Di antara teriakan yang memekakkan dan lolongan minta tolong, Kawi merasakan bajunya terciprat cairan diiringi rasa ngilu dari bagian tubuhnya yang tertembus peluru. Cairan itu merembes melalui celah kain. Hangat dan amis khas menusuk penciuman.
Todongan senjata dan tendangan memaksa Kawi terus berjalan mengikuti instruksi. Perlahan teriakan itu menghilang seiring bredelan suara senapan. Kawi tersungkur setelah dilempar ke sebuah lubang lembap dan gelap. Suara lenguhan panjang seperti dengkuran sayup terdengar. Berakhir dengan napas yang tercekat, lalu senyap.
Truk yang tadi membawa Kawi dan rombongan, mulai meninggalkan tempat. Dari kegelapan Kawi merasakan sesak yang semakin menghimpit dadanya. Jika ia mati saat ini, maka benarlah kekejaman ini hanya bagi orang kecil yang mudah saja dituduh seperti dirinya.
Malam itu Kawi diseret paksa oleh rombongan yang menamakan diri sebagai "penumpas" antek partai merah yang tengah menjadi polemik negeri. Bagi Kawi, mereka tak berbeda dengan algojo pelaku penculikan akhir September lalu. Mungkin saja mereka adalah orang yang sama, setidaknya itu yang ada di kepala Kawi.
Buram.
Kawi hanyalah anak seorang pedagang batik di Pasar Pathuk, Yogyakarta. Sejak kecil Kawi tinggal dengan seorang ibu dan adik perempuan. Ia tidak pernah mengenal ayahnya, begitu juga dengan keluarga sang ibu. Hidupnya seperti penuh dengan rahasia. Hanya itu yang ia ketahui tentang kehidupan keluarganya.
Pagi demi pagi, senja demi senja, Kawi lalui membantu sang ibu menjual batik-batik di pasar. Melanjutkan sekolah adalah sesuatu yang mewah bagi anak seorang ibu tunggal.
Tiba-tiba ibu Kawi menawarkan pekerjaan sebagai pesuruh di salah satu rumah seorang perwira berpangkat Mayor Jenderal. Sangat jarang bagi seorang anak rakyat jelata bisa dipekerjakan di tempat itu. Kawi tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung menyetujui.
Di rumah Sang Jendral, Kawi tidak hanya dipekerjakan, tetapi juga belajar banyak hal.
Bapak--begitu Kawi menyebut Sang Jendral--tidak pernah membatasi Kawi untuk belajar. Bahkan Bapak seringkali meminta anak semata wayangnya--Muhlas, mengajak Kawi belajar bersama.
Saat itu Muhlas baru lulus sekolah menengah atas dan hendak melanjutkan kuliah ke Jakarta melalui jalur pemerintah. Buku-buku Muhlas menjadi teman Kawi saat ia berada di Jakarta. Meski Kawi tidak sekolah tinggi, kecakapan membacanya cukup bagus.
Di Jakarta, Muhlas yang menempuh pendidikan kedokteran di universitas ternama, tidak pernah mengatakan dirinya anak seorang tentara kepada publik.
Gesekan antar mahasiswa yang terasa sejak awal 1962 hingga tahun 1965. Jelas, itu sangat tidak menguntungkan untuk mengumbar identitas diri.
Muhlas tengah berada di kosnya yang berada tepat di belakang asrama TNI, Saat persitiwa besar di akhir September terjadi. Ia tinggal satu kos bersama salah satu pegawai seorang Jenderal besar, yang belakangan ia ketahui Jenderal tersebut menjadi korban penculikan malam nahas itu.
Setelah mendengar berita kegaduhan malam itu, Muhlas segera menghubungi kediaman sang ayah di Yogyakarta. Namun, Muhlas kehilangan kontak. Entah di mana keberadaan Bapak saat itu. Kawi lah yang mengangkat telepon, tetapi mereka tidak sempat berbicara. Sambungan terputus.
Saat yang bersamaan, Kawi diboyong pasukan berseragam yang tiba-tiba menyergap kediaman Bapak. Ia dibawa menuju ke sebuah tempat.
Apakah mereka mencari Bapak? Di mana Bapak sekarang? Siapa tadi yang menelepon?
Kawi pasrah.
Dari bilik kamar berdinding setengah geribik, Kawi mencoba mencari-cari sesuatu dari celah-celah kecil itu. Nihil. Ia tidak tahu di mana dirinya kini. Detik kemudian terdengar keributan di luar, berakhir dengan benturan benda keras dengan pekikan tajam, lalu hening. Selanjutnya hanya terdengar langkah-langkah tergesa seperti membawa beban berat melewati kamar di mana Kawi disekap.
Saat sekapannya dilepas, Kawi ditinggal begitu saja. Orang-orang yang tadi ramai, tak satupun ia lihat di sana.
***
Entah berapa lama Kawi terlunta-lunta di jalanan, hingga akhirnya menyusur arah pulang. Kawi bersimpuh di depan rumah ibunya yang gelap dengan bagian-bagian yang tak lagi utuh.
"Dua hari lalu, ibumu dibawa mobil jeep. Dan adikmu digondol tentara, dimasukkan truk." Salah seorang tetangga memberitahu Kawi, seraya mengendap diam-diam lalu pergi lagi.
Situasi sangat tidak terkendali, mencekam dan mengerikan. Setelah matahari terbenam tidak ada warga yang berani berkeliaran di luar. Jika nekat maka sama saja seperti menyerahkan diri untuk mati secara sukarela.
"Kita tidak pernah tahu, jika pengkhianatan seringnya terjadi dari orang yang paling kita kenal. Bahkan sangat dekat seperti dalam selimut. Tak berjarak." Suara itu mengagetkan Kawi.
"Mas Muh." Kawi menoleh ke sumber suara dari belakang punggungnya.
"Bagaimana keadaan Bapak?" Kawi menatap khawatir.
"Tak perlu kamu khawatirkan Bapak lagi, Kawi." Muhlas menepuk kedua pundak Kawi.
Tak lama pasukan berseragam menyerbu Kawi tanpa aba-aba. Lalu mereka menyeretnya ke dalam truk yang sudah hampir penuh oleh manusia tangkapan.
"Tunggu! Saya mau dibawa ke mana lagi?"
Muhlas berlalu tanpa menjawab.
"Mas, tolong Saya, Mas?" Kawi masih berteriak.
"Kau berada di lapangan batalyon L di malam kejadian, saat dua Jenderal kami dibunuh!" Salah satu yang mengokang senjata berseru.
Batalyon L? Apakah itu tempat di mana aku disekap tempo malam?
Kawi teringat, ia mendengar dua kali pukulan benda malam itu. Hatinya semakin tak berbentuk.
"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa malam itu. Mas Muh, tolong, Mas! Saya mau bicara sama Bapak!"
Kawi terdiam setelah satu bogem menghantam rahangnya.
Santernya pemberitaan di seluruh pelosok negeri bahwa beberapa batalyon telah disusupi kader partai merah. Hal yang membangkitkan kecurigaan atau siapa pun yang diduga memiliki hubungan kuat akan diciduk dan diasingkan. Bahkan dimusnahkan.
Bisa jadi Kawi memiliki ciri yang dianggap benar. Atau mungkin hanya salah sasaran yang dikambing hitamkan.
Dari cerita Bapak, Kawi mengetahui jika Bapak bertugas di bawah kepemimpinan Batalyon Digdo di Surakarta. Lalu berpindah ke Yogyakarta. Kawi selalu betah berlama-lama mendengar celoteh Bapak. Ia seperti menemukan figur ayah pada Bapak. Begitu juga sebaliknya, Bapak seperti ingin terus berbagi kisah dengan Kawi.
Belakangan diketahui jika batalyon tersebut adalah yang turut mendalangi pemberontakan serupa di Madiun tahun 1948, hanya saja saat itu pergerakan mereka gagal untuk mengkudeta pemerintah. Di dalam Batalyon Digdo, Bapak juga berteman dekat dengan Letkol Unang yang ramai disebut-sebut sebagai otak partai merah yang menyusup di tubuh TNI AD.
Muhlas mencium kecurigaan terhadap Kawi ketika semakin hari kedekatannya dengan Bapak bukan seperti juragan dan pesuruh. Dan dugaannya menguat setelah rahasia besar terkuak. Ditemukannya bukti pernikahan siri antara Bapak dan Ibu Laksmi. Tak lain adalah ibu kandung Kawi, yang juga anak dari komandan peleton Batalyon Digdo. Karenanya pula, ibu Muhlas terkena serangan jantung, sebelum mengungkap fakta sebenarnya.
Lantas ia pun paham alasan Bapak meminta Kawi menjadi pesuruh di rumahnya. Muhlas tidak membiarkan itu!
Setelah malam nahas, Muhlas mengetahui Bapak segera menuju markas tugas untuk bersiaga, sebab kabar sudah meluas jika pasukan cakrabirawa akan melancarkan penangkapan ke rumah para Jenderal di daerah.
Jam penangkapan serentak, pasukan loreng merah sudah merangsek ke rumah Bapak. Sesaat bunyi telepon berdering, telepon diangkat, dan Muhlas kembali menutup telepon setelah memastikan pasukan itu membawa Kawi.
Apakah Bapak dan keluarga Laksmi benar-benar terlibat?
Buram.
Muhlas tak ingin tahu. Ia kembali ke Jakarta melanjutkan kuliah, sementara Kawi ditelan gelap Luweng Grubug.
***
Tamat