Disukai
0
Dilihat
1285
Masak-masakan
Thriller

Langitku, monokrom. Perca-perca cahaya hanyalah setitik putih di tengah abu dan hitam kehidupanku. Filosofiku hanya satu. Kepentingan bagi orang lain, jauh lebih penting dari diriku sendiri. Aku adalah budak. Tidak lebih hebat dari seekor anjing jalanan yang mengais remah di pinggir meja makan restoran. Aku adalah batu es, yang siap mencair supaya bumi yang panas tidak bernasib sepertiku. Lambat laun, aku lupa bahwa hakekat kehidupanku cepat menguap. Kabut hanyalah sebuah singgasana sementara yang tidak percaya terhadap dirinya sendiri. Cepat sekali ia hilang dan tertiup angin malam. Seperti itulah aku menganggap diriku. Kabut yang tak bertuan. Siap dihempas walau tiupan angin jinak. Aku memandang hina langit dari balik kungkung besi ini.

Sebuah kenangan hari itu dimulai dengan kenangan di hari lainnya. Sebuah kenangan dimana aku melupakan sisi manusiaku dan benar-benar berubah menjadi seekor anjing penggila kebebasan. Bagiku, kata itu indah. Seindah hal paling baik yang bisa terjadi di dalam bayangan seseorang. Bayangkan saja sebuah kebebasan bisa menjadi satu-satunya harapanku di tengah ruangan sesak tampatku disekap 14 tahun lamanya. Tanpa protes, tanpa mau untuk bertanya lagi, aku mengurung semua rasa penasaran di balik kungkung tinggi bernama rasa takut. Hingga sebenarnya aku tahu betul, bahwa rasa takutku adalah rasa takut akan kebenaran itu sendiri.

Hari itu, aku hanya ingat satu hal. Tali mengikat tubuhku yang lebam, biru. Sakit di sekujur tubuhku yang kecil, tanpa tangis. Aku nyaris telanjang. Bajuku sobek dan menghitam di beberapa sisi. Kembali aku mengenali diriku dan kehampaan ruangan ini, segera aku mengingat hal terakhir yang terjadi. Tapi tidak bisa.

Ingatanku berkecamuk dalam lautan ada dan tiada. Aku hilang arah dan berpikir keras berujung sakit kepala mendadak. Hingga pintu kamar terbuka. Dari balik cahaya itu aku melihat sosok siluet yang amat ku kenal. Garis tubuhnya tegas dan saat ini mengeras. Amat bisa kurasakan gemetar tangannya yang sedang memegang ikat pinggang kulit yang tidak pernah ia kenakan itu.

Ayahku seorang pengusir hantu. Ia orang terpercaya di sekitar rumah kami, bisa mengusir sejumlah hantu. Menghilangkan roh penyesat yang merasuki tubuh. Dan dari separuh umurku aku menghabiskan waktu bersamanya, baru kali ini aku melihatnya takut dengan sesuatu.

Hujan sore itu, memfosil di kepalaku. Memori irama hujan yang berantakan, membuatku kadang-kadang ingat hal yang ia lakukan.

Ibu muncul dari balik tubuh ayah yang besar. Ia adalah orang paling baik sejagad. Tapi saat itu pun ia tidak berdaya memandangku. Tangisannya jelas mengindikasikan ada yang salah dari diriku. Hanya semangkok bubur diberikannya kepada ayah. Yang dengan terbata ia genggam mangkok itu.

Aku tidak mengerti kenapa bisa-bisanya 5 jam lalu aku masih ingat aku meminta izin untuk bermain keluar bersama Tita. Selang semenit ia habis memanggilku, aku bergegas keluar dengan membawa peralatan mainan kesukaan kami, peralatan masak-masakan. Aku pergi menghampiri ibu yang sedang memasak betulan di dapur 3x3 kami. Aroma masakannya menggugah selera. Ia bilang bahwa hari ini adalah hari bubur. Ia cekatan memotong-motong seledri, kemudian memisahkannya untuk dijadikan taburan terpisah di atas bubur cantik hasil karyanya. Sekarang keadaan menjadi rumit dan tak terkatakan.

Pesannya saat itu hanya satu,

"Jangan pulang malam ya!"

----

Aku mengangguk. Kemudian beringsut pergi keluar.

Ayah meletakkan ikat pinggangnya di tangan ibu. Menukarnya dengan bubur dingin yang sepertinya sedari tadi seharusnya terhidang untukku yang pingsan.

Beberapa tapak kaki kelihatan seperti ia paksakan untuk menghampiriku.

"Ki..Kirana..?" Suara ayah yang tegas dan bijaksana sekarang terkesan lemah.

"Ka.. Kamu makan dulu ya." Kata ayah. Suaranya tercekat di ujung kalimat.

Ibu hanya bisa menangis lemah.

Aku mengangguk.

"Pa, kok Kirana diikat?" Tanyaku polos memandang ke arah mereka.

Ayah yang tadinya sudah dua meter lagi jaraknya dariku, mundur kembali.

Tangisan ibu makin menjadi.

Ayah kembali menghadap ibu dan menenangkannya.

"Polisi akan ada di sini sebentar lagi. Jangan khawatir. Mereka pasti akan menyingkap kebenaran."

Aku masygul sendiri memandang percakapan itu. Aku mencoba mengingat hal terakhir yang terjadi.

Tita dan aku pergi ke tempat biasa. Aku menggoes sepeda masuk ke dalam pepohonan. Tempat ini tentram dan tenang. Kami mencari tali putri, rumput, buah bintaro, dan banyak hal lainnya yang kami jadikan bahan memasak.

"Ahh... Aku kehabisan stik kayu."

Tita memandangku sekilas. Melihat perbendaharaan yang ada padaku. Tanpa ia meminta, aku memberikannya stik kayu satu-satunya yang kupunya.

"Ini." Kataku singkat dan kuberikan sesimpul senyuman kepadanya.

Ia balas tersenyum dan melanjutkan 'masakannya'.

Setelah memberikannya, aku baru sadar. Bahwa aku ingin mengaduk adonan kue. Tentu saja adonan itu tidaklah betulan terbuat dari tepung dan telur. Melainkan hanya tanah lumpur, diicampur dengan sejumput rerumputan serta air supaya adonan mentah itu menjadi khamir.

Aku tidak bisa mengaduk tanpa alat.

Di dalam hati, aku mendengar bisikan bak sebaris tinta dingin yang tertuang di dalam dadaku.

'Sekarang, kamu gak bisa lanjut masak 'kan?' katanya.

----

"Pak polisi, tolong pelan-pelan saja. Ia anak yang baik!" Rintihan ibu menyadarkanku dari lamunan. Sekejap bubur yang tadinya akan diberikan kepadaku, telah hilang. Yang kulihat justru seorang pria bertubuh tegap berdiri di hadapanku. Badannya yang lebar, menghalangi cahaya dari luar ruangan, yang menjadi satu-satunya sumber cahaya di kamar ini.

"Halo, dek. Namamu siapa?" Sapa polisi tersebut.

Dari balik senyumnya ada emosi yang ia paksakan. Entah apakah supaya ia terlihat baik di depanku, atau memang karena pekerjaannya yang mengharuskan ia begitu.

"Saya Kirana pak."

"Dek Kirana, udah makan?"

"Belum."

Di saat bersamaan ia bertanya, ibu telah mengambil kembali mangkok bubur yang ternyata ia letakkan di meja. Aku tidak sadar jika bubur tersebut ada di situ. Di meja, juga ada mainan masak-masakan yang aku pakai tadi.

" Tolong beri dia makanan. Masa anak kecil gak dikasih makan udah jam segini?" Pak polisi baik itu menoleh ke arah ayah dan ibu yang tertegun menatap kami. Ayah tercekat dari lamunannya kemudian segera mengambil bubur.

"Dek Kirana," Panggil pak polisi tersebut.

Aku mengangguk pelan.

"Boleh tidak, kalau bapak bertanya beberapa hal sembari kamu makan?"

Aku mengangguk kembali.

"Tapi kamu harus janji untuk jujur ya."

Aku mengangguk kembali.

"Baiklah, bapak akan lepaskan ikatan kamu supaya kamu bisa duduk."

"Jangan!" Ayah terlebih dulu mencengkram tangan polisi tersebut.

Aku tersentak kaget. Mengapa ayah sebegitu inginnya aku diikat begini? Lebih membingungkan lagi, mengapa ia mengikatku seperti ini? Aku sebenarnya sudah Sedari tadi menahan tangis.

"... Jangan... "Bisik ayah sembari menggeleng pelan.

Polisi tersebut hanya menatap ayah dan mengangguk mantap. Seolah meyakinkannya bahwa semua akan baik saja.

Polisi lalu melepas ikatanku dengan gunting. Namun, kakiku dibiarkannya terikat di tulang kasur.

"Nama bapak, Pak Johan. Coba kamu ceritakan kejadian saat kamu lagi main keluar tadi ya."

Aku mengangguk. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

----

"Yey, sudah jadi!" Tita besorak kegirangan.

Aku memandang masakan Tita penuh rasa ingin.

Ingin mencoba masakannya.

Serta ingin bisa memasak makanan seperti itu.

'Mengapa? Sekarang kau iri?'

Aku mendengar bisikan itu lagi.

"Aku mau kasih liat mama hasil buatanku ini. Menurut kamu, mamaku bakalan suka gak ya?" Tita bertanya kepadaku.

"Tentulah! Pasti dia senang! Kamu 'kan udah bikin masakan yang enak!"

"Tapi aku takutnya dia gak suka masakanku ini. Mungkin bisa jadi bukan seleranya' kan? Atau dia malah muntah dan bilang ini gak enak." Tita memandang ke arah masakannya dengan tatapan sedih. Kemudian ia memandang dengan penuh harap. 

"... Tita..." Aku ikut merasakan kesedihan.

Hening beberapa saat.

"Aku.. Bakalan cobain deh!" Aku sontak mengajukan diri untuk mencicipinya.

"Hah? Kamu serius Kirana?"

"Iya dong. Supaya kamu bisa tahu mamamu bakalan suka atau enggak. Seenggaknya aku bisa cobain dulu terus bilang ke kamu rasanya gimana." Aku tersenyum riang.

"Tapi, heh.. Tunggu dulu!" Tita yang masih terlihat bingung untuk memutuskan, tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena terpotong oleh tindakanku sudah mengambil masakannya.

Aku memperhatikan dengan seksama.

Masakan Tita, terbuat juga dari tanah. Berbentuk tabung seperti kue. Ia menggunakan air dari selokan dekat rumahnya untuk mengkhamirkan adonan. Beberapa helai rumput terlihat bergoyang kesana-kemari tertiup angin. Melambai-lambai karena disusun seolah seperti lilin ulang tahun. Stik kayu yang tadi aku punya, ia tempelkan di tengah-tengah kue. Seolah itu adalah lilin paling besar yang ada di tengah-tengahnya. Ada tali putri yang menghiasi pinggirannya. Belalang hasil tangkapannya ada 4. Digeprek, kemudian ia jadikan bahan tambahan dalam adonan kue tersebut. Ada seekor cacing yang menggeliat-geliat keluar dari kue mahakarya Tita.

"Ini kue yang kelihatan enak." Kataku kepada Tita.

"Iya 'kan? Ini hari ulang tahun mamaku! Hehehe"

Pelan-pelan ada yang merambat ke tanganku. Ia kecil dan berambut banyak. Sensasi terakhir yang ia tinggalkan ketika meninggalkan tanganku adalah gatal. 

"Ada ulat bulu!" 

"Duh!" aku mengibasnya sebisanya. Ia terpental jauh. 

Sekarang jemariku gatal sekali. Tangan kiriku seolah refleks melindungi saudaranya. Ia menggaruk tangan satunya dan membuat kue itu tergoncang-goncang. 

"Maaf ya. Aku gak tau ada ulat bulu di dalamnya."

"Gak papa kok."

"Kamu jadi mau nyobain?" 

Aku diam sejenak. Terbersit di pikiranku untuk menggeleng. Tapi siapa yang akan memikirkan pilihan tersebut. Adalah lebih baik jika aku memakannya saja. Dia pasti akan senang jika aku dapat memberitahu rasanya seperti apa. Jika aku tidak mencobanya, dia akan marah. Teringat kembali aku pada kata-kata mama, "Kamu harus bisa mengerti orang lain. Jangan buat orang lain marah sama kamu ya. Jadi penurut itu lebih baik."

Gigitan pertama mendarat di kue karya temanku itu. 

----

"Kamu makan semua itu?" Tanya Pak Johan. 

Aku mengangguk. 

"Kirana mau dilepasin." Aku tidak puas dengan keadaan ini. Kakiku diikat seperti aku hewan peliharaan. 

"Nak, menurut dulu ya. Untuk sementara, kami tidak bisa buka ikatan kamu itu dulu." Kata ibuku pelan. 

Ayah muncul dari balik bayangan polisi. 

"Kok kamu gak tolak aja? Itu 'kan gak bisa dimakan Kirana."

"Kirana gak mau bikin Tita sedih atau marah. Kalau bukan Kirana yang makan, siapa lagi? Lagipula itu bisa kok dimakan. Buktinya Kirana bisa telan makanannya."

"Lihat pak polisi! Kirana gak mungkin melakukan hal itu pada Tita! Dia aja sebegitu pedulinya sama temannya."

"Iya pak, tapi berdasarkan hasil penyelidikan, bekas sidik jarinya ada di pisau mainannya. Sudah begitu, hanya ada mereka di sana."

"Tapi pak," Ayahku masih bersikeras tentang sesuatu. 

Entah apa yang mereka maksudkan. Aku sama sekali tidak paham. 

"Nak Kirana, kamu kenal pisau mainan ini?" Pak Johan bertanya. 

Sebuah pisau berlumuran tanah terbungkus kantong plastik ditunjukkan kepadaku.

Aku mengangguk. 

"Ini punya siapa?" 

"Punya Kirana."

"Kamu ingat tidak setelah kamu makan itu, apa yang terjadi?" 

Aku memejamkan mata. Mencoba mengingat-ingat. 

"Kirana bilang ke Tita," 

----

"... E... Enak banget..." Kataku sambil menahan tangis. 

"Hah serius kamu?!" 

"I... I... Iyaa," aku berbohong. 

Rasanya mengerikan. Seperti, makanan basi yang tidak jelas. 

Di dalam kunyahanku aku bisa merasakan lumpur yang mengental terkena ludah serta cacing, rumput, dan belalang yang mengeluarkan cairan mereka masing-masing. Beberapa cacing menggeliat di dalam mulutku. Masih dalam keadaan segar sekali. 

Kue itu cepat-cepat aku telan. 

"Makasih ya Kirana! Abis ini aku mau kasih mama aku kue yang satu lagi."

Tita berbalik badan merapihkan peralatannya. 

"U.... Uek..." Tenggorokanku rasanya seperti menelan kotoran yang mengapung di selokan. 

Aku ingin muntah. Tapi kutahan semuanya. 

'Kau kesal bukan?! Itu tidak enak! Kenapa malah kau bilang enak? Kau kesal bukan? Karena dia membuatmu memakan hal itu?' suara itu datang lagi. 

"Aku mau kasih ini dulu ke mamaku ya! Kamu tunggu sini."

"Iya'

----

'Kenapa bukan dia aja yang makan? Kenapa kamu? Dia gak berani makan makanannya sendiri? Aneh bukan? Itu aneh bukan? Itu karena memang masakannya gak bakal enak. Dia tahu itu!' suara itu makin kencang terdengar. 

"Ihh! Kamu siapa sih?! Kamu dimana?" aku membentaknya. 

'Hehehehe, aku selalu ada bareng kamu Kirana. Aku teman sejatimu.'

"Kamu dengar suara orang lain? Kata kamu di situ cuma ada kamu sama Tita?" Pak Johan mencoba membayangkan kejadian tersebut. 

"Enggak. Di situ ada orang lain." aku menggeleng. 

"Itu pasti roh jahatnya!" Ayahku berkomentar. 

"Roh jahat?" Aku bertanya.

"Papa yakin? Kirana takut sama roh jahat Pa!" aku mulai menangis takut. 

"Pak, bu." Pak polisi berdiri. 

"Bapak 'kan pengusir setan. Kenapa gak diusir aja dari badan anaknya kalau dia beneran kerasukan?" 

"Saya takutnya tidak bisa pak."

Ayahku menunduk putus asa. 

"Memang seharusnya bukan kamu sayang yang ngusir setan. Tapi Allah!" 

Ibuku berkomentar. 

"Iya kamu bener."

"Bapak beneran bisa usir setan?" 

"Bukan saya pak, tapi Tuhan. Tuhan yang akan adakan mujizatNya." Kata ayahku. 

"Kita coba doain lagi ya. Sayang, tolong ambil minyak yang tadi."

"Iya." Ibuku mengambil sebotol kecil minyak bening.

Biasanya minyak itu ayah pakai buat usir roh jahat atau dia oles-oles ke rumah-rumah. Katanya, supaya dijagain oleh Malaikat. 

"Kita mulai ya." ayahku mengambil posisi. Ia menengadahkan tangannya ke atas kepalaku. 

Polisi itu menunggu di di luar. Ia sepertinya menyalakan rokok. 

Terdengar suara ayah berdoa dengan ibuku. Aku ikut memejamkan mata, kebingungan. 

Ayahku merapal ayat-ayat doa. Sambil entah mengapa harus menenteng minyak itu.

Aku ikut menangis. Entah mengapa. Aku hanya ikutan ayah dan ibu yang ikutan menangis. 

Selesai doa, ayah melepaskan ikatan di kakiku. 

"Kirana, mulai hari ini, kamu sudah menjadi kepunyaan Tuhan. Tidak ada yang bisa merasuki kamu lagi."

"Iya bener 'nak."

Polisi itu masuk lagi. 

"Memangnya Kirana dirasukin apaan pah?" 

Ayahku mengernyitkan dahinya. 

"Roh jahat. Yang sangat jahat."

Seiringan dengan itu, ku dengar suara dari luar rumah yang kian lama kian membesar. 

"BUNUH ANAK ITU!" 

"ANAK IBLIS! 

" YA TUHAN! KENAPA DIA MASIH DI SINI?!"

"KELUARKAN DIA! KITA BAKAR DIA RAMAI-RAMAI!" 

Suara itu sangat jelas dan lantang. 

"Siapa yang anak iblis pah? Apa yang mereka maksud itu Kirana?" 

"Bukan sayang. Mereka hanya salah paham."

"Terus siapa pah?" 

"Itu, tetangga sebelah. Jangan kamu pikirin ya sayang. Kamu sudah baik sekarang." Ibu menambahkan

"Memang tadi Kirana jahat?" mataku berkaca-kaca. 

"Cukup." Pak Johan serta seorang rekannya yang lain berdiri di belakang ayahku. 

"Ayo kita bilang yang sebenarnya."

"Kirana, kamu adalah tersangka utama dalam kasus pembunuhan teman kamu Tita dengan menggunakan pisau ini. Selain itu, juga baru besar ini." Kata pak Johan sambil menenteng pisau mainan yang tadi ia tanyakan kepadaku. 

Aku bingung. 

"Tersangka itu apa pah?" 

Ayahku hanya diam. Tidak menjawab. 

"Tersangka artinya kamu yang diduga membuat Tita meninggal. Mati." Kata Pak Johan dingin. 

"Hah?" 

"Tita udah meninggal? Mati?" 

"Iya betul."

"Berarti dia bakal pindah rumah ke bawah tanah ya mah?" 

Hening. 

"I.. Iya sayang." Kata ibuku. 

Suara di luar semakin kencang terdengar. 

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!" 

Ibuku mulai menangis lagi. Ayahku keluar dari ruangan untuk menghentikan kegaduhan di luar. 

"Kamu merasa tadi nusuk Tita pakai pisau mainan tidak?" 

"Enggak pak."

"Jawab dengan jujur, Kirana." Tanya ayah sekali lagi.

Aku menggeleng keras.

"Lalu siapa?"

----

Setelah memakan masakannya Tita, aku melanjutkan kegiatan memasakku. Aku ingin memasak bubur, seperti mama. Mama memasak bubur dengan pertama-tama mencincang daging ayam.

Mama bilang, daging tersebut dapat menambah cita rasa bubur. Aku ingin sekali membuat bubur seperti itu.

'Kamu perlu daging kan?'

Suara itu muncul kembali.

'Coba lihat, siapa yang kembali membawa daging?'

Tita berlari-lari kecil menuju ke arah tempat kami tadi sedang bermain.

"Tita tidak membawa daging apa pun."

'Memangnya daging apa yang kau mau?'

"Daging ayam kek."

'Memang ada bedanya daging ayam dengan daging Tita?'

----

"Bakar! Bakar! Bakar anak itu!"

Orang-orang semakin menggila di luar.

"Anakku Tita! Tidak akan kumaafkan kamu, Kirana! Tita!" Suara ibu Tita terdengar kencang sekali di antara yang lain.

Ayahku melepaskan ikatanku.

"Polisi, saya akan menyerahkan anak ini kepada bapak-bapak sekalian."

"Pak?!" Ibuku berteriak.

"Buktinya sudah sangat kuat! Apalagi yang bisa kita lakukan buat Kirana, ma? Daripada dia diamuk massa di luar, lebih baik dia dalam perlindungan polisi. Setidaknya sampai situasi membaik." Ayahku menjelaskan.

Apakah aku tidak salah dengar? Ayahku sendiri menjebloskanku ke penjara. Ayahku...?

'Kirana, coba ingat kembali apa yang kita lakukan saat itu?'

Beberapa warga sudah mendobrak-dobrak pintu kami.

Aku memejamkan mata mencoba mengingat apa yang terjadi.

"Aku butuh bubur."

Aku menghancurkan kepala Tita dengan pisau yang sudah tertambat di lehernya sejak daritadi. Butuh perjuangan memang, tapi hasilnya sepadan. Aku mendapatkan banyak remah-remahan dari daging Tita. Tubuhnya masih bergerak-gerak sedikit. Tapi sepertinya ia tidak apa. Sedikit tidur ia akan segar kembali.

'Kau yakin?'

'Yakin apa?'

----

Aku menangis. Air mataku tidak berhenti mengalir.

"Tita....... Ya Tuhan...."

Beberapa warga masuk ke dalam rumah kecil kami. Sebagian membawa obor. Sebagian lain senjata seperti pentungan dan pisau.

"Cepat, polisi, bawa dia." Ucap ayahku.

Wajahnya sangat sedih ketika mengucapkan hal tersebut.

Ibuku hanya menangis pasrah. Beberapa polisi lainnya datang dan meringkus aku. Lebih banyak lagi yang menahan amukan masa.

Aku bersimbah tangis. Aku ingat semuanya.

Aku menghancurkan kepala Tita. Mungkin itulah kenapa aku jadi seperti ini sekarang.Tita mungkin tidak akan pernah sembuh dari sakitnya itu.

Ketika aku ditangkap oleh polisi, aku mengamati wajah orang tuaku.

Ibuku mencoba untuk tetap kuat. Ayahku memeluknya, untuk menenangkannya.

Ayahku tersenyum.

'Coba kau ingat lagi. Apa sebenarnya yang terjadi?'

Suara itu membuatku melupakan apa yang sedang terjadi saat ini.

----

Ayahku datang ketika aku sedang melanjutkan masakanku.

"Halo Tita." Sapa ayahku.

"Halo om. Kita lagi masak-masak."

"Oh masak ya? Kirana juga lagi masak?"

"Iya pa. Mau coba masakanku gak?"

"Hmmm... Kamu buat apa ini?"

"Bikin bubur."

"Oh... Begitu ya. Bagus-bagus. Pakai daging ayam juga gak seperti mama?"

"Pengennya begitu pa. Tapi Kirana gak punya daginnya."

"Oh begitu. Papa cari dulu ya kalau begitu. Kirana diam di sini dulu ya. Papa sama Tita mau ke hutan sana dulu untuk cari daging buat Kirana. Kirana mau daging ayam kan?"

"Iya pa. Wahhh..."

"Ayo Tita. Temenin om cari daging buat Kirana.

Tita awalnya enggan, karena sedang asik memasak.

Namun pergi juga pada akhirnya.

'Apalagi yang kau lihat?'

----

Ayah membetulkan celana yang ia kenakan. Kemudian bangun dari semak-semak. Kuperhatikan Tita saat itu hanya diam saja. Celananya juga sudah terbuka. Di daerah tempat lubang pipisnya, ada darah.

Aku mendatangi mereka karena kudengar teriakan Tita yang tertahan dari hutan lebat tersebut.

"Pa, Tita kenapa tiduran?“

Papaku menoleh. Dia kemudian menjawab.

"Ini daging buat kamu."

Aku melihat ke arah tangannya yang menunjukkan ke arah Tita. Tita masih terengah-engah. Entah apa yang terjadi. Apa mencari daging sesulit itu?

"Pa, mana dagingnya?"

"Itu." Papaku masih menunjuk ke arah Tita.

"Coba ambil pisau itu."

Kuambil pisau mainan punyaku itu.

"Sekarang, Tita lagi main jadi daging-dagingan. Kamu pakai aja jadi bahan masakan. Gak papa. Nanti Tita setelah main sama kamu, tidur siang, terus akan balik lagi deh besoknya."

"Emang iya pa?"

"Iya. Nih, papa bantuin ya. Tapi nanti papa tinggal karena papa ada kerjaan lain. Nanti Kirana juga jangan lupa minum obat ini ya. Harus diminum."

----

Ayahku menggenggam tanganku yang memegang pisau tumpul tersebut.

'Sudah ingat? Kau tidak membunuh Tita. Ayahmulah, pelakunya.'

Suara itu mengucap kembali.

Namun saat ini aku ada di balik jeruji.

Aku tidak berdaya di sini.

Hal tersebut terjadi 14 tahun lalu. Sekarang usiaku 24 tahun.

Itu adalah ingatanku yang aku gali selama aku berasa di sel. Aku dihukum karena membunuh Tita.

Besok aku akan bebas.

'Besok, silahkan kau yang ambil alih Kirana. Aku sudah di sini selama belasan tahun.'

Ucap suara itu lagi. Suara yang menemaniku senantiasa.

"Tidak. Itu akan terlalu mudah."

Aku beranjak masuk ke kamar mandi penjara, melepaskan semua bajuku.

Kulihat diriku. Penuh dengan bekas lebam.

"Besok, kita berdua akan menemui ayahku. Dia akan jadi masakanku yang terakhir."

Fin.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi