“Kalau begini, Bapak harus memilih ibu atau bayinya yang diselamatkan.” Ucapan tegas dokter wanita spesialis kandungan itu masih jelas terekam di ingatanku. Kala aku yang keras kepala ini masih bertahan ingin melahirkan melalui vagina, sementara nyawa bayi di dalam perutku sudah berada di ujung tanduk dan tak kunjung menunjukkan kemajuan. Sudah 30 jam lebih aku bertahan dan percaya bahwa aku mampu melahirkan anak pertamaku ini tanpa operasi caesar. Menahan rasa sakit yang meremas perutku di setiap 10 detik, hingga air ketuban yang berkali-kali tumpah ke luar dan membuatku semakin lemas, aku tetap yakin bahwa akan mampu mengeluarkan bayiku dengan cara yang dianggap oleh masyarakat secara “normal”.
“Sudahlah, Nak. Operasi saja. Yang penting kamu dan bayimu selamat.” Bujuk Ibuku untuk pertama kalinya menawarkan langkah bedah itu. Setelah seumur hidupku selama 25 tahun, ibu selalu menanamkan prinsip padaku bahwa seorang wanita harus bisa dan berani melahirkan secara “normal”. Kini, ia dengan lembutnya membujukku untuk menyetujui proses operasi caesar.
Setelah sekian lama bertahan di judul “Pembukaan 2”, serta tubuh bayiku yang tak lagi bergerak di dalam rahim, maka akhirnya aku menyerah dengan pendirianku. Lantas, membiarkan tubuhku disayat lapisan demi lapisan di dalam ruang operasi yang sangat dingin dan benderang. Tanpa didampingi suami, aku jelas merasakan tangan dan mulutku menggigil, meskipun tubuhku sudah dikepung oleh 8 manusia asing yang tengah bekerja. Berkali-kali aku mengeluh kedinginan, namun mereka hanya menjawab, “Sabar ya, Bu? Sebentar lagi selesai.”, sambil menjahit kembali lapisan tubuhku yang sebelumnya dibuat ternganga.
Aku tidak meneteskan air mata haru kala pertama kali mendengar tangisan bayiku ataupun saat dokter memperlihatkan wajah cantiknya kepadaku. Tubuhku masih menggigil hebat. Pikiranku masih menyesalkan harus melahirkan dengan cara seperti ini. Bahkan, saat di dalam kamar rawat inap pun, aku tidak menangis walau setetes setiap memandangi bayiku. Tidak sesuai dengan cerita haru momen kelahiran orang lain, kan? Di kamar itu, aku sibuk berjuang melawan rasa lelah dan kaku di sekujur tubuhku pasca melahirkan. Juga sibuk harus menyusui bayiku sambil berbaring setiap 30 menit sekali. Hatiku juga iba melihat suami dan ibuku bergantian menggendong si bayi. Aku tak bisa berbuat banyak karena operasi itu. Kecewa.
“Harus banyak makan dan minum. Supaya ASI-nya banyak dan bayi kenyang.” Begitu ucap orang-orang yang menemuiku dan bayi perempuanku. Tidak hanya itu, banyak juga pertanyaan lain yang mereka lontarkan dan cukup membuatku muak. Seperti pertanyaan tentang mengapa aku memilih operasi, berapa berat badan bayiku, berapa biaya di Rumah Sakit, dan apa yang kukonsumsi pasca operasi. Berisik!
Belum lagi, bayiku dan aku tidak bisa ke luar rumah bahkan hanya untuk berjemur di bawah sinar matahari sekalipun. Saat itu, kota tempat tinggalku sedang dilanda bencana asap kebakaran hutan. Tidak ada udara baik yang pantas untuk dihirup di luar sana. Asap pekat dan tebal menyelimuti alam dari pagi hingga petang. Akhirnya, bayiku harus terus disusui langsung olehku sesering mungkin demi ketahanan tubuhnya. Aku harus bersabar dikurung di dalam rumah orangtuaku. Pengap!
Ibuku adalah wanita baik dan hebat yang selalu tulus merawat siapapun yang ada dalam hidupnya. Kini, giliran bayiku, cucu pertamanya. Kami tinggal seatap dengan orangtuaku. Maklum, suamiku bekerja di luar kota dan sering berpindah-pindah. Sementara, aku dan bayiku menetap di rumah orangtuaku. Namun, ibuku tetaplah seorang manusia biasa yang sering mudah terpengaruh oleh pikiran masyarakat. Saran dan komentar orang lain tentang bayiku, kerap menjadi beban pikirannya dan akhirnya ia limpahkan kepadaku. Lalu, menjadi hama bagi jiwaku.
Suatu ketika, teman ibuku berbicara bahwa ibu dengan bayi tidak boleh tidur di pagi hari. Jadilah, ibuku akan selalu menegurku jika aku tertidur bersama bayiku saat pagi. Meskipun, semalam aku terjaga menemani bayiku yang gelisah dan baru terlelap ketika fajar menyingsing. Lain waktu, saat bayiku yang baru berumur 3 bulan mulai memunculkan bintik gatal di tubuhnya, ibuku mengajak kami untuk mengunjungi praktek berbagai macam dokter atas saran teman-temannya. Alhasil, bayiku sering mengonsumsi obat-obatan sesuai resep dokter. Entah berapa banyak antibiotik yang sudah ditelan oleh bayi mungilku kala itu.
Hingga akhirnya di usia bayiku 5 bulan, aku memutuskan untuk membawa bayiku ke dokter spesialis anak guna pemeriksaan lebih lanjut. Bayiku dicurigai mengalami alergi dari ASI. Dokter menyarankan agar aku berhenti mengonsumsi semua makanan dan minuman yang mengandung telur, susu dan kacang. Demi keamanan selama menyusui. Sejak saat itu, aku yang pecinta kuliner ini pun terpaksa mengikat nafsu makanku sekencang mungkin. Demi bayiku tidak lagi merasakan gatal dan perih di sekujur tubuhnya. Aku harus mengalah.
“Bayinya susah makan, ya? ASI-nya kurang banyak?”. Setelah masalah alergi bisa teratasi dengan aksi diet ketatku, ternyata bayiku tetap menjadi bahan obrolan masyarakat. Tubuh bayiku mungil. Tidak gempal. Tidak gemuk. Hal itu meresahkan bagi orang lain. Lalu, mereka pun mulai menasehati aku dan ibuku. Tentang makanan dan minuman apa yang harus diberikan untuk bayiku. Tentang doa dan ritual yang harus kami lakukan. Dan lain sebagainya. Mereka menyampingkan bahwa bayi mungilku tetap tumbuh sehat, bahkan terbilang aktif dan cerdas. Mereka tetap mengkritik. Picik!
Beberapa saran mereka banyak kubalas dengan anggukan, senyuman, dan berakhir menangis sendirian. Ya. Aku menangis di dalam kamarku. Meratapi hidup bayiku yang dianggap abnormal. Bayangkan. Teman ibuku, memaksaku untuk memberi anakku makan telur dua butir setiap pagi. Meskipun sudah kujelaskan bahwa bayiku alergi terhadap telur. Kemudian, saudara ayahku, menyuruhku untuk membawa bayiku ke pemuka agama untuk diberikan ritual rukiyah. Dan sepupuku, menyarankan agar bayiku yang belum genap berusia satu tahun itu, diberi minuman obat cacing. Semua beralasan kasihan dengan bayiku. Sungguh, mereka kejam!
Mereka memaksaku untuk mengasihani bayiku yang mereka labeli “kurang gizi”. Bodohnya, aku meresapi perkataan mereka dan menjadikan hama di dalam jiwaku semakin subur. Tak kuindahkan ucapan suamiku bahwa tubuhnya dulu juga kecil dan mungil ketika masih seusia bayi kami. Pikiranku sudah digerogoti oleh stigma masyarakat bahwa bayiku tidak normal. Bayiku, kurutinkan mengunjungi dokter spesialis anak setiap bulan. Setiap itu pula, bayiku diminta untuk melakukan serangkaian tes darah di laboratorium. Kutegarkan diriku setiap kali harus menenangkan bayiku berteriak meminta tolong. Kesakitan ditusuk jarum besar yang akan menyedot darahnya. Hingga trauma bayiku muncul setiap kali melihat tenaga medis berseragam di rumah sakit. Aku, ibu yang kejam!
Setelah lebih dari sepuluh kali kami membayar jasa dokter dan laboratorium, semua hasilnya tetap sama, bayiku sehat. Maka kuputuskan sendiri, bayiku mungil karena faktor genetik. Seperti ucapan suamiku. Namun, manusia itu tetap mencecar setiap melihat bayiku. Entah itu manusia di dalam keluarga besar, tetangga, kerabat, atau rekan kantorku. Hari-hariku selalu diisi oleh nasehat yang mereka anggap bijak. Ingin rasanya kukoyak mulut mereka secara brutal!
Aku sering menumpahkan unek-unek kepada suamiku via telepon. Kuceritakan tentang mereka yang membuatku kesal, payudaraku yang bengkak karena kesulitan memompa ASI di kantor yang tidak memiliki ruang menyusui, dan bayi kami yang kini lebih nyaman digendong oleh pengasuh daripada olehku. Tidak selalu. Aku sering memilah waktu untuk bercerita dengan suamiku. Baiknya, tidak di saat ia sedang sibuk atau letih sehabis bekerja seharian. Gantinya, aku menangis sendirian di dalam kamar. Sesekali, kupukul kepala dan dadaku untuk mengalihkan rasa sedih dan letih. Di samping bayiku yang tertidur lelap.
Entah. Sejak melahirkan, aku tidak lagi seceria dulu kala. Aku lebih banyak diam, termenung, menatap kosong ke sembarang arah. Tapi tenang, aku masih ingat waktu untuk makan dan minum yang banyak, pergi bekerja, memompa ASI walau dengan bersembunyi di sudut ruangan, serta mengurus bayiku sepulang bekerja. Ya. Sepertinya itu saja yang kulakukan. Oh, ditambah jadwal rutin ke dokter anak dan laboratorium setiap bulannya. Kata orang, hidupku enak. Mengingat aku yang menumpang di rumah orangtua dan tidak harus melayani suami setiap hari karena ia bekerja di luar kota. Terdengar enak? Tapi, kenapa aku merasa 24 jam tak cukup untuk sehari? Entahlah!
Hingga usia bayiku menginjak usia 12 bulan. Kami akan merayakan ulang tahun pertamanya di rumah. Kami mengundang keluarga besar untuk sekadar makan malam bersama. Suamiku tidak bisa pulang saat itu. Jatah cutinya masih terjadwal dua minggu lagi. Malam itu, kukira akan terisi kebahagiaan dan penuh canda tawa. Ternyata sebaliknya. Anak-anak sepupuku mengacau rumah. Bayiku rewel. Pengasuh bayiku sibuk membantu ibuku di dapur. Aku terjebak bersama keluarga besar orangtuaku di ruang santai, mendengar persengkokolan mereka yang begitu menyudutkan. “Kenapa gak ikut suami? Gak takut diselingkuhi?”. “Anak kamu ini kenapa kecil sekali? Sudah berobat?”. “Enak ya kalau kamu di kantor, bisa bersantai melepas urusan anak yang dititip ke orangtua.”. “Makanya, jangan melangkahi abangmu yang belum menikah. Ada saja masalah keluargamu, kan?”. Persetan!
Tenang. Ku tahan semua emosiku. Demi nama baik orangtuaku. Aku diam dan sesekali tersenyum palsu. Namun setelah hari itu, aku menjadi semakin pendiam. Aku kerap termangu kosong. Bahkan, saat bayiku meraung di samping telingaku di tengah malam. Ketika tersadar, sontak kutampar pipiku agar tak lagi mengawangkan pikiran dan fokus pada tanggung jawabku. Jika anakku terlelap lagi dan keadaan mulai sunyi kembali, aku pun mulai menangis sejadi-jadinya. Tanpa suara. Kututup mulutku dengan bantal dan berteriak di dalamnya. Aku tak tahu apa yang membuatku begini. Ada apa denganku?
Puncaknya adalah beberapa hari yang lalu. Saat aku harus berdiam diri mendengar ibuku menceramahiku dan pengasuh anakku, sebab sudah dua hari anakku susah makan dan sering menangis.
“Gak sadar kalian, anak itu tubuhnya sudah sangat kecil? Gak kasihan?”, ujar ibu malam itu. Menghindari pertengkaran dengan wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku, aku yang sudah kadung emosi akhirnya memilih untuk membawa bayiku yang tengah menangis itu ke dalam kamar. Sebisa mungkin kutenangkan dirinya agar sudi meredakan raungan. Tapi, hatiku terlanjur keruh. Pikiranku kalut. Bayiku tak kunjung diam. Kesal, kuhempaskan bayiku ke atas kasur. Lalu, kutampar mulut kecilnya. Bukannya diam, dia justru semakin berteriak dalam tangisannya. “Diamlah!!!” bentakku pada gadis yang belum genap berusia 15 bulan di hadapanku itu.
Mendengar kegaduhanku, seketika ibu menerobos masuk ke dalam kamar dan mengambil anakku. Katanya, aku tidak mampu menenangkan anakku sendiri. Kubiarkan ibu dan anakku ke luar dari kamar. Sementara, aku masih duduk mematung di atas kasur. Tak percaya atas apa yang baru saja kulakukan. Aku mulai menangis lagi.
Seketika kukunci pintu kamar dari dalam. Lalu, kuhukum diriku yang sudah lancang menyiksa darah dagingku sendiri. Kuremas jemariku yang sudah menampar mulut gadis kecilku. Kujambak rambutku yang melapisi pikiran iblisku. Kugaruk kuat dadaku yang dipenuhi rasa karut. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku malu dengan anakku yang masih suci itu. Sekejap, kuraih gunting di atas meja dan berniat menujahkan dadaku. Tapi, teriakan tangis anakku di luar sana seketika menyadarkanku. Kuletakkan kembali gunting ke tempatnya. Kutadahkan kedua tanganku ke udara dan menatap ke atas. Dengan suara terisak, akhirnya aku mengadu, “Tolong aku, Tuhan!”.
Dan begitulah kisahku. Yang mengantarkanku saat ini duduk di depan ruang praktek ahli psikologi. Dengan hati hampa. Sendirian.
•••
Fiksi karya Nazila (2022)