Disukai
1
Dilihat
1412
PEMBELI TERAKHIR
Horor

 Sugeng mendorong gerobak baksonya di sepanjang jalur yang biasa dia lewati, namun hari itu tampaknya keberuntungan belum berpihak kepadanya. Sejak dia keluar rumah jam 17.00 tadi, baru ada tiga pelanggan yang membeli baksonya. Sekarang sudah hampir jam 21.00, di gerobaknya masih tersisa kurang lebih 45 porsi bakso.

“Ah, baksonya masih tersisa banyak, padahal bakso ini kalau dijual besok sudah basi karena tidak menggunakan boraks. Tapi biarlah aku berkeliling hingga larut malam yang penting dagangannya segera habis,” gumam Sugeng sambil terus mendorong gerobaknya.

Dalam perjalanannya, Sugeng melewati sebuah persimpangan. Biasanya dia mengambil jalan yang lurus menuju Kampung Mawar, namun kali ini entah mengapa dia ingin berbelok ke arah kiri. Jalan itu belum pernah dilewatinya karena jalannya rusak tak terawat dan sempit, tetapi kali ini dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di jalur itu. Sugeng membelokan gerobaknya ke kiri dan berjalan melewati kebun bambu, ternyata di sebelah kebun bambu itu ada beberapa rumah penduduk.

Wah, ternyata di sini sudah banyak rumah tinggal, semoga saja baksoku laku di sini. Lumayan aku bisa dapat pelanggan baru di tempat ini, batin Sugeng.

Setelah melewati dua rumah, di sebelah kiri jalan, Sugeng melihat ada sebuah keramaian seperti Pasar Malam di sebuah tanah lapang. Di Pasar Malam itu banyak orang berjualan aneka makanan dan minuman, berbagai wahana permainan seperti Komedi Putar, Bianglala, berbagai permainan ketangkasan seperti melempar gelang, melempar bola basket dan diramaikan juga oleh pedagang mainan anak-anak dan pakaian. Para pengunjung ramai menikmati berbagai wahana yang disediakan di pasar malam atau hanya sekedar berbelanja dan menikmati kuliner.

Wah, ada pasar malam rupanya, kok baru tahu ya. Biasanya jalanan ini tampak gelap dan sepi. Aku coba berjualan di situ saja siapa tahu nanti baksonya laku keras, batin Sugeng penuh harap.

Sugeng langsung mengambil posisi yang strategis dan mulai memukul mangkoknya memanggil pembeli. Baru sebentar dia berada di tempat itu, ada seorang ibu-ibu bersama anaknya membeli baksonya.

“Bakso dua Pak, yang satu tidak pedas ya,” pesan ibu itu.

Sugeng segera menyiapkan pesanan ibu itu, baru saja dia selesai, sudah ada pembeli lagi yang memesan baksonya. Begitulah malam itu Sugeng sangat sibuk melayani pembeli, hatinya gembira karena hari ini dia tidak pulang ke rumah dengan tangan hampa dan isterinya tidak mengeluh lagi. Ketika baksonya tinggal satu porsi, datanglah seorang bapak-bapak mendekat ke gerobaknya.

“Maaf Pak, baksonya tinggal satu porsi saja,” ujar Sugeng.

“Oh, tidak apa-apa saya pesan satu saja,” kata bapak itu sambil menunggu dengan sabar di depan gerobak baksonya.

Sugeng segera menyiapkan baksonya namun ketika akan menaruh sendok di mangkok, sendoknya terjatuh di bawah gerobaknya.

“Maaf, Pak sendoknya jatuh nanti saya ganti saja,” ujar Sugeng sambil memungut sendok yang terjatuh di kolong gerobak.

Ketika mengambil sendok yang terjatuh, Sugeng melihat ada sepasang kaki yang besar dan berbulu lebat. Kaki besar itu milik bapak-bapak yang berdiri di depan gerobak baksonya. Di tengoknya ke atas, dilihatnya wajah bapak itu tampak biasa-biasa saja seperti manusia pada umumnya. Dikuceknya kedua matanya siapa tahu dia salah lihat kemudian melihat ke kolong gerobak kembali dan kaki besar berbulu itu masih ada di sana. Sugeng mengucap istighfar dan membaca doa-doa yang dia bisa. Tiba-tiba terdengar bapak itu bertanya

“Sendoknya masih lama Pak?”

Sugeng semakin gemetar ketakutan, namun dia tak ingin makhluk di depannya ini mengetahui ketakutannya. Maka dia memberanikan diri mengambil sendok baru dan memberikan kepada bapak itu.

“Ini sendoknya Pak,” ujar Sugeng memberikan sendok itu tanpa melihat ke wajah orang di depannya.

Sugeng segera membereskan dagangannya, kemudian buru-buru kabur dari tempat itu. Tak dipedulikannya bapak-bapak itu yang masih belum membayar baksonya karena belum selesai makan. Terdengar orang itu memanggilnya

“Pak, baksonya belum dibayar!”

Tetapi Sugeng tidak peduli, dia terus saja berjalan cepat mendorong gerobaknya pergi dari tempat itu. Setelah merasa agak jauh dari pasar malam, Sugeng memberanikan diri menoleh ke belakang. Dilihatnya Pasar Malam yang terang benderang itu sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pepohonan dan semak-semak dalam kegelapan malam yang mencekam. Dia kembali beristighfar dan mempercepat langkahnya agar dapat segera keluar dari tempat itu. Sugeng merasa sudah berjalan jauh meninggalkan pasar malam, namun dia belum juga mencapai jalan besar menuju persimpangan tadi. Jadi dia seolah hanya berjalan di tempat, padahal dia merasa sudah lama berjalan jauh sampai kedua belah kakinya terasa lelah.

 Sugeng terduduk kelelahan di bawah sebuah pohon sambil terengah-engah, bibirnya tak henti mengucapkan doa minta diberi keselamatan. Akhirnya karena sudah lelah berjalan sekian lama tanpa hasil, Sugeng tertidur di bawah pohon itu. Entah berapa lama dia tertidur tiba-tiba dia merasa pundaknya di tepuk oleh seseorang.

“Pak, bangun Pak jangan tidur di sini.”

 Sugeng terkejut kemudian terbangun, dilihatnya hari sudah lewat subuh, ternyata seorang pemuda penjual sayur di pasar yang membangunkannya.

“Pak, Bapak kenapa bisa tidur di semak-semak? Itu gerobak Bapak juga nyangkut di rumpun bambu,” ujar pemuda itu.

Sugeng melihat lingkungan di sekelilingnya, ternyata dia berada di sebuah lahan yang tak terurus dengan pepohonan, rumpun bambu dan semak belukar. Baru disadarinya dirinya tertidur di atas semak-semak, sementara gerobak baksonya tersangkut di rerumpunan bambu.

“Astaghfirullah, saya juga bingung bagaimana saya bisa di sini? Tadi malam di sini ada keramaian pasar malam, saya berjualan di sini.” ujar Sugeng.

Pemuda itu tampak bingung dan berkata, “Pak, di sini tidak pernah ada pasar malam, lingkungan di sini adalah lingkungan kebun dan lahan kosong tidak mungkin ada pasar malam.”

Mendengar penjelasan pemuda itu lemaslah kedua kaki Sugeng, berarti semalam dia telah disesatkan oleh makhluk halus.

‘Tapi saya yakin sudah melihat sendiri pasar malam itu. Para pengunjungnya juga tidak ada yang aneh, mereka juga memakai pakaian modern seperti kita,” Sugeng menyanggah.

Pemuda itu hanya tertawa melihat Sugeng yang masih saja ngeyel

“Pak, daerah sini memang angker, itu pengunjung pasar malamnya bukan orang. Masa Bapak tidam menemukan keanehan di tempat itu?” Tanya Sugeng.

Waduuh…berarti kemarin pembeli baksonya bukan orang. Ah sial, berarti baksonya ga dibayar nih, pikir Sugeng,

Dalam hati Sugeng sudah mengkalkulasi kerugian yang dideritanya karena transaksi tadi malam. Melihat Sugeng yang masih tampak bingung pemuda itu kemudian berkata

"Pak, saya cari bantuan untuk mengangkat gerobak bakso ini ya,” ujar pemuda itu.

Tak lama kemudian pemuda itu sudah kembali dengan 2 orang yang akan membantunya mengeluarkan gerobak dari rerumpunan bambu. Berempat mereka mengeluarkan gerobak itu dari rerumpunan bambu dan akhirnya Sugeng bisa bernafas lega, gerobak baksonya berhasil dikeluarkan dari rerumpunan bambu, walaupun beberapa mangkok baksonya ada yang pecah.. Salah seorang dari pemuda kampung tadi berkata

“Hati-hati Pak, lain kali jangan lewat sini lagi kalau malam, daerah sini memang angker.”

“Iya Mas, terimakasih sudah dibantu, saya mau pulang dulu,” Sugeng bergegas pergi mendorong gerobaknya pulang.

 Di rumah Ambar isterinya sudah menunggunya dengan cemas. Semalaman dia menunggu suaminya yang tidak kunjung pulang ke rumah padahal biasanya jam 23.00 suaminya sudah berada di rumah. Melihat suaminya datang, Ambar merasa lega dan mengucap syukur karena suaminya pulang dengan selamat. Dipeluknya tubuh Sugeng yang lelah dan bertanya dengan cemas

“Pak, Alhamdulillah akhirnya Bapak pulang. Semalaman aku cemas menunggumu yang tidak pulang-pulang ke rumah. Darimana saja kok pergi sampai pagi begini?”

Sugeng kemudian menceritakan pengalamannya berjualan di Pasar Malam tadi malam termasuk pelanggan terakhir yang membeli baksonya.

Mendengar ceritanya, Ambar bergidik ngeri, suaminya telah masuk ke alam gaib. Tak terbayangkan bagaimana jika seandainya suaminya tidak bisa keluar dari alam gaib.

“Untung kamu selamat tidak dibawa mereka ke dunianya, sudahlah lain kali jangan lewat tempat itu lagi.”

Tiba-tiba Sugeng teringat, kemarin para pembeli itu sudah membayarnya dan uang yang diterima menurut perasaannya pada saat itu adalah uang asli. Dengan cemas dibukanya tas selempang kecil tempat dia menyimpan uang. Dia takut jangan-jangan uang itu berubah jadi daun seperti yang sering dia dengar di cerita-cerita horror. Ketika tasnya dibuka, didalamnya penuh dengan bungkusan dari daun bambu, lemaslah Sugeng, hari ini dia sudah rugi besar modalpun tidak kembali. Ambar memegang salah satu bungkusan itu dan membukanya. Tiba-tiba terdengar Ambar berseru gembira

“Pak, daun bambu ini hanya sebagai bungkus, lihat di dalamnya ada butiran emas seperti pasir!”

“Hah, mereka membayarnya dengan emas?” tanya Sugeng dengan hati berdebar.

Satu persatu bungkusan daun bambu itu mereka buka dan emasnya dikumpulkan dalam satu wadah. Setelah terkumpul emas itu dijualnya dan hasilnya ternyata jauh lebih besar daripada harga bakso 45 porsi itu. Semenjak kejadian itu, Sugeng sudah tidak pernah lagi menemui pasar malam gaib itu dan dagangannya bertambah laris.

Kini Sugeng sudah tidak berjualan dengan cara berkeliling lagi, dari hasil penjualan emas dan menabung mereka bisa membeli tempat berjualan di lokasi yang cukup strategis. Pernah Sugeng mencoba melewati jalan itu lagi, namun tempat itu situasinya sudah berubah lebih terang dan sudah mulai banyak pemukiman penduduk. Di lahan kosong yang angker itu sudah berdiri sebuah rumah tinggal, pasar malam gaib itu sudah tidak ada lagi. Namun peristiwa di malam itu tidak akan pernah dilupakan Sugeng sepanjang hidupnya.

 

T A M A T


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi