Regen mencekik leher Mimah dan membenturkan bagian belakang kepala istrinya itu pada dinding kayu ruang tengah berulang kali. Mimah merasa akan mati sebentar lagi, kepalanya akan pecah, kepalanya panas karena udara kian sedikit masuk ke paru-parunya, muka suaminya mulai tampak kabur, dia merasa mati sudah dekat. Sampai belasan kali kepalanya telah terbentur, Mimah mati rasa. Mimah di antara hidup dan mati. Wajahnya basah oleh air mata tapi tak ada suara. Mimah tak tahu cara berteriak. Mimah bisu dan tuli sejak lahir. Mimah tahu cara meraung, tapi dia terus diam, dia tak mau mengusik tetangga yang sering dia repotkan.
Begitu bola hitam di mata Mimah hilang, Regen baru puas, atau mungkin baru merasa takut; ia baru mengendurkan cekikannya lalu melepaskan tangannya dari batang leher istrinya. Mimah terkulai sesaat lantas jatuh ke lantai bak benda, kepalanya terbentur lagi di tanah lalu keningnya menyentuh ujung jempol kaki kanan suaminya. Regen melihat saja istrinya terbaring di lantai, menyentil kening istrinya dengan ujung jempolnya, menjauhkan kepala istrinya dari jempolnya, ia seolah jijik kening Mimah menyentuh setitik bagian tubuhnya. Regen lalu meludah di samping kepala Mimah dan berjalang ke arah pintu. Persis di ambang pintu muka, ia berkata, “Kalau bukan karena penjara, malam ini kau mati, dasar binatang tak berguna! Bini mandul.” Selesai kalimat itu, ia meludah lagi di pekarangan dan pergi entah ke mana.
Lima menit setelah kepergian Regen, kesadaran Mimah mulai kembali. Dengan napas dan tenaga sisa yang ada padanya, Mimah berusaha agar duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya pada dinding kayu. Raganya mati rasa, hatinya sakit. Air matanya terus keluar seolah dua bola matanya baru saja disilet. Mimah ingin berteriak, tapi dia bisu dan tulis sejak lahir; Mimah ingin meraung, tapi dia tak ingin mengganggu para tetangga. Dia hanya bisa menjambak rambutnya sendiri agar rasa sakit hatinya lepas dan terus-terusan menggigit bibirnya supaya rasa sakit itu berpindah pada bibirnya.
Berisik pukulan dinding kayu rumah Mimah dan Regen sudah biasa terdengar tetangga. Mereka tahu, Regen sering memukul dinding rumahnya saat mabuk. Para tetangga juga tahu Regen pernah memukul istrinya, meski ia tak pernah mencekik dan membanting istrinya seperti binatang. Malam ini pertama kalinya Mimah.
Para tetangga pernah coba memisahkan Mimah dari Regen sebab mereka menyenangi Mimah. Dia perempuan rajin yang kadang menjadi pembantu rumah tangga bergilir untuk mereka, termasuk untuk Pak Yohan dan istri.
Keluarga Pak Yohan-lah yang paling sering berusaha memisahkan Mimah dan Regen. Pernah sekali waktu Mimah dipanggil sebagai penatu ke rumah Pak Yohan, dan hari itu Mimah datang dengan mata kiri hitam kebiruan setengah tertutup. Setelah Bu Yohan memaksa, Mimah akhirnya bercerita dengan bahasa isyarat yang terbatas bahwa dia baru saja ditinju suaminya. Pak Yohan, Bu Yohan, Om Pala (Kepala Desa), dan para tetangga lain sepakat lapor polisi. Regen ditangkap. Satu minggu seterusnya, Mimah menangis di kaki Bu Yohan, memohon suaminya dipulangkan. Lantaran kasihan, Om Pala pergi menjemput Regen atas desakan Bu Yohan. Beberapa bulan setelah itu, Regen bersikap baik kepada Mimah di depan para tetangga, tak pernah lagi terdengar bunyi dinding kayu yang dipukul dari rumah Mimah. Sampai malam ini, kejadian itu terjadi dan anehnya tak terdengar oleh para tetangga. Tak ada yang membantu Mimah berdiri.
Semua itu dipicu perkara sepele. Sore tadi, Bu Yohan meminta Mimah pergi ke warung orang Cina di ujung gang, dan tanpa sengaja Mimah memergoki suaminya sedang memboncengi seorang wanita muda. Mimah sudah biasa melihat Regen memboncengi wanita karena Regen mengais nafkah sebagai tukang ojek. Namun, sore tadi berbeda, melihat suaminya, jantung Mimah serasa akan lepas, bulu kuduknya kompak berdiri, gigi atas bawahnya rapat, dan rahangnya mengeras melihat tangan wanita itu melingkari perut Regen.
Tak terus menuju warung orang Cina, Mimah malah kembali ke rumah. Duduk menghadap meja makan pincang yang usianya sebaya pernikahan mereka, sebaya rumah kayu berlantai tanah milik mereka yang sedikit lagi akan roboh, sebaya daster yang Mimah miliki, semua benda itu usianya sepuluh tahun.
Sepanjang sore, rahang Mimah membatu, isi kepalanya hanya adegan Regen dipeluk wanita muda di atas motor. Kian lama dia duduk diam dengan bayangan itu, dadanya yang panas mulai mendidih. Air matanya pun akhirnya menetes persis pada jam 7, saat di luar mulai gelap. Rasa macam itu tak pernah Mimah rasakan seumur hidupnya. Dia tak pernah cemburu. Sore tadi pertama kalinya.
Jam 8 malam lebih sedikit, Regen muncul di rumah. Begitu ia masuk, aroma alkohol langsung menyerbak memenuhi seisi rumah. Seolah istrinya tak di sana, tanpa suara, Regen terus menuju kamar. Mimah tetap duduk menghadap meja makan pincang itu yang jika ujungnya disentuh langsung goyah. Rumah mereka tanpa dapur, meja makan pincang itu ada di ruang tengah, jadi Mimah melihat suaminya datang, tapi dia diam, dia menangis dalam diam.
“Mimah, makan!” Gelegar suara Regen terdengar dari dalam kamar. Ia tahu istrinya tak mendengar teriakannya, ia hanya suka membentak istrinya.
Mimah tetap duduk, sesekali menyeka matanya dengan ujung kerah daster bututnya, tanpa suara.
“Oi, Binatang! Makan.” Suara Regen terdengar lagi. Di ujung kalimatnya ia tertawa.
“Oi, Bini Binatang!”
“Oi, Bini Binatang!”
“Oi, Bini Binatang!”
Regen mengulang-ulang kalimat yang sama dengan tawa di ujung kalimat sampai ia berdiri di belakang kursi Mimah.
“Bini sa’ (saya) ini macam binatang,” Regen mulai membikin nada pada suaranya. “Tadi sa’ ‘ngentot pacar baru,” Regen memegang bahu Mimah dan menepuknya beberapa kali, “Bini binatang ini tak tahu,” lalu tertawa lagi. Ruangan itu remang karena Mimah tak mampu membeli balon lampu yang lebih terang, karena itu Regen barangkali tak tahu istrinya sedang menangis. Ia terus menggoda istrinya, “Bini binatang ini tuli! Bini binatang, tolol! Sa’ ‘ngentot enak. Mudah-mudahan pacar sa’ itu hamil supaya sa’ bisa punya anak. Tak seperti kau yang mandul,” Regen lalu menyanyi lagi, “Bini Binatang tuli! Bini Binatang tolol! Sa’ ‘ngentot enak.”
Mimah tak mendengar nyanyian dan ucapan suaminya, hanya bau alkohol itu tajam sekali menusuk hidungnya. Suaminya tetap dibelakangi, sesekali dia masih menyeka wajahnya, sampai suaminya mendekat ke sampingnya, dan mulai menggoyang-goyangkan pinggul, joget mabuk, sementara mulutnya tetap bersenandung, “Bini tuli, bini bisu, bini tuli, bini bisu.”
Ketika sadar suaminya sedang gembira di sampingnya, Mimah membiarkannya, tiga menit lewat, Mimah tiba-tiba bangkit dan memukul dada suaminya dengan dua kepalan tangannya. Regen terhempas dua langkah ke belakang dan sorot matanya meruncing, nyanyiannya berhenti, pinggulnya keras, seturut rahang dan wajahnya.
“Bini, Babi! Mandul!” Regen mendekati Mimah, mencekik lehernya, menyadarkan tubuh istrinya ke dinding kayu, dan mulai membenturkan kepalanya ke dinding itu. Seterusnya adalah penganiayaan yang terjadi malam ini.
*
SETENGAH JAM SETELAH kepergian Regen, Mimah masih tersedu-sedu di lantai sambil menjambak rambutnya sendiri. Namun, rasa sakit itu tak juga lepas. Kesadarannya baru pulih ketika perih mulai terasa di bagian belakang kepalanya, rasanya seperti ditusuk-tusuk ujung jarum. Detik yang sama, Mimah menyentuh bagian kepalanya itu dengan empat jari tangannya, jarinya sudah basah sejak tadi karena air mata, tapi Mimah bisa merasakan cairan di belakang kepalanya lebih kental.
Dia bangkit, menyeka mukanya dengan ujung lengan daster bututnya dan melangkah menuju pintu. Tujuannya adalah rumah Pak Yohan.
Regen ditangkap besok paginya.
Dua hari kemudian, Mimah sudah menetap di rumah Pak Yohan. Bu Yohan yang meminta dan Mimah sepakat karena dia sering merindukan suaminya jika tinggal di rumah kayu yang hampir roboh itu seorang diri. Dan di rumah keluarga Bu Yohan, Mimah punya jabatan yang sebenarnya sudah lama diinginkannya, menjadi pembantu. Selama bersama Regen, Mimah dilarang menjadi pembantu. “Kalau kau mau jadi babu! Jangan jadi istri saya! Marga saya cukup terpandang di kampung ini. Tak ada keluarga saya yang pernah jadi babu! Apalagi untuk Yohan dan bininya.” Karena itu, Mimah bekerja diam-diam di belakang Regen. Para tetangga tahu soal itu, Bu Yohan tahu itu sehingga Mimah hanya diminta membantu kala Regen mabuk atau sedang pergi mengais nafkah, atau pergi selingkuh.
Mimah punya kebiasaan khusus saat memberi isyarat kepada para tetangga perempuannya bahwa dia sedang ‘tersedia’. Mimah akan menaruh kursi kayu reyot di pekarang rumah, di bawah pohon jambu, duduk tegak di sana dengan senyum yang tak putus-putus. Para tetangga perempuan, apalagi Bu Yohan mengerti isyarat ini. Jika Mimah dan kursi reyotnya sudah tampil di depan rumah kayu yang hampir roboh itu, ada saja pekerjaan yang diberikan kepada Mimah, menjadi penatu, membersihkan kamar mandi, menyapu, membasmi rumput liar di pekarangan, sampai memasak. Bu Yohan adalah penyedia kerja untuk Mimah.
Mimah bahagia melakukan itu, apalagi dia dibayar lumayan. Uang-uang itu dia simpan di dalam stoples yang biasanya tersembunyi di bagian paling belakang lemari pakaian plastik yang sudah bolong sana-sini karena usianya juga sebaya pernikahan Mimah. Uang-uang itu akan dipakai untuk biaya bidan nanti, saat dia bisa hamil. Mimah ingin hamil.
Selain itu, Mimah juga menyisihkan sedikit dari hasil keringatnya untuk dibawa sebagai persembahan ke gereja setiap hari Minggu pagi. Mimah adalah manusia yang jarang alpa menghadiri kebaktian Minggu pagi, meski dia tak pernah mengerti siapa itu Tuhan dan tak pernah memikirkan Tuhan sedetik pun. Mimah juga tak pernah membaca Alkitab karena dia tak bisa membaca, juga tak pernah berdoa di rumah karena tak tahu caranya, tapi datang ke gereja sudah menjadi kebiasaannya sejak mengerti dunia. Sejak menikah dan ikut ke kampung suaminya. Mimah tetap mempertahankan kebiasaan itu, dia selalu datang sebagai orang terakhir agar bisa duduk di bagian paling belakang, dan pulang sebagai orang pertama. Mimah takut dikenali orang-orang, padahal tak ada yang mempermasalahkan kedatangannya ke gereja. Mimah malu, entah karena apa. Sempat dia merasa, orang-orang pasti membicarakan Regen yang tak pernah datang beribadah dan malah tidur sepanjang Minggu pagi, karena baru saja mabuk sepanjang Sabtu malam.
Bu Yohan pernah beberapa kali mengajak Mimah ke gereja pada saat Mimah baru datang ke kampung itu, tapi pada suatu hari Minggu siang, Regen menghampiri Mimah dan dengan bahasa isyarat ia mengempalkan tinjunya sambil menunjuk rumah Bu Yohan. Mimah mengerti. Sejak saat itu, Mimah selalu menolak diajak Bu Yohan pergi ke gereja bersama.
Permusuhan Regen dengan keluarga Pak Yohan sebenarnya berkaitan dengan masa lalu hubungan marga mereka. Walaupun usia Regen jauh di bawah Pak Yohan yang sudah pensiun sebagai pegawai kantor kecamatan, Regen tampaknya membenci Pak Yohan. Dan lagi, Regen curiga Pak Yohan menaruh hati pada Mimah. “Kau ini pengen dientot laki-laki bangka itu. Jangan dekat-dekat dengannya!” Mimah tak mengerti maksud suaminya, yang dia tahu, Regen sering mengepalkan tinjunya dan menunjuk-nunjuk rumah Pak Yohan. Mimah hanya mengerti Regen marah pada keluarga Pak Yohan.
Lepas dari keterbatasannya berkomunikasi, fisik Mimah cukup mumpuni untuk melebarkan bagian selangkangan celana pria. Warna kulitnya kuning langsat meski ada warna coklat bekas luka di sana-sini; lekuk gemulai pantatnya sering tampak meski cuma dibalut daster butut; bibir kecilnya menggoda meski jarang bergerak; dan kala tersenyum, wajah Mimah menggambar dua titik lesung pada pipinya. Dan yang paling menggairahkan, dadanya selalu tampak runcing karena Mimah tak punya satu pun penutup dada.
Regen menikahi Mimah karena fisiknya. Mereka bertemu saat Regen masih menjadi sopir angkutan orang dari pedalaman ke kabupaten. Di pedalaman, di kampung Mimah-lah Regen melihat istrinya dan napsu. Mimah sempat menjadi alasan Regen tetap mengais nafkah sebagai sopir. Setiap hari ia tetap semangat menyetir selama 6 jam dari kabupaten ke pedalaman lalu kembali lagi ke kabupaten membawa penumpang. Regen semangat karena di sebuah kampung di pedalaman, ia bisa melihat seorang gadis yang selalu duduk di depan rumah, di bawah pohon jambu, kala sore. Regen tak sabar menyetubuhi gadis itu. Napsunya semakin mendidih sejak ia tahu gadis itu tuli dan bisu.
Beberapa minggu setelah curi-curi pandang dan tersenyum napsu kepada Mimah, Regen akhirnya bisa memerawani Mimah di atas angkutan yang dikendarainya. Persetubuhan sepihak itu berlangsung beberapa minggu sampai perbuatan Regen tercium orang kampung dan Regen terpaksa menikahi Mimah karena terancam akan didenda adat.
Usai pernikahan itu terjadi, Regen membawa Mimah ke kampungnya. Dan sejak saat itu, Mimah tak pernah lagi pulang ke kampung halamannya, bahkan saat nenek yang merawatnya sejak bayi mati. Regen selalu punya alasan melarang Mimah pulang kampung, dan senjata utamanya adalah tinju yang mendarat di wajah Mimah. Mimah selalu jinak setelah setelah Regen meninjunya, sebab kakeknya dulu juga sering meninju neneknya dan neneknya jinak setelahnya.
Pertama kali hadiah tinju itu Mimah terima adalah pada minggu kedua dia menetap di kampung suaminya. Pada masa awal kedatangannya, Mimah punya satu kebiasaan yang dibawa dari kampungnya. Dia selalu duduk di kursi kayu yang diletakkannya di pekarangan rumah, di dekat tunas jambu yang dia tanam pada hari pertama kedatangannya di kampungan suaminya. Lantaran wajah cantik dan aduhai tubuhnya, beberapa pria sengaja lewat di depan rumah untuk memberi segaris senyum kepada Mimah, dan Mimah selalu membalas senyum mereka. Mimah suka disenyumi dan memberi senyum kepada semua orang saat itu. Dia tak mengerti apa yang terjadi. Sampai suatu sore Regen mendapati Pak Yohan tersenyum kepada istrinya dan karena itu Regen menampar istrinya sampai bibirnya pecah. Sejak saat itu, Mimah tak pernah lagi duduk di depan rumahnya saat sore untuk tersenyum kepada orang-orang yang lewat, lagi pula sejak seisi kampung tahu Mimah bisu dan tuli, semakin sedikit lelaki yang sengaja lewat di depan rumahnya. Mimah baru berani duduk di depan rumahnya saat Regen di luar rumah atau sedang tidur; yang tujuannya untuk memberi isyarat kepada tetangga dia ‘tersedia’.
*
DI RUMAH BU Yohan, Mimah diberi kamar sendiri di dekat dapur, makan dua kali sehari, dan hidup layak sebagai manusia. Namun, dia sering merisaukan Regen yang hilang karena penganiayaan itu. Mimah sering menangis di kaki Bu Yohan selama satu dua pekan pertama. Lantaran kasihan, Bu Yohan pernah bicara dengan suaminya, tapi Pak Yohan tak pernah seia dengan istrinya, malah pernah ia menegur istrinya sendiri di depan Mimah, “Kau ini perempuan, seharusnya kau paham. Lihat keadaan Mimah! Hidup dengan Regen bikin dia jadi binatang. Kenapa pula kau berpihak kepada Regen si tukang pukul bini itu?” Sejak itu, Bu Yohan tak pernah membicarakan Regen dengan Pak Yohan. Om Pala dan para tetangga lain juga satu suara dengan Pak Yohan. Regen pantas dipenjara lebih lama.
Genap dua pekan Regen tinggal di penjara, genap juga dua pekan Mimah tinggal di rumah Pak Yohan, Mimah mulai jarang menangis di kaki Bu Yohan, ia terlalu sibuk di dapur dan pekarangan Bu Yohan.
Pada pekan ketiga, Mimah tak hanya berhenti menangis, dia benar-benar melupakan suaminya, sebab, tepat pada hari Minggu pekan ketiga Mimah menetap di rumah Pak Yohan, Hidup Mimah berubah.
Pada hari Minggu pagi itu, semua orang di rumah Pak Yohan terjangkit flu. Mimah batuk-batuk, hidungnya penuh ingus; Pak Yohan demam, katanya sulit bangkit dari ranjang; sementara Bu Yohan batuk-batu, agak demam, tapi masih mau bangkit dari ranjang. Hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah itu, dua anak Pak Yohan telah berkeluarga.
Jam 8 pagi, walaupun sakit, Bu Yohan sudah siap ke gereja karena tugasnya sebagai majelis jemaat.
Jam 8 lebih 34 menit, Bu Yohan muncul di kamar Mimah. Berdiri di ambang pintu, dengan bahasa isyarat yang mungkin hanya dimengerti mereka, Bu Yohan meminta Mimah agar tak perlu memasak nanti siang. Wanita baik hati itu lalu menaruh satu telapak tangannya di pipi kanan lalu memiringkan kepalanya ke kanan, memberi perintah kepada Mimah: “Kau tidur saja siang ini.” Setelah itu, Bu Yohan menunjuk-nunjuk ke arah kamar tidurnya dengan Pak Yohan, lalu memperagakan isyarat yang sama: telapak tangan di pipi kanan, kepala miring kanan.
Mimah yang sejak Bu Yohan muncul sudah duduk di ujung ranjang kayunya, mengangguk-angguk saja.
Jam 8 lebih 41 menit, Bu Yohan menginjak pekarangan dan menuju gereja.
Jam 9 lebih 1 menit, baru saja Mimah menyentuh gagang gerbang mimpi, lengannya disentuh. Mimah buka mata, balik badan, terkejut; wajah seorang pria keriput, berkumis, dan bersarung telah sangat dekat dengan wajahnya. Pada wajah pria itu ada tempelan koyo’ di dekat kening kiri. Pak Yohan lalu meminta Mimah bangkit dengan bahasa isyarat. Mimah bangun lagi, duduk di ujung ranjang lagi, dan mengamati menatap Pak Yohan yang memerintahkan sesuatu lewat bahasa isyarat yang kemudian akan dimengerti mereka berdua. Pak Yohan memegang ujung bajunya lalu memeragakan seolah-olah akan membuka bajunya. Saat itu Mimah belum mengerti maksud majikannya, tapi dia teringat perintah Bu Yohan setengah jam lalu: telapak tangan di pipi kanan, kepala miring kanan lalu menunjuk-nunjuk ke arah kamar Pak Yohan tidur.
Jam 9 lebih 9 menit, Mimah buka baju.
Jam 9 lebih 10 menit, Pak Yohan duduk di samping Mimah.
Jam 9 lebih 12 menit, setelah Pak Yohan memeragakan beberapa bahasa isyarat yang ganjil, Mimah akhirnya berbaring.
Jam 9 lebih 15 menit, dua manusia itu telanjang.
Jam 9 lebih 20 menit, Pak Yohan mengerang seperti binatang.
Jam 9 lebih 25 menit, Pak Yohan buru-buru keluar kamar tanpa mengenakan pakaiannya.
Jam 9 lebih 30 menit, Mimah sudah berpakaian dan kembali berbaring di ranjang yang basah oleh keringat dua orang.
Jam 9 lebih 31 menit, Mimah mulai tersenyum. Dia merasakan sesuatu yang seumur hidupnya perdana terasa. Dadanya geli-geli sedap, garis mulutnya terus memanjang, dua titik lesung pada pipinya tak pudar sampai dia akhirnya memegang lagi gagang gerbang mimpi, membukanya, dan masuk ke dunia yang penuh pengandaian. Di alam itu, entah bagaimana ada Bu Yohan dan Pak Yohan di sana. Pak Yohan dengannya di ranjang, berkeringat; sementara Bu Yohan di ambang pintu dengan bahasa tubuh yang berulang kali diulang-ulangnya, telapak tangan di pipi kanan, kepala miring kanan.
Seterusnya, setiap jam 1 pagi, Mimah selalu kedatangan tamu di kamarnya, tamu yang selalu mengendap-endap keluar lagi setelah 5 sampai 10 menit ada di kamar Mimah. Dua pekan lewat, mereka melakukannya 16 kali. Sempat dua kali kala siang, saat Bu Yohan sedang ada urusan di rumah tetangga.
Mimah senang menerima tamunya, selain dia merasa harus patuh pada Bu Yohan, Mimah juga suka dipeluk Pak Yohan, apalagi Pak Yohan selalu memberi uang kepadanya sebelum keluar kamar.
Belum genap 40 hari Mimah menetap di rumah Pak Yohan, datang kabar bahwa Regen telah membunuh seseorang di penjara dan akan tinggal dipenjara lebih lama. Tak lama setelah itu, Mimah sakit yang membuat perutnya membesar beberapa bulan kemudian. Dan sebelum sempat perutnya kempis lagi, Pak Yohan mati. Mimah tinggal di rumah Bu Yohan sampai dua tahun kemudian Bu Yohan juga ikut mati dan salah satu anak kandung Bu Yohan dan Pak Yohan pindah ke rumah orang tua mereka lalu secara halus mengembalikan Mimah ke rumah suaminya yang hampir roboh itu, di mana ada pohon jambu di pekarangannya.
Tinggal berdua dengan anaknya yang hampir berusia tiga tahun, Mimah mulai menafkahi hidupnya dengan kebiasaannya yang dulu, kala sore Mimah selalu duduk tegak di kursi reyotnya, di bawah rindang pohon jambu pekarangan, dengan terus-terusan menampakkan segaris senyum dan dua titik lesung pipinya. Kebiasaan itu dilakukan untuk mengabarkan bahwa dia ‘tersedia’. Bukan sebagai penatu, apalagi pembantu. Bukan kepada para perempuan, tetapi kepada para lelaki yang lewat di depan rumahnya. Dia berharap, subuh atau nanti malam ada yang masuk ke rumahnya lalu ke kamarnya yang tak pernah dikunci, menepuk lengannya, lalu mereka akan menuju kamar sebelah karena takut mengganggu bocah yang sedang lelap.
Selesai.