“Siapa yang ‘nelpon pagi-pagi ‘gini?”
“Dia.”
“Apa katanya?”
“Dia ‘udah ngomong sama orang tuanya,” usai berkata, tatapannya keluar menuju kota yang sedang diguyur gerimis. Sepi sekali penampakan kota pagi ini.
Untuk sebentar, dua orang ini membiarkan diam merajalela.
Pagi ini baru mereka berdua yang datang sebagai pelanggan di kafe ini; ditambah dua orang pelayan kafe, ruangan ini tetap saja sepi.
Mereka duduk berhadapan ditengahi meja bulat kafe. Di sisi dekat jendela, dia duduk membelakangi jalan yang tampak di balik kaca jendela (dia mengenakan topi warna biru, kita sebut saja yang ini si Biru). Sementara di sisi yang lain, duduk si Merah (dia memakai sweter warna merah), menghadap jalanan yang dibalut kaca jendela yang dititiki tetes gerimis pagi.
“Kamu yakin bakal ‘nikah sama dia?” Kata Biru sambil memegang topinya.
Merah memalingkan muka, menatap Biru sebentar lalu menuju mobil-mobil yang lewat di depan restoran. Dia mengembuskan satu napas berat. “Aku harus ‘nikah sama dia.”
“Kenapa kamu bilang sama dia?”
Merah mengembuskan napasnya lagi, berat dan kali ini agak panjang. “Aku hamil. Mana mungkin aku—.”
“Aku ‘udah kasih saran, gugurin—,” Biru memotong.
“Aku hamil. Dan ini anak aku, coba kalau ini anak kamu, apa kamu—,” Merah balas memotong.
“Aku akan tetap gugurin anak yang nggak aku inginkan,” Biru memotong lagi.
“Kamu gila,” Merah menggeleng.
“Dari awal aku ‘udah bilang, jangan sama dia.”
Merah belum berani bicara.
“Kamu nggak pernah—.”
“Aku paham. Tapi, kamu nggak pernah tahu rasanya punya orang tua yang selalu ‘nuntut aku ‘nikah.”
“Kenapa kamu nggak bilang ‘aja tentang kita.”
Merah tertawa. “Kita bahas soal ini udah berulang kali. Kamu belum puas?” Merah menggeleng. “Lagian kamu sahabat aku. Bukannya itu cukup? Dan kita bebas lakuin apa ‘aja berdua. Itu kan yang kamu mau? Kita pernah janji untuk tetap jadi sahabat apa pun yang terjadi. Nggak lebih. Aku nggak mau orang tuaku kecewa.”
“Iya,” Biru coba meraih tangan Merah yang geletak di meja. “Tapi, kita belum coba.”
“Kamu kenal dua orang tuaku itu,” suara Merah memelan.
“Aku tahu, tapi kamu selalu takut. Oke. Kita sahabatan ‘udah dari SMA. Orang tua kita saling kenal, terus kenapa?”
“Kamu tahu, nggak? Pertanyaan kamu barusan itu, pertanyaan bodoh.”
“Nggak usah pikirin kata orang. Kita yang jalanin.”
Merah meremas tangan Biru, “Aku sekarang hamil bayi orang.”
“Terus?”
“Aku nggak mau bayi ini nggak punya ayah.”
“Ya, udah ‘nikah sama aku.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Dua kali kamu nanya pertanyaan bodoh.”
“Aku serius. Kita pergi dari sini dan mulai hidup baru di tempat lain.”
“Nggak bisa. Aku nggak bisa. Lagian kita nggak perlu ‘nikah juga, kan?”
“Kenapa?”
Merah diam sebentar. “Kamu mau jadi orang tua buat anak orang lain?”
“Aku janji, aku bisa sayang sama anak itu.”
“Aku kenal kamu dari SMA. Aku tahu kamu nggak suka anak kecil.”
“Aku bisa suka anak kecil kalau itu anak kamu.”
Ponsel Merah yang ada di atas meja menyala lalu bergetar, dan nama seorang pria muncul di sana. Dua orang ini kompak menatap benda itu lalu tukar pandang tanpa bicara. Merah melepaskan tangannya dari tangan Biru, meraih ponselnya, lalu beranjak ke pintu keluar kafe. Saat yang hampir bersamaan, seorang pelayan wanita datang dengan nampan berisi dua cangkir kopi putih.
“Terima kasih, Mbak,” kata Biru kepada pelayan.
“Terima kasih kembali, Kak,” Pelayan menjawab dengan senyum yang kelihatan manis sekali di mata Biru. Dan entah mengapa, Biru merasa senyum pelayan wanita ini bukan senyum biasa.
“Kalungnya bagus, Mbak,” kata Biru, coba menahan agar si pelayan tak segera beranjak.
“Terima kasih, Kak,” kata pelayan. “Gelang Kakak juga bagus,” sambung si pelayan, basa-basi sekaligus membalas pujian, dan saat berkata, pelayan wanita ini memberi senyum yang persis seperti sebelumnya.
Biru kegeeran lagi. Tapi kali ini, dia tak punya kata-kata lagi untuk menahan si pelayan, dan lagi, dia teringat Merah yang sedang menerima telepon di luar. Biru dan pelayan berpisah begitu saja.
“Kalian ngomong apa? Akrab banget kelihatannya,” kata Merah saat kembali duduk di hadapan Biru.
Biru tak menjawab, malah meraih cangkir di hadapannya, seketika menyeruput isinya.
“Kamu kebiasaan, ya! Suka senyum sama mbak-mbak. Kenapa? Nggak puas sama aku?”
Senyum muncul di atas bibir Biru. Ada kenikmatan tak terkatakan melihat Merah rewel karena cemburu. “Apa kata dia?” Biru mengalihkan percakapan.
"Tadi aku ‘ngobrol sama ibunya. Mereka ‘udah tahu aku hamil, dan mereka setuju aku sama dia ‘nikah."
Biru menunduk lalu membayangkan banyak hal. Ada rasa sakit, tapi sedikit saja. Jauh di lubuk hati, dia sebenarnya rela Merah menikah. Apalagi Biru tahu, Merah mencintai laki-laki itu. Namun, Biru tak ingin melepas kekasihnya begitu saja. Rasa enggan melepaskan itu harus dia tunjukkan, meski itu tak seberapa besarnya.
Merah memegang gagang cangkir, menyentuhkan bibirnya dengan bibir gelas sementara tatapannya menembus jendela kaca menuju jalanan di luar yang mulai ramai karena gerimis sudah menyerah. Sekian saat mereka tetap begitu sampai di kafe yang sepi ini tiba-tiba membahana lagu Secret Love Song, tanda kafe ini sudah bangun.
Biru mengangkat muka dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sebenarnya tak ingin menangis, tapi air matanya keluar begitu saja, dia merasa berhasil. Dia sempat bersyukur, sebab dia harus menunjukkan kepedihan hatinya melepas Merah.
“Kenapa?” Merah meraih selembar tisu dan menyerahkannya kepada sahabatnya.
Biru menerimanya tanpa menjawab.
“Aku tahu, aku salah.”
“Nggak ada yang salah. Jujur, dari awal aku ‘udah tahu ini akan kejadian.” Biru diam sebentar, “Dan mau nggak mau, aku harus siap. ‘Emang ‘udah waktunya kamu ‘nikah, Sayang.”
Giliran Merah yang menunduk.
Biru malah berdiri lalu berjalan menuju toilet wanita. Dia berdiri cukup lama di depan cermin, mengadukan matanya dengan cermin sampai ada air mata yang mengalir keluar dari sana. Biru mengadu matanya dengan cermin sampai-sampai dia tak sadar Merah telah berdiri di sampingnya, sedang mencuci tangan.
“Nggak ada gunanya kita kayak ‘gini terus,” Merah memecah hening.
“Buat kamu mungkin nggak ada gunanya. Tapi, buat aku, sama kamu, aku belajar bahagia. Aku—.” Belum sempat Biru menyelesaikan ucapannya, Merah menggenggam pergelangan Biru dan menariknya masuk ke dalam bilik toilet.
Mereka melakukannya lagi pagi itu.
Saat berada di pangkuan sahabat sekaligus kekasihnya, sementara bibir mereka saling adu dipandu berahi, Merah berjanji pada dirinya bahwa ini terakhir kalinya, sementara Biru hanya menikmati apa yang terjadi.
Hampir seperempat jam lewat, dua orang ini keluar bersama dari bilik itu dan menjumpai pelayan wanita yang tadi dipuji Biru sedang berdiri di depan cermin, sedang mengolesi wajahnya dengan sesuatu. Pelayan wanita ini lalu memberi senyum lagi kepada Biru lewat cermin. Biru membalas senyum itu, juga lewat cermin, sementara Merah langsung berjalan menuju pintu.
Saat mereka kembali duduk berhadapan di meja, pagi-pagi sekali di Kafe yang sepi, masih terputar Secret Love Song, lagu cinta mereka. Rasa sakit Biru yang tadi sedikit saja, sudah benar-benar hilang.
Selesai.