Disukai
1
Dilihat
2,173
Esensi Asasi Afeksi
Slice of Life

Menjadi anak tengah tidaklah mudah. Menjadi bahan perbandingan antara kakak dengan selisih umur 4 tahun yang telah adem ayem memiliki pekerjaan tetap di provinsi lain sudahlah seperti bahan makanan harian, pun menjadi samsak sebagai ‘pelaku’ jika sang adik yang 7 tahun lebih muda sudah tidak begitu menyentil batin. Paling dibalas mata yang berotasi atau bahu yang bergidik tanda tak peduli.

Andi Leah Pettarangi, orang-orang memanggilnya Lele, seorang perempuan yang berasal dari kota kecil dengan kemajuan teknologi yang masih bisa digolongkan terbelakang jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Nusantara. Meski begitu, pikiran serta sikapnya tidak menunjukkan sesosok gadis desa yang masih gagap teknologi pun tidak terlalu mencolok sok-sok bersikap seolah anak perkotaan elit. Mari berterima kasih pada orang tua Lele yang menyanggupi segala alat elektronik yang ia butuhkan untuk mengejar kebutuhan pendidikan. Cakupan akses internet orang tua Lele pun usahakan tidak habis, lagi-lagi dengan alasan pendidikan satu-satunya anak perempuan diantara tiga bersaudara.

Hal itulah yang membuat sesosok Lele tak pernah ketinggalan terhadap apa yang sedang marak terjadi dan dibincangkan, dan hal itu juga yang menjerumuskan Lele pada liar dunia luar.

Semua kehancuran emosionalnya ia sadari ketika usia menginjak 17 tahun. Usia yang dipandang spesial bagi remaja-remaja darah muda. Sweet seventeen katanya. Tapi jujur saja Lele tidak begitu memahami letak esensi angka usia yang tiga tahun lagi menginjak kepala dua.

Saat itu hari ulang tahun ia rayakan kecil-kecilan, memanggil teman sekelas dan teman terdekat untuk datang ke rumah menyantap burasa dan nasu palekko khas bugis dilengkapi dengan kerupuk udang buatan oleh Mama Lele dan tantenya yang tinggal tak begitu jauh. Tidak begitu mewah seperti anak-anak di sekitaran kompleks yang merayakan ulang tahun dengan tenda biru diperuntukkan untuk tamu—yang sudah dapat dipastikan menutup akses jalan—, makanan katering dengan rasanya yang khas seperti makanan pada acara pernikahan, juga dengan pengeras suara yang memutar lagu ulang tahun pada saat acara berlangsung demi meramaikan suasana kemudian dilanjutkan dengan suara cempreng orang dewasa egois yang berkaraoke ria sampai lewat tengah malam. Memanfaatkan bayaran mahal hingga detik terakhir tentunya.

Selain makanan berat, kue tart dengan cream cokelat lengkap dengan topping berbagai merek cokelat—rasa kesukaan Lele—pun ikut menjadi santapan untuk tamu-tamu yang wanodya itu undang. Tenang, ia memesan dua buah kue, salah satunya berselimut cream yang masih rapi di dalam rendahnya suhu kulkas yang berdiri manis pada pojokan dapur. Ia sudah berencana ingin menyantap kue satu itu sembari menikmati film horror akhir pekan nanti.

“Padahal sweet seventeen gini masih sendiri aja, Le. Cari cowok gih!” salah satu teman kelas Lele—Fitri menyikut pelan sang wanodya dengan nada setengah bercanda, sedikit tawa kecil berimbuh pada nafasnya yang kemudian dianggukkan oleh teman-teman sepantaran asik dengan potongan kue tart. Gadis itu memang begitu, mulutnya terlalu luwes ketika berbicara ke orang lain, sepertinya Ibunya keburu berojol sebelum Tuhan membagikan filter mulut pada alam sebelum kelahiran.

Wanodya yang tengah berulang tahun membalas dengan tawa hambar sembari mengusap pelan tengkuk yang menjadi gestur naluriah yang tak ia sadari. Ia tidak merasa tersinggung sama sekali pada ucapan gadis yang beberapa bulan lebih tua darinya. Toh, ia sadar diri kalau sendiri adalah pilihannya, ia tidak ingin membuang-buang waktu untuk melepas fokus dari pendidikan yang diperjuangkan kedua orang tua. Hei! Ayah dan Mama Lele bekerja keras untuk pendidikan putri mereka, pun kakaknya juga turut andil dalam biaya pendidikan wanodya berambut hitam sebahu satu ini.

Jika ingin mengulas dari masa SMP sampai sekarang ia masih bisa mengingat wajah-wajah siapa saja yang pernah menyatakan cinta pada sang wanodya baik secara langsung maupun melalui pesan singkat di akun instagaram miliknya, bahkan salah satunya menghadiri acara kecil Lele. Asfar, anak kelas sebelah yang kebetulan sudah dekat dengannya hanya karena satu regu saat masa orientasi dulu. Fakta kalau mereka sama-sama menyenangi—ralat, maniak film horor membuat hubungan mereka semakin dekat hari demi hari hingga detik ini.

Lele bisa menahan diri. Ia bukanlah seorang hopeless romantic yang haus akan jalinan kasih-mengasihi antara dua manusia yang saling berhubungan dengan kata cinta sebagai landasan yang menjembatani. Ingat, dia seorang anak tengah yang telah menjadi objek perbandingan selama 17 tahun yang semakin menjadi-jadi setiap kakaknya meraih prestasi, juga selama 10 tahun menjadi samsak pelaku yang dikambinghitamkan setiap kali sang adik melakukan kesalahan. Jika ia sampai oyong pendirian hanya karena cinta-cintaan yang menye-menye mau dikemanakan harga dirinya yang ber-image ‘wanita independen’?

Tapi ia juga tak ingin munafik. Jujur, ia haus akan afeksi. Kasih sayang orang tua yang berbelok seketika sesaat adiknya menampakkan wujud sebagai manusia mungil di hadapan semua keluarga membuatnya iri dan merasa kesepian. Tapi ia juga tidak pernah menyalahkan adiknya. Nyatanya wanodya satu ini juga sangat menyayangi laki-laki kecil menggemaskan itu. Hanya saja ia tidak pernah dengan gamblang menunjukkan kasih sayangnya pada sang adik. Gengsi.

Mari tekankan sekali lagi, menjadi anak tengah tidak mudah bagi seorang Andi Leah Pettarangi. Bahkan gadis itu terkadang merasa bersyukur memiliki harga diri yang tinggi untuk mempertahankan image yang telanjur diberi label ‘orang sabar’ atau ‘dewasa’ oleh orang-orang disekitarnya. Jika tidak, ia yakin sisi kekanakannya akan tidak terkontrol dan hanya akan berakhir mempermalukan dirinya sendiri.

Setelahnya hari demi hari Lele jalankan seperti biasa, yang berbeda hanyalah bisikan batin yang mulai menyadarkan hati kecil yang haus akan afeksi dan atensi. Namun disisi lain logika menyisihkan perasaan itu dengan iming-iming pendidikan serta rasa takut tersakiti. Selain itu, ia sudah banyak menyaksikan temannya yang menangis karena pasangan yang tak peka hati.

Lalu ide gila terlintas di otak sang wanodya. Di dalam kelas pembelajaran fisika, dengan air muka benderang ia menganga kegirangan sembari memuja diri sebagai seorang jenius dalam batin.

Ia teringat akan hubungan saling menguntungkan yang tak melibatkan perasaan batin didalamnya. Menurutnya itu tidaklah buruk. Ia akan mendapatkan afeksi dan atensi yang telah lama menggelembung dalam batin tanpa perlu memusingkan akan tersakiti dan rasa pusing harus terus berkabar dengan sang terkasih.

Win win solution.

Pertanyaannya sekarang, siapa orang paling aman untuk ia ajak dalam hubungan 'simbiosis mutualisme' ini? Satu-satunya jejaka yang terbesit dikepalanya hanyalah Asfar, teman perbacotan sesama maniak film horornya.

Semenjak saat itu Lele mulai bergerak memberi kode. Seperti selalu menggoda sang adam secara verbal, melewati batas privasi, dan merespon candaan vulgar yang padahal biasanya ia balas dengan lemparan benda apapun yang ia pegang tepat ke wajah Asfar.

Tidak, Lele tidak akan mengatakan secara gamblang tujuannya. Harga dirinya terlalu tinggi untuk hal itu. Lagian, bagi Lele—

“Kau tahu aku pernah suka sama kamu, kan?”

Asfar membuka suara dalam heningnya suasana sesaat ketika Dea—satu lagi teman maniak horor—meninggalkan kamar. Ingin membeli camilan katanya.

Posisi pemuda itu memojokkan sang wanodya pada bibir kasur dengan maksud memberi kesan intimidasi agar Lele menjawab pertanyaan yang sudah lama terkurung semenjak Lele mulai menggodanya dengan beragam cara usil.

Gidikan bahu serta rotasi mata yang melirik arah layar laptop dengan posisi video yang terjeda tepat ketika wajah sang pemeran berteriak histeris sedikit menggelitik hingga ia tertawa kecil dikeluarkan sebagai balasan—“Ya. lalu?”—manik kemabali ditubrukkan dengan milik sang adam.

Asfar menghela nafas berat, “Kau sedikit—ah tidak, kau aneh setahun belakangan ini, Le.”—Asfar memberi jeda, menekankan kata ‘aneh’, memindahkan tubuh yang semula menghimpit teman maniak horornya dengan alasan ingin mengintimidasi kini berpindah memeluk guling yang tergeletak diantara mereka—“Demi apapun move on jadi susah kalau di respons terus!”

Dengan gestur yang sama, Lele memeluk kembali boneka beruang ukuran setengah badan manusia, mencondongkan tubuh kedepan menghubungkan kembali kontak mata yang sempat lepas.

“Aku cuma bilang gak mau pacaran. Gak mau ada perasaan yang terlibat. Ribet.”

Asfar merajut alis, “TTM, gitu?”

FWB.”

Sesaat setelah mengatakan itu, sebuah bantal melesat ke wajah sang wanondya mengakibatkan tubuh kecil itu terasa sangat manis bagi gravitasi hingga kini sepenuhnya berbaring di atas lantai berlapis karpet bulu.

Guling yang menutup seluruh wajah disingkirkan, menampakkan sosok Asfar yang kini berada di atas, menindih dan mengunci tubuh sang wanodya.

“Kau mengujiku atau bagaimana?”

Lele memutar bola mata, sedikit lelah dengan setiap hal yang harus ditekankan dua kali bahkan lebih. Pemuda ini punya trust issues atau bagaimana?

 Bergerak sedikit saja membuat Asfar menyingkir dari atas tubuhnya dengan wajah yang masihlah sama, dipenuhi tanda tanya. Maniknya menatap tajam netra sang adam, tangan perlahan digerakkan menuju ke paha sang adam, mengelus pelan dengan ibu jari membuat kontak fisik itu terasa semakin panas pada setiap usapan meski dilapisi oleh kain denim.

Wajah Lele dekatkan, perlahan mengikis jarak serta batas privasi jejaka. Sampai ujung hidung saling menyentuh, jarak wajah yang sangat dekat hingga harus saling berbagi senyawa oksigen yang menyisip diantara mereka, serta kontak mata tak pernah terputus barang sedetikpun—“Deal? Or Nah? Aku serius.”—Lele berucap masih dengan tatapan mata yang menusuk jejaka hingga sempat memberi jeda sejenak karena batin bergidik ngeri akan dominasi yang diberi.

Fuck it, deal!

Berikutnya tangan kekar Asfar menarik tengkuk sang wanodya, menggiring wajah itu untuk memberi kontak antar bibir dengan miliknya. Melumat ganas bibir ranum tanpa peduli lip tint yang melapisi milik wanodya akan berpindah pada bibirnya.

Tak membocorkan hubungan ini dan jangan melibatkan perasaan pun menjadi dua syarat tersirat tak akan pernah di rusak oleh keduanya.

Bagi Lele, Asfar dapat dengan mudah ia kendalikan.

Semenjak saat itu hubungan kasih tanpa landasan cinta terus berlanjut antara sepasang muda-mudi itu. Awalnya hanya sebatas bercumbu yang dijadikan ajang melampiaskan kerasahan pun memberi afeksi di saat bersamaan. Selama mereka hanya berduaan, tiada ragu yang menahan.

Semakin hari, rasa penasaran semakin membuncah hingga tumpah tak terarah. Perlahan kontak fisik berlebihan hingga area privasi dari biasa menjadi kebiasaan. Bahkan tak jarang lagi tubrukan ganas antar bibir menyertai kontak fisik yeng mengikis kesabaran berahi masing-masing. Namun tiada sungkan diantara muda-mudi itu. Asfar mendapatkan Lele yang dicintanya dalam genggaman, pun kebutuhan afeksi Lele terpenuhi. 'Kan? Simbiosis mutualisme.

Akan tetapi Lele mampu menekan egonya untuk tidak berhubungan badan, pun mampu mengendalikan pemuda sepantaran yang 6 bulan lebih tua darinya agar tidak didominasi oleh jejaka itu. Mudah, dengan iming-iming akan memberi izin ketika mereka berdua berhasil berkuliah di ibu kota provinsi demi mendapatkan kebebasan. Apalagi, ada hotel milik orang tua Asfar di sana membuat situasi semakin menguntungkan.

Benar saja, kedua ambisi berlandaskan tujuan tersembunyi pada sisi berhasil tercapai mengukir senyuman penuh arti menghiasi air muka sepasang muda mudi kala guru menyebutkan nama mereka pada daftar siswa yang diterima di salah satu universitas ibu kota provinsi. Masing-masing orang tua dengan senang hati melepas mereka ke ibu kota provinsi, penuh haru tanpa adanya kecurigaan sama sekali. Lagian, siapa yang tidak senang jika anaknya terlihat ambisius pada pendidikan seperti ini?

Perbedaan fakultas memaksa mereka hidup masing-masing di ibu kota provinsi.Sepenuh hati mereka melanjutkan studi, circle pertemanan mereka pun baik-baik saja. Keluyuran malam untuk pelampiasan stres akan tugas berlebih, pun jika malam libur bersama teman menghabiskan waktu di mal atau tongkrongan terdekat.

Namun itu tidak menghalangi mereka untuk saling melampiaskan kasih satu sama lain. Meski masing-masing memiliki kesibukan, keduanya tidak pernah menolak untuk saling tatap muka. Pasti ada saja waktu yang dimanfaatkan untuk saling mengunci tatapan dan merasakan hawa tubuh dalam balutan nafsu. Janji pun Lele tepati, kini ia mengizinkan sang jejaka untuk bermain api dengannya.

Kata sekali-kali hilang dan entah sejak kapan menjadi rutinitas. Jika dulu pertemuan disuguhi cumbuan belaka, maka kini dipenuhi api membara. Tiada yang keberatan, keduanya menikmati perasaan puas terbalut penyimpangan rasa bersalah yang menggelembung dalam sesak benak sejak pertama kali memutuskan untuk melakukan hubungan ‘simbiosis mutualisme’ ini.

Awalnya Lele pikir semuanya akan baik-baik saja, selama dua syarat tak tersirat tiada yang melanggar, hubungan ini akan terus berlanjut.

Namun wanodya yang kini berusia 19 tahun itu salah. Rasa nikmat kasih dan afeksi terbanting menjadi perasaan kelimpungan panik sesaat ketika ia merasa ada perubahan pada tubuhnya. Bolak-balik kamar mandi karena ingin membuang air kecil menjadi meresahkan, mudah mual akibat sensitif terhadap bebauan pun menjengkelkan, belakangan rasanya mudah lelah meski sudah banyak beristirahat akibat tugas kuliah yang kurang ajar banyaknya, dan yang paling utama adalah keterlambatan tamu bulanan yang terlah terlambat 3 bulan, namun dirinya semakin hari semakin mudah emosi. Terima kasih pada harga diri yang mempertahankan image ‘dewasa’ pada dirinya hingga ia hampir tidak pernah kelepasan. Jika kelepasanpun syukurnya bukan di tempat ramai orang asing.

Rasa panik semakin membuncah kalang kabut ketika Lele melihat dua garis yang berjejer rapi pada test pack yang dibeli dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai perubahan sikap yang secara emosional semakin sensian. Karena jujur, ia pun tidak nyaman dengan perasaan yang dianggappnnya terlalu feminin dan kekanakan ini.

Menekankan diri untuk tetap tenang, menyembunyikan rasa takut, wanodya itu pun mebicarakan apa yang terjadi pada satu-satunya pelaku tersangka—Asfar.

Awalnya pemuda itu pun panik bukan main. Syukurnya, rasa bersalah itu adalah karena telah membuat anak orang lain berbadan dua dalam hubungan yang seharusnya tidak ada persaaan yang terlibat. Tak ingin munafik, benar pemuda itu masih mencintai sosok Lele. Ia memanglah bangsat karena terlena pada ajakan perempuan satu ini dalam hubungan yang aneh, namun ia tidaklah sebangsat itu untuk sengaja membuntingi wanita dicintainya agar dengan terpaksa jatuh dalam dekapan secara utuh.

Di dalam kamar, sang jejaka mondar mandir tak tentu arah sembari menggumamkan apa yang harus ia lakukan. Menyalahkan diri akan kecerobohan sikap yang disertai permintaan maaf menyisip dari balik napas terus terulang layaknya kaset rusak. Sungguh, logika pemuda itu kalut dalam rasa bersalah berlapis panik.

“Asfar, masih suka sama aku?”

Pemilik nama berhenti mengambil langkah, menengok ke arah wanodya yang duduk lemas di bibir kasur miliknya sedang mengusap lembut permukaan perut yang dilapisi sweater oversize tebal. Sejenak ia mengerjap, masih memproses pertanyaan yang dianggapnya asal.

“Tentu!” tanpa perlu berpikir dua kali Asfar menjawab dengan lantang membuat sang wanodya membelalak tak percaya. Tak percaya betapa bodohnya pemuda satu ini masih menaruh rasa padanya membuat kekehan kecil lolos dari bibir berpoles ranum. Ah tidak, apa mungkin aku yang bodoh?

“Hampir lima tahun kita dekat, kurasa cukup untuk buat kamu sadar kalau aku aslinya, dalam tanda kutip, sebenarnya gila,”—Lele mengambangkan tangan membuat gestur tanda kutip pada kata ‘gila’ lalu memberi jeda, menarik napas lelah, dan berakhir menatap sendu obsidian milik pemuda di hadapan—“dan setelah ini kayaknya aku bakalan benar-benar gila. Jadi tolong jaga Lele, ya?”

Manik sang wanodya berbinar akibat dinding air yang menghalangi membuat pandangan terasa buyar, tak memperhatikan pemuda yang kini melesat memeluk penuh rasa hati-hati tubuh mungilnya. Sang pemuda melanjutkan putaran kata yang semakin pecah pada setiap maaf yang lolos pada ujung lidahnya.

Sejak awal tidak ada yang salah selain bagaimana cara mereka mengeksekusi perasaan mereka.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar