Disukai
0
Dilihat
1,432
Bagaimana Hidup yang Selamanya Mencintai
Romantis

“Ina, aku cinta kamu.”

“Aku masih belum bisa mencintai kamu, Sa,” kata dia keratusan kalinya.

Ini juga sudah keratusan kalinya aku mengungkapkan cinta.

“Lina!” seseorang perempuan memanggilnya dari kejauhan.

“Oh iya! Sa, ada yang harus diselesai-in dulu sama tim aku. Maaf ya.” dan dia meninggalkanku.

Ina, oh maksudku Lina. Nama panjangnya yang tidak panjang itu Lina Amanda. Tidak ada yang salah dari panggilan Lina, justru aku memanggilnya Ina karena dia sendiri memanggilku Esa saat semua orang memanggilku Hesa dari Mahesa. Esa terlalu agung untuk seorang manusia sepertiku. Dalam posisi pekerjaan saja Ina lebih tinggi pangkatnya daripadaku. 

Tidak, justru kami berteman sejak SMA, itu kenapa aku sudah menyatakan ratusan cinta kepadanya. Namun, sampai ungkapan cintaku yang baru saja, aku masih tidak tahu; aku yang terlalu bawa perasaan atau Ina memang tidak pernah membuka ruang yang lebih dari persahabatan.

Kenapa aku mencintai Ina? Mungkin lebih tepatnya kenapa ina tidak mencintaiku. Di antara semua masa yang aku lewati bersama Ina, hanya tiga puluh persen waktu yang tidak aku lalui bersamanya. Setelah lulus SMA pun, kami mempunyai minat yang sama dalam bidang komunikasi, kuliah di kampus yang sama; aku Jurnalis dan Ina Ilmu Komunikasi. Setelah wisuda masih bersama, diterima berkerja di perusahaan komunikasi walaupun berbeda devisi. Aku bagian penyiaran, sementara Ina bagian content creator. Waktu yang kami lalui masih sama seperti biasanya, bahkan saat Ina lembur untuk menemukan ide baru, aku selalu menunggunya karena aku inginnya pulang bersamanya.

Aku menunggu Ina di lobby kantor, tepat di kursi tamu. Sudah pukul sebelas malam, bagaimana mungkin aku bisa pulang begitu saja dan membiarkan ini terjadi. Jika sudah lembur, Ina selalu memaksimalkan pekerjaannya tanpa hiraukan waktu yang terus berjalan.

Sudah tengah malam lewat beberapa menit. Aku sudah menghabiskan segelas kopi. Kalau sudah jam segini, sebentar lagi Ina akan berlari ke arahku dan langsung menggerutu karena diomeli Bos yang sebenarnya tidak ingin juga bawahannya terlalu memporsir diri.

“Esa!” 

Aku tersenyum tanpa melihatnya berlari kepadaku, duduk di sampingku seraya membaringkan kepalanya di pundakku.

“Capek banget. Dia yang nyuruh cari ide buat konten besok, dia yang marah-marah aku masih di kantor,” keluhannya dimulai.

“Lagian, besok-besok di rumah aja lanjutinnya.”

“Aku nggak akan bisa pokus kerja di rumah, Sa. Kamu tahu sendiri rasanya males kerja di rumah tuh.”

“Ya kalau gitu kamu ajak aku ke cafe atau tempat belajar kayak perpustakaan buat kerja.”

“Sama aja, nanti kamu gangguin aku sama mata kamu yang terus merhatiin aku kayak tersangka.”

Aku tersenyum. Ina tidak hanya menolakku, ia juga selalu menghindari hal yang sekiranya akan membuatku semakin mencintainya dan menyatakan cintaku lagi. Ina begitu tidak ingin aku mencintainya sendirian, yang padahal aku selalu memintanya membiarkan itu terjadi. Karena mau bagaimana pun, ini masih terus berjalan walaupun ratusan kali aku mandengar permintaan maaf atas penolakan cinta darinya, rasanya aku lebih tidak bisa membiarkan perasaanku tidak diketahui.

Setiap hariku hanya seperti itu saja, tapi itu istimewa karena Ina tak pernah sekali pun membiarkan aku tidak bersamanya. Kami bertemu saat masuk kantor, selama di kantor, dan ketika pulang dari kantor. Hari ini Ina tidak lembur, ia sudah memintaku untuk memilih akan di mana makan malam yang tinggal beberapa jam lagi.

Ina memanggilku dari titik yang masih jauh dengan tempat aku duduk. Aku tersernyum lebar dan melambaikan tangan agar ia segera menghampiriku. Biasanya Ina langsung menarikku untuk langsung jalan, “Ayo aku udah lapar!”

Aku selalu senang disaat Ina menggenggam tanganku. Walaupun ia selalu menolak cintaku, Ina tak pernah enggan memeluk tanganku. Dan aku selalu memerhatikan bagaimana tanganku dengan tangannya berpelukan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Bukan sesuatu yang menyenangkan, ini merupakan pertanyaan. Aku melihat bagaimana cincin emas putih melingkar di jari manis tangan kirinya. Tidak ada yang tidak aku tahu dari Ina, dia bukan perempuan yang selalu memakai perhiasan, bahkan dengan gelang pun ia lebih memilih jam tangan. 

Ina sudah sampai membawaku di hadapan mobilku, “Ayok,” ajaknya dan melepaskan genggamannya. Tapi aku tak kunjung sadar. “Sa, ayo!” ia meneriakiku seolah tak ada yang ia sembunyikan. 

Aku mengangguk, berusaha melakukan apa yang lebih harus aku lakukan dulu. Aku tidak memberitahu atau bertanya soal akan kemana. Ina juga sama sekali tidak menanyakan itru. Tujuan awalku membawa Ina ke sebuah tempat menjadi pupus, tidak aku inginkan lagi. Aku berusaha pokus menyetir. Aku terus berusaha mengendalikan emosiku. Namun, kali ini aku tidak sesabar seperti ratusan kali aku mengungkapkan cinta kepada Ina.

Tiba-tiba aku menghentikan mobil di pinggiran jalan. Ina kaget karena aku memang me-rem mendadak.

“Kenapa, Sa?”

“Ada yang mau kamu kasih tahu ke aku kan sebenarnya.”

Benar, Ina tidak langsung membantah, bahkan basa-basi pun tidak.

“Aku juga punya hati, Na.”

“Kok ke situ sih?”

“Terus ke mana? Apa maksud cincin di jari manis kamu?”

“Kamunya tenang dulu.”

Aku menertawakan diri sendiri, “Kalau kamu memang nggak akan pernah suka sama aku, seharusnya kamu buat kita nggak sering sama-sama.”

“Sa, kita teman.”

“Tapi aku punya perasaan ke kamu, dan kamu tahu itu.”

“Ya gimana lagi, aku juga dijodohin. Aku nggak bisa apa-apa.”

“Kamu masih bisa nolak itu, Na!” nada suaraku mulai menekan.

“Udah, Sa. Sebenarnya perjodohan ini sudah satu bulan, dan selama sebulan itu aku udah mencoba tolak.” Ina menggelengkan kepala, “Aku juga ke dia sama seperti halnya ke kamu, aku nggak ada perasaan sama dia.”

“Tapi kamu sudah menyerahkan hidup buat bersama dia.”

Ina tidak membantah itu.

“Aku mau kamu juga terima cinta aku, Na,” curhatanku.

“Kamu akan lebih sakit, Sa. Aku nggak bisa juga.”

“Sebelum kamu menikah, berusahalah sebentar mencintai aku, Na,” pintaku lebih jelas seraya mempertemukan tatapanku dengan matanya yang sedang berlinang.

Ina menggelengkan kepala, “Maaf, Sa.”

“Na..”

“Sa, sebaiknya kita jangan cari sesuatu yang pasti akan lebih menyakitkan dari sekarang, ya.”

Aku terdiam setiap kali mengingat bagaimana percakapan terakhirku dengan Ina di mobil kala itu. Karena keesokan harinya, aku tidak masuk kantor, lama sekali aku tidak masuk sampai akhirnya aku memutuskan resign. Ina masih menghubungiku lewat semua media sosial yang ku punya, aku sama sekali tidak membacanya. Setiap hari semenjak tanpa Ina, aku jadi lebih sadar; ternyata aku begitu mencintainya sampai beberapa kali aku meminta kabar Ina lewat teman kantorku di sana. Katanya; Ina memang berubah sedikit menjadi murung, tapi ia tetap melanjutkan kehidupannya tanpa aku.

Ina benar-benar bisa hidup tanpa aku. Dia bahkan berani mengirim surat undangannya bersama laki-laki bernama Fajar. Aku tidak tahu harus mengakui perasaan yang mana. Aku hanya menangis menatapi foto prewedding yang terselip di antara kertas undangan, sepertinya Ina mulai menerima Fajar. Takdirku meminta aku menangisinya.

Tidak, tentu aku tidak hadir di pernikahan itu. Bahkan aku sangat baik merelakan itu terjadi karena jika aku datang, Ina akan menyesal sudah mengundangku. Dan aku juga sudah bekerja di forum lain, dimana aku menjadi kameramen lagi. Jadwalnya juga lebih padat daripada kantor sebelumnya.

Aku selalu pulang ketika waktu sudah lewat dari jam sepuluh malam. Sampai di suatu malam, saat aku tidak sesering sebelumnya dalam memikirkan Ina, ketika aku membuka pintu rumah dengan keadaan lelah bekerja, aku mendapatkan keberadaan Ina duduk di sofa tamu. Saat itu aku sama sekali tidak memberikan reaksi sedikit pun. Rasanya seluruh duniaku berhenti untuk mengulang masa lalu.

Ina sendiri yang berdiri menyambutku, “Esa.”

Aku tidak menghiraukan itu, aku melanjutkan langkah untuk melewatinya.

Namun Ina masih handal membuatku berhenti untuk mendengarnya, “Aku mau pamit, Sa.”

Aku berhenti melangkah, walau tidak menoleh untuk melihat bagaimana keadaan Ina sekarang.

“Aku mau pamit, aku akan tinggal di Belanda beberapa saat.”

Ina berhasil membuatku melihat kepadanya, “Kenapa?” Tanyaku singkat.

“Fajar ada kerjaan di sana untuk beberapa bulan.”

“Kenapa kamu baru ke sini sekarang?”

Ina tidak menjawabku.

“KENAPA?!” aku kehilangan kendali emosi.

Aku melihat bagaimana Ina menahan dirinya sendiri. Dan mencoba menjawabku, “Aku tahu kamu pasti akan menahanku. Kita berteman, tapi kehidupan dan takdir terus berjalan, Sa.”

“Tidak, Na. Seharusnya kita nggak berteman dekat.”

“Nggak, Sa. Yang benar adalah seharusnya kamu nggak mencintai aku, kamu harusnya nggak bawa perasaan.”

“Bagaimana aku nggak bawa perasaan kalau…”

“Buktinya aku sama sekali nggak bawa perasaan di antara semua ungkapan cinta kamu ke aku.”

“Jadi yang salah aku? Aku salah mencintai kamu?”

Ina diam, tidak langsung menjawab. “Nggak, nggak salah. Tapi seharusnya kamu nggak sampai mencintai aku.”

“Kamu berbicara itu seperti tidak pernah mencintai seseorang.”

Percakapan terakhir antara aku dengan Ina menjadi percakapan yang mengerikan. Karena setelah perkataan terakhirku, Ina langsung pergi tanpa pamit sesuai niatnya menemuiku. Aku pun tak berharap, walau masih berharap sampai sekarang. Rasanya hidupku masih begini-begini saja di satu bulan setelah aku kepala tiga. Aku masih sendiri, belum ingin mencintai. Memang karena Ina, tapi ini lebih baik daripada aku harus memulai dengan orang lain saat aku pun belum melupakan Ina sepenuhnya.

“Mas Esa, ada surat!” teriak Bi Ida di lantai bawah.

Aku menghampirinya dan mengambil surat beramplop biru itu dengan pandangan heran. 

“Kayaknya itu dari Indonesia,” ujar Bi Ida.

Ya, tidak lama setelah Ina dan suaminya ke Belanda, aku memutuskan kerja di luar negeri, Jerman. Ibu meminta Bi Ida mengurus pemuda yang belum menikah ini karena Bi Ida sudah sejak kuliah di sini sampai menikah dengan Om Alex yang sekarang sudah setengah lancar bahasa Indonesia berkat sangat mencintai Bi Ida. 

“Dari Ibu gitu?” tanyaku masih tidak tahu dan bingung.

“Kayaknya bukan, Mas. Selama tiga tahun Ibu mana ada ngirim surat, kan ada video call.”

Bi Ida benar. Bahkan setiap hari Ibu meneleponku untuk menceramahiku agar cepat menikah atau setidaknya mempunyai pacar. Aku menghela napas, lalu ini dari siapa? Aku pun duduk di sofa ruang tengah untuk membuka amplop biru ini. Aku benar-benar tidak tahu ini dari siapa, tidak ada yang aku tutupi. Mungkin dari seseorang yang mengenalku.

Aku membuka perekat amplop biru ini. Ukurannya ternyata lebih besar dari amplop yang biasanya dijual di warung kecil untuk dijadikan pemberian pernikahan. Sudah benar-benar terbuka, dan yang ada di dalamnya tidak hanya satu lembar, bahkan bukan hanya kertas biasa. Aku mengeluarkan semua isi di dalam amplop biru. Ada foto seorang bayi kecil. Aku mengerutkan dahi, mana mungkin ini untukku. Aku langsung membuka kertas yang terlihat ada tulisan tangan di dalamnya.

Dan saat aku baru melihat tulisannya, semua yang aku tidak tahu menjadi tahu. Ternyata aku masih mengingat semua hal kecil dari dia. Aku juga langsung memeriksa ujung surat, ada salam di akhir yang dilengkapi tulisan “Ina” dan tanda tangan yang aku buatkan saat Ina membuat KTP.

Untuk Mahesa, yang aku panggil Esa.

Sa, apa kabar?

Ini aku ina, hehe.

Terima kasih sudah mau membaca ini, aku harap kamu membacanya sampai akhir.

Menjadi seorang istri tidak mudah, Sa. Namun, maksudku mengirim surat ini karena aku ingin cerita, aku mau kamu mengetahui ini. Hubunganku dengan Fajar semakin hari semakin tambah dekat dan nyaman. Akan tetapi, tetap saja menjadi seorang istri tidak mudah. Apalagi saat aku masih di Belanda, aku tidak tahu harus berlari ke siapa saat aku merasa bosan karena Fajar sangat sibuk dengan pekerjaannya, meskipun memang dia selalu pulang tepat waktu untuk menepati janjinya menemaniku. 

Waktu berjalan cepat, dan aku hamil. Sayangnya waktu semakin cepat berlalu sampai saat usia hamilku sembilan bulan, aku memutuskan pulang dulu ke Indonesia. Tanpa Fajar, sabtu berikutnya Fajar baru menyusul. Namun, anakku keluar lebih cepat saat Fajar masih dalam perjalanan terbang. Fajar benar-benar laki-laki yang bertanggung jawab, Sa. Aku bersyukur. Foto bayi yang kamu lihat itu anakku, dia ganteng bukan? Fajar memberikan kebebasan kepadaku untuk memberikan namanya. Dan aku menamainya Mahesa Andraj, panggilannya Esa. 

Hehe, iya Sa, inspirasinya kamu. Karena beberapa hari setelah aku datang di Indonesia, suatu hari aku mengunjungi rumahmu. Ternyata kamu di jerman, kamu sudah mempunyai pacar? Aku harap kamu bisa menemukan hidup dan cinta yang lebih berharga daripada sebelumnya. Tidak, sebenarnya aku kecewa, karena padahal alasanku kembali ke Indonesia adalah kamu, Sa, karena setelah melahirkan Esa anakku, mungkin aku tidak kembali ke Indonesia lagi. 

Sa, boleh kita bertemu? Fajar mengetahui semua yang pernah aku dan kamu lalui. Dia tidak keberatan untuk aku dan kamu bertemu. Bagaimana suamiku? Baik bukan? Kamu harus memujinya saat kita bertemu. Fajar meminta cuti untuk menemaniku setelah melahirkan. Dia sendiri yang mengajak aku berlibur dan memilih jerman, akan tetapi bukan untuk menemuimu. Aku, Fajar dan bayi Esa memang ingin berlibur. Hanya saja ada kesempatan untuk kita berdua bertemu. Nomor teleponku masih sama, kamu bisa menghubungiku jika ada waktu untuk bertemu. Minggu depan aku baru terbang ke sana. 

Aku mohon, kita bertemu.

Salam temanmu, Ina.

Lima hari setelah kedatangan amplop biru.

Entah sudah berapa kali aku memikirkan akan datang atau tidak, karena Ina sudah mengirim email kalau ia sudah berangkat ke tempat yang sudah ia tentukan. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Jika aku datang, kemungkinan terburuknya aku akan menginginkan bersamanya lagi, tapi ada kemungkinan yang paling buruk yaitu aku tidak tahu kapan akan bertemu Ina. Namun, aku sudah mengenakan pakaian untuk menemuinya, hanya kemeja hitam yang ditutupi dengan coat hitam lagi, dan bawahannya celana cream yang longgar.

Aku memikirkan ini dari satu jam lalu. Ina mungkin akan mengirim pesan lagi, tapi apa aku pantas menunggu itu? Ah! Aku tidak bisa diam saja! Aku pun mulai menggerakkan diriku untuk keluar rumah. Memakai Taxi agar aku tidak bisa balik arah. Awalnya Ina meminta aku yang memilih cafe-nya, tapi mungkin karena aku tidak saja menghubunginya, Ina mengambil langkah lebih depan dengan mengirimku pesan email dua hari yang lalu, lalu satu jam sebelum ini dia memberitahu jika sudah berangkat, padahal aku sama sekali belum membalasnya. Aku takut Ina benar-benar menunggu, apalagi jika ia sendirian.

Akhirnya aku sampai di cafe rose yang dindingnya berornamen coklat kayu. Aku tersenyum, selera Ina masih sama seperti dulu. Aku mendorong pintu yang membunyikan lonceng di atasnya, itu cukup membuat seluruh isi cafe melihat kepadaku. Saat itu, aku langsung menemukan sosok perempuan yang kini sudah mempunyai Esa yang lain. Ina tersenyum yang menjamuku untuk menghampirinya di meja yang berada di tengah suasana cafe.

Setelah sekian tahun, aku duduk di hadapan Ina lagi. Setelah ribuan pertemuan, ini seakan pertemuan pertama kami. Kebiasaan Ina pun masih sama, baru saja aku duduk, pelayan datang menyajikan dua kopi hangat di tengah Jerman yang sedang dingin.

“Ini kopi americano dengan susu kedelai ditambah sedikit caramel yang hangat,” ujarnya seraya memberikan segelas kopi dengan racikan kesukaanku.

“Terima kasih.”

Ina meneguk kopinya, aku mengikutinya. Padahal kopi kesukaanku sudah berubah satu tahun lalu. Dengan ini aku menjadi sadar seberapa besar usahaku melupakan Ina.

“Aku kira kamu nggak akan datang,” celoteh Ina.

“Memang. Bahkan aku sama sekali tidak berniat datang.”

“Lalu apa yang membuat kamu datang?”

“Pasti kamu, Na.”

Ina mengangguk, “Aku datang ke sini sendiri, Fajar menonton film dengan Esa di kamar berdua saja,” dia langsung bercerita dan tersenyum.

Aku ikut tersenyum tanpa menjawab dengan sanjungan atau basa-basi.

Ina memberikan pandangan yang membuatku juga melihat kepadanya. “Kamu harus bahagia, Sa. Temuin teman hidup.”

Aku tersenyum kecil mendengarnya, “Biarin aku menjalani hidup yang aku mau, Na.”

“Tapi kamu berhak dicintai.”

“Dan aku juga berhak mencintai.”

Ada jeda yang dibuat Ina. “Kamu masih mencintai aku?”

Dengan lugas aku mengangguk dan mata yang terus memandang bagaimana awan yang ada di mata Ina masih sama indahnya dengan sejak pertama kali aku melihatnya dan menyukainya.

“Kenapa?” tanya Ina, masih sama seperti dulu dan ini juga sudah ditanyakan lebih dari seratus kali.

“Cinta nggak harus ada alasan dan pembelaan, Na. Aku memang mencintai kamu, dan rasanya cukup.”

“Tapi aku sudah punya anak, dan kamu akan semakin tua.”

“Memangnya?” 

“Aku mau kamu bahagia, Sa.”

“Aku sudah bahagia seperti ini. Kebahagiaanku yang aku nyatakan juga tidak kamu terima, Na, jadi tolong jangan ambil kebahagiaan yang berusaha aku rasakan.”

Ina mengangguk beberapa kali. “Kalau kamu mengharapkan kebahagiaan dari aku, sebaiknya sudahi. Aku sudah bahagia bersama Fajar.”

“Harapan aku nggak mengganggu kamu kok.”

“Mengganggu lah, Sa. Kamu tahu itu…”

“Seharusnya nggak mengganggu, Na. Biarin aku mencintai kamu sendirian, lagi pula kita udah jauh sekarang. Kamu sudah punya kehidupan baru, aku pun.”

“Kamu masih di kehidupan lama yang mencintai aku, Esa.”

“Apa masalahnya dengan kamu? Aku bahkan menyempurnakan jarak jauh di antara kita.”

“Walaupun aku tolak kamu ratusan kali, itu tetap mengganggu aku karena kamu temanku.”

“Kamu bilang kita sewajarnya teman, ya sudah nggak usah dipikirin. Kecuali kalau memang sebenarnya kamu punya perasaan sama aku, tapi kamu nggak mau mengakui itu.”

“Nggak. Bukan begitu.”

“Na, kalau gitu biarin aja. Biarin aku mencintai kamu, dan belum menikah. Aku tidak mengungkapkan perasaan lagi kok.”

Ina mengalihkan pandangannya. Tatapannya kosong dan kembali meminum kopi yang sudah tidak lagi hangat. Aku mengikutinya, akan terus mengikuti bagaimana Ina di hadapanku. Pandanganku juga masih mengikutinya. Tidak hanya Ina yang masih sama, aku juga masih sama seperti dulu, seperti selama aku mencintainya.

Kopi kami sepertinya sudah sama sama habis. Ina mengembalikan pandangannya kepadaku, aku langsung menemukannya dengan pandanganku. Ina terdengar menghela napas, “Kamu emang nggak pernah coba untuk melupakan aku?”

Aku tersenyum, “Pertama, aku pindah ke Jerman. Kedua, aku sama sekali nggak menghubungi kamu. Ketiga, aku bahkan mengganti makanan dan minuman yang aku suka, termasuk kopi, sekarang aku lebih suka matcha. Dan terakhir, aku terus melupakan, melupakan, terus melupakan kamu kok, Na.”

Ina meneteskan air mata, “Maafin aku karena nggak bisa balas cinta kamu yang sejati itu.”

“Kenapa nangis?” tanganku menghampiri air matanya untuk aku usap. Awan yang terukir di matanya kembali hujan setelah lama aku menangis sendirian karena merindukan Ina. “Na, cinta nggak selalu ada pasangannya. Aku pun begitu. Mencintai memang bukan hanya soal diterima atau tidak, tapi soal bagaimana mencintai dan mengungkapkannya. Ini caraku mencintai kamu, Na.”

“Aku yakin kamu pasti bertemu perempuan yang akan mencintai kamu seperti kamu mencintai aku, Sa.”

Aku tersenyum simpul, lalu menggelengkan kepala, “Jangan, Na. Aku nggak mau dicintai seseorang seperti aku mencintai kamu.”

“Lalu kamu benar-benar tidak akan mencoba mencintai perempuan lain?”

“Aku masih mencoba melupakan kamu, Na.”

“Kamu masih saja egois.”

Aku tertawa senang mendengar gerutu Ina setelah lama tak membuatnya kesal. Selama waktu berjalan, antara aku dengan Ina mulai terbiasa, tidak setegang sebelumnya. Ina menceritakan bagaimana kehidupannya dengan Fajar, bahkan memberitahu beberapa masalah yang pernah terjadi di antara mereka, tapi akhirnya selalu ia bela dengan alasan sikap Fajar yang dewasa, katanya. Memang terdengarnya nyata, aku menjadi tahu kenapa ia tidak pernah mencoba menerima cintaku. Jodohnya memang Fajar, bukan aku. Aku juga menceritakan kenapa aku memilih tinggal di Jerman dan bagaimana keseharian yang aku jalani dengan teman di sini.

“Kamu tidak mencintai temanmu yang di sini?”

“Hampir semua laki-laki.”

Ina puas menertawakanku. Aku bersyukur menemuinya, terlebih aku sangat bersyukur ini terjadi, terlepas dari semua penolakan yang Ina berikan, memang aku yang ingin tetap mencintainya. Tidak ada yang salah dari terus mencintai seseorang selagi seseorang itu bahagia. Seperti antara aku dan Ina. Cinta kami memang tidak bertemu, tapi aku menemukan kebahagiaan saat mencintainya, meskipun akhirnya tidak bahagia, yang terpenting Inaku bahagia.

“Na, sampaikan salamku kepada Fajar.”

“Fajar juga menitipkan salam untukmu,” ujarnya sembari merapikan tas untuk pulang karena sebentar lagi malam.

Perpisahan kali ini kami yang putuskan. Aku yang keluar cafe duluan, katanya Fajar akan menjemput Ina bersama Esanya untuk jalan-jalan malam. Tidak ada penyesalan yang aku bawa keluar cafe, tapi aku justru membawa hati yang hangat untuk terus mencintai Ina.

Beginilah hidup Mahesa yang selamanya mencintai Lina Amanda.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi