnya.”

“Iya Kanjeng Ratu, pasti. Aku udah jadiin itu di reminder wallpaper home screen Hp aku,” Anta menunjukkan itu. Anta memang paling bisa membuatku melupakan kekhawatiran. Namun, hari itu menjadi kenangan yang seharusnya bisa aku cegah sebagaimana aku tidak bisa mencegah orang tuaku sewaktu harus pergi ke kantor dalam keadaan hujan lebat, meninggalkan aku anak tunggal sendirian di rumah.

Dan Anta juga paling bisa membuatku khawatir luar biasa. Saat satu minggu berlalu dan Anta sudah mengabari jika ia di bandara untuk kembali ke Indonesia. Aku dengan Anta juga sempat berhubungan lewar video call.

“Di sana cuacanya bagus kan?” tanyaku.

“Bagus sayang,” Anta menunjukkan langit yang cerah dengan kamera teleponnya.

Aku memang  melihat bagaimana langit itu benar-benar cerah, tapi aku lupa bagaimana langit yang satu ini memiliki kondisi yang berbeda di setiap bagiannya. Anta seharusnya hanya perlu tiga jam lebih di atas langit untuk perjalanan Australia ke Indonesia dengan pesawat yang mahal, tapi sudah lima jam nomor teleponnya belum aktif dan tidak bisa aku dihubungi. Pikiranku sudah pasti mengarah pada kepergian, tapi aku menyangkal itu. Bibi ikut mencari tahu dengan menelepon temannya yang bekerja di Bandara Soekarno Hatta. Sedangkan aku sudah menghabiskan banyak air mata karena Anta membuatku khawatir lagi.

Bibi menyudahi telepon, lalu dia menghampiriku di sofa. Televisi yang mati itu, Bibi hidupkan. Aku menutup mata karena sudah mengetahui apa yang akan aku dapatkan. Yang aku dapatkan adalah telingaku yang mendengar kabar kehilangan Anta selama-lamanya. Tuhan kembali mengambil orang yang aku sayang. Tangisanku tidak lagi untuk Anta pulang, tapi untuk Anta kembali hidup. Lagi lagi langit yang menjadi perantara aku dengan orang tersayangku berpisah. Kenapa langit lagi lagi harus hujan lebat dan petir disaat orang yang aku sayang dalam perjalanan.

“Kamu masih menyalahkan langit?” tanya Panji yang selalu memastikan hal ini setiap hari.

“Tidak menyalahkan, aku hanya tidak suka langit.”

“Kalau begitu seharusnya kamu di dalam rumah saja.”

“Kamu majikanku saja ingin di bawah langit.”

Panji tertawa kecil, “Kalau begitu mari bangun rumah tangga yang besar, Ka.”

“Tidak mau.”

“Kamu memang tidak akan pernah mau.”

“Kalau begitu sudahi bertanya soal cinta.”

“Aku bukan bertanya, hanya ingin memastikan perasaanmu.”

“Aku tidak akan mungkin menerima cinta kamu, Panji.”

“Kamu seharusnya menerima dengan alasan hidupku yang tidak tahu kapan akan berakhir.”

“Aku memang sempat berpikir begitu, tapi apa kamu tahu apa yang kini aku inginkan?”

“Apa?”

“Aku ingin mencintai seseorang saat aku tahu hidupku tidak lama lagi.”

“Tidak ada yang tahu berapa lama lagi kamu hidup, Ka, jadi kamu harus menerima cinta itu saat kamu memang membutuhkan kebahagiaan pun nggak apa-apa, itu lebih baik.”

“Itu lebih sakit, seperti apa yang terjadi antara aku dengan Anta.”

“Jadi maksudmu kamu ingin seperti aku yang penyakitan ini.”

“Justru kalau aku juga memiliki penyakit dan aku bersamamu. Aku akan meminta Tuhan mengambil aku lebih dulu agar ada orang yang menyayangiku, menangisiku, merindukanku, dan menginginkan aku kembali saat aku diambil Tuhan.”

“Lalu aku yang menjadi kamu?”

Aku mengangguk dengan kesadaran yang baru menyadari apa yang sudah aku katakan, itu tidak pantas. “Maafkan aku, aku gak bermaksud tidak bersyukur.”

Tapi Panji tertawa kecil, “Kamu tidak akan bisa seperti itu, dan aku akan bisa tetap menangisimu ketika pergi dalam keadaan apapun, salah satunya jika kamu pergi dari pekerjaan ini.”

Panji memang pantas untuk Ika, tapi Ika yang tidak pantas untuk Panji, bukan?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Ayolah tak apa, biar saling melengkapi kekurangan satu sama lain😃☝️
Rekomendasi