Disukai
1
Dilihat
1225
KERETA LEWAT
Romantis

Mata Reira diam-diam mengamati sosok laki-laki yang tengah sibuk dengan ponsel beserta penyuara kuping yang bertengger di telinga. Lagunya diputar kencang, seakan-akan mengisyaratkan orang itu tak ingin diganggu sedikit pun oleh siapa-siapa, suaranya sampai terdengar samar. Jika dihitung, ini sudah kali kelima Reira bertemu dengan laki-laki yang berdiri di sampingnya itu. Diam-diam Reira membenarkan baju kantornya, memperhatikan ujung sepatu yang sepertinya harus ia semir di tukang sepatu lusa depan agar terlihat lebih layak dipakai di kemudian hari.

Laki-laki itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Di antara dua jemarinya sekarang, terapit satu buah lintingan rokok yang belum dinyalakan, diambil lagi satu benda di samping kiri sakunya. Kali ini korek. Reira yang berasumsi sendiri, seakan-akan tahu kegiatan apa setelahnya, berangsur menjauh beberapa langkah ke samping. Ntah, karena menyadari perilaku Reira atau alasan lainnya. Tiba-tiba Reira merasa dikejutkan oleh suara laki-laki yang sedari tadi ia amati gerak-geriknya.

“Ah, maaf,” nada tak enak dengan suaranya yang berat terdengar. Dia menghentikan gerak tangannya yang akan menyalakan korek ke ujung rokoknya, lalu menoleh pada Reira, dan mengucap permintaan maaf lagi. “Maaf Mbak, gak bisa kena asap rokok, ya?”

“Salah saya juga sih lagi di tempat umum malah mau ngerokok,” tambahnya dengan senyum kikuk. “Sekali lagi saya minta maaf ya, Mbak.”

Belum sempat Reira bersuara untuk membalas pernyataan maaf laki-laki yang tidak diketahui namanya itu, terlihat buru-buru memasukkan kembali kotak rokok dan koreknya ke dalam saku celana, yang kemudian tangannya digunakan untuk mengangkat barang bawaannya lalu bergegas melangkahkan kakinya lebar pergi meninggalkan Reira yang belum sempat menutup lagi bibirnya yang menganga hendak bersuara.

“Lain kali saja kalau begitu.” Ia kembali terdiam sambil melihat kereta yang lewat di depan matanya. Tangannya yang kosong digunakan untuk merapikan lagi rambutnya yang agak berantakan tertiup angin.

Reira dan laki-laki tadi memang sering bertemu. Lama-lama gadis itu menjadikan menatap wajahnya sebagai kebiasaan. Mereka berdua bertolak belakang, ibarat Sabang, Marauke. Destinasinya tidak pernah searah. Biasanya, jika Reira memiliki jadwal lebih awal dari kantornya, diam-diam ia akan melangkahkan kakinya lambat, mengharap dia masih sempat bertemu, walau sebentar, karena kereta apinya akan jauh lebih cepat datang sesuai tiket pesanan. Sampai detik ini, selain menebak namanya, dia juga sering iseng menebak pekerjaan atau rutinitas laki-laki itu dengan alibi pengangguran, padahal dia memang penasaran. Gerangan apa yang membuatnya selalu mengambil jadwal tiket yang sama setiap harinya. Apa laki-laki itu seorang pekerja kantoran sepertinya? Atau dia seorang mahasiswa yang punya kelas setiap hari di jam yang sama?

Gadis itu terkikik geli. Kelakuannya sekarang tak lebih bisa dibilang sebagai penguntit. Kalau laki-laki berambut mullet itu tau, pastilah dia akan dibawa ke pos terdekat untuk diinterogasi tentang perilakunya yang meresahkan itu. Waktu itu saat pekerjaannya sedang luang, pernah sekali ia menceritakan kegiatan menguntitnya itu pada Dea, teman satu kantornya, yang dibalas tidak masuk akal, katanya, jika itu Reira, mungkin laki-laki mana saja akan senang hati diikuti, malahan mungkin laki-laki itu akan meminta nomornya. Tentu hal itu langsung ditangkis dengan cepat oleh sang punya cerita, tapi, diam-diam, terkadang ia juga berharap demikian. Hanya laki-laki itu saja, mintanya.

Ia segera tersadar dari lamunannya, matanya cepat-cepat melirik jam tangan yang bertengger di lengan. Matanya membulat. Terkejut dia melihat waktu yang berputar cepat. Dengan tergesa, gadis itu membereskan sisa bungkus makanan, membuangnya di tempat sampah, dan cepat-cepat berlari memutar mencari di mana pintu kereta tujuannya. Ah, sial. Kali ini bukan kegiatannya saja yang sekarang membuat susah, isi kepalanya pun ikut-ikutan menyusahkan. Padahal kereta milik laki-laki itu sudah lewat sejak tadi, tapi bayangan suaranya tak bisa hilang⎯⎯⎯bak laju transportasi yang membawanya pergi.

⚉ ⚉ ⚉

Semburat cahaya matahari masih tipis terlihat. Langit masih gelap untuk orang-orang biasa memulai aktivitas paginya, terlebih di stasiun. Reira menutup mulutnya yang menguap lebar dengan punggung tangan, gadis itu tengah berdiri sendiri, sejauh matanya memandang, hanya terlihat beberapa orang yang berlalu lalang di depannya, jika boleh dikatakan jujur, sebenarnya ia tidak begitu peduli. Matanya masih berat, semalam kemarin ia menyelesaikan pekerjaannya dalam sekali duduk di depan laptop. Akibatnya, punggungnya sekarang terasa sakit. Ganjaran apa yang dia dapat hari ini itu, semua salahnya. Satu minggu kemarin dia tidak bisa fokus pada pekerjaannya dan berakhir menumpuk berkas di atas meja. Paginya kali ini hanya bisa ia buat untuk merutuk.

Hari ini masih sama seperti seminggu yang lalu. Laki-laki itu tidak ada. Rutinitasnya memandangi wajah laki-laki perokok dengan rambut mullet itu sudah libur selama seminggu. Kalau kalian menanyakan kenapa Reira tidak fokus bekerja. Inilah jawabannya yang bisa dia berikan. Kepalanya tidak berfungsi kecuali memikirkan di mana laki-laki itu berada, berasumsi liar, semakin hari semakin tidak masuk akal.

Sudah seminggu ini, setiap kereta yang lewat, sejauh matanya memandang selalu dijadikan objek berhitung oleh Reira. Setiap hari, pagi juga sore, berangkat serta pulang, semua itu menggantikan rutinitasnya menatap laki-laki yang biasa menunggu kereta dengannya di dekat pos penjaga.

Tubuhnya terperanjat kaget. Gadis itu kembali dari alam bawah sadarnya. Mari berterima kasih pada pengeras suara. Orang-orang yang bekerja dari pagi sampai larut malam itu butuh diajak makan gratis Reira sekali-sekali. Kalau dulu dia sering mengumpati mereka, tidak dengan satu minggu ini, gadis itu sungguh ingin menciumi tangan mereka satu per satu, mengucapkan kata terima kasih dari lubuk hatinya yang paling dalam. Suara peringatan itu benar bisa membuat Reira lebih mengingat apa tujuannya pergi ke stasiun. Bukan. Bukan bertemu dengan pria yang menari-nari dengan kurang ajarnya seminggu ini di dalam kepalanya, melainkan dia harus menempuh perjalanan menggunakan kereta untuk pergi menafkahi hidupnya yang semakin hari semakin kacau sekarang.

“Mungkin benar kata Dea tempo hari,” gumamnya sendiri sambil menyeret langkahnya berat. “Aku membutuhkan cuti, Tio harus membiarkanku kali ini, Dea harus membantuku untuk menerornya nanti.”

Kakinya masih melangkah, perempuan itu menfokuskan pandangannya pada penunjuk jalan. Walaupun Reira hampir setiap hari kemari, kecuali sabtu dan minggu, gadis itu tak pernah menghafalkan rute yang dilewatinya. Sudah dua atau lima kali mungkin bisa dihitung, dia berusaha mempercayai ingatannya yang kemudian berakhir tersesat dan mendapat omelan Tio sesampainya di kantor karena terlambat. Jika mengingat-ingatnya lagi, Reira hanya ingin kabur saja waktu itu. Bosnya itu, Tio, menyeramkan jika sudah mengamuk. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha kembali dari lamunannya. Langkahnya berhenti tepat di pinggir tanda garis berwarna kuning. Menunggu keretanya berhenti seperti biasa. Dia menguap lagi. Kali ini lebih lebar, matanya sampai berair.

“Aku ini seperti budak tak dibayar,” Reira membicarakan atasannya sendiri. “Selain menuntut cuti, sepertinya aku juga harus menuntut kenaikan gaji, nanti.”

Mencoba menghilangkan rasa bosannya menunggu, gadis itu bicara sendiri. Tak peduli jika orang-orang melihatnya aneh, ia benar tak mengapa. Itu lebih baik daripada harus berdiam dan membiarkan otaknya bekerja tidak-tidak, seperti yang sudah-sudah. Suasana di sekitarnya jadi semakin berisik. Suara mesin kereta api yang sudah dekat di pendengarannya menjadi tanda bahwa sebentar lagi dia dan orang-orang yang sama sepertinya, akan melakukan perjalanan membosankan.

Sekali lihat, Reira tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. pintu terbuka di depan matanya. Kakinya pelan-pelan mulai berjalan, membawa tubuh mungil miliknya, pergi masuk ke dalam gerbong yang sama seperti kesehariannya yang rutin dia jalankan. Setelah berhasil masuk, ia masih harus membawa tubuhnya menyusur lorong gerbong, mencari-cari tempat duduk kosong yang akan menjadi tempatnya menaruh pantat untuk beberapa waktu.

Matanya yang sibuk berkelana menemukan sosok tak asing. Jantungnya seperti berhenti berdebar, membawanya melayang pergi ke surga atau mungkin ke neraka.

“Oh,” sapa pria yang dikenal betul suaranya oleh Reira. “Kebetulan kita satu kereta, ya? Depan saya kosong kok, Mbak, siapatau Mbak belum dapat duduk.”

Pemandangan pria yang tengah tersenyum mempersilahkan Reira duduk di depannya membuat gadis itu salah tingkah. Sial. Reira mengumpati ekspresi wajahnya yang tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Dia membawa pantatnya duduk di tempat kosong, merapikan sedikit bagian dari bajunya yang menurutnya kusut, juga rambutnya yang digerai tak rapi karena tertiup angin. Lagi, dia merutuk, dia menyesali mengapa tadi pagi rambutnya itu tak dia gelung agar rapi terlihat.

“Kita udah ketemu berkali-kali di stasiun tapi gak pernah kenalan ya, Mbak,” laki-laki itu membuka obrolan, sambil memandang Reira yang semakin dibuat salah tingkah.

“Nama saya Jean. Kalau, Mbak?”

Laki-laki itu tersenyum manis. Ralat. Laki-laki itu tersenyum sangat manis. Membuat bulu kuduk Reira merinding seperti sehabis disengat lebah. Gadis itu bersumpah, dia akan merelakan jam tidurnya terbuang untuk dijadikan budak Tio sampai di kantor nanti. Kalau tidak karena atasannya itu membuat jadwal pagi di kantor, mungkin Reira tak akan pernah bertemu dengan pria manis itu selama hidupnya. Sekarang, Reira rasanya ingin menjerit kegirangan.

“Saya Reira,” gadis itu balas sambil tersenyum. “Sendiri aja?”

Ah. Pertanyaan bodoh. Jelas laki-laki itu tidak sendiri. Sejauh apa yang dilihat Reira sekarang. Laki-laki yang baru saja memperkenalkan dirinya itu tengah memangku seorang anak kecil. Mungkin umurnya sekitar dua atau tiga tahun, gadis itu tidak tahu pasti. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Aneh. Perasaannya tidak enak.

“Oh, enggak, Mbak Reira.” Sambil matanya menuntun Reira melihat bocah di pangkuannya, laki-laki itu menjelaskan. “Ini sama anak saya.”

“Seminggu ini saya gak masuk kantor karena anak saya sakit,” lagi dia menjelaskan sesuatu yang tidak ingin didengar Reira. Wajahnya terlihat antusias bercerita. Reira bisa melihat bagaimana dia menyayangi bocah di pangkuannya itu. “Dia ini suka sakit-sakitan kayak saya.”

“Gak mirip sama ibunya sama sekali,” tambahnya sambil tangannya mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. “Mungkin karena waktu itu istri saya benci kali ya lihat saya, jadi keluarnya justru persis seperti saya.”

Jika ditamatkan lagi, Reira baru menyadari kalau bocah di pangkuan laki-laki bernama Jean itu memang persis sekali dengan laki-laki yang jadi lawan bicaranya sekarang. dikiranya anak kecil itu tadi adik dari sang pemuda. Ternyata pikiran positifnya itu hanya bualan khayal.

“Sudah berapa tahun, Mas, umur anaknya?” Senyum Reira tak luntur. Ia mencoba mengimbangi ekspresi dari lawan bicaranya, walaupun sekarang dia merasa sesak tak tertahan.

“Kayaknya, kalau saya gak salah ingat, sekitar dua tahun lebih setengah bulan, Mbak,” katanya dengan malu-malu. “Maaf ya, Mbak, saya suka lupa sama umurnya, soalnya agak panjang ceritanya.”

Gadis itu mengangguk. Pertanyaannya tadi tentu hanya basa-basi saja. Informasi itu tidaklah penting bagi seorang Reira. Karena setahunya, semakin dia banyak mengorek fakta, semakin jauh juga mimpinya bisa senyum-senyum senang.

Suasana jadi hening. Suara mesin kereta api yang mulai beroperasi menjadi awal mula mereka untuk terdiam dan ribut dengan pikirannya masing-masing, terlebih Reira. Di depan, dilihatnya Jean yang tengah menunduk, sambil merengkuh tubuh bocah di pangkuannya, dia mengepalkan tangannya, menutup mata, sambil bibirnya bergumam seperti berdoa, yang mungkin berisi permintaan keselamatan agar sampai dengan selamat. Reira pun melakukan hal yang sama. Permintaannya tidak muluk-muluk. Dalam bait pertama di doanya yang dipanjatkan pada Tuhan. Ia menyampaikan permohonannya, katanya, semoga ia selamat, lahir, dan, batin.

Doanya dilantunkan berkali-kali. Bersamaan dengan kereta yang mulai melaju di atas rel dengan suara dengungnya. Menyembunyikan ringis Reira, bersamaan perasaannya yang lewat, seperti kereta yang biasa ia simak berangkatnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi