Disukai
0
Dilihat
990
JANJI MELATI
Romantis

“Kita bisa membicarakan ini di rumah nanti, Ian.” Aku menanggung rasa maluku di hadapan seluruh temanku yang sekarang sedang diam-diam mulai berbisik mencemoohku.

“Coba aku tebak,” kata kekasihku dengan bibirnya yang naik seperti mengejek, “Kamu masih mau bermain di sini karena ada kekasihmu yang sebelumnya kamu sulit lupa itu, kan?”

“Kalau memang iya, kenapa?” Bukan aku yang bicara. Dia ini mantan kekasihku 5 tahun lalu, wah itu sudah lama, aku bahkan tidak ingat pernah mencintai pria itu dulu.

“Kenapa kamu ikut campur?” tanyaku heran sambil menatap pria di sampingku tajam. “Aku tidak ingat kalau kita punya rasa saling melindungi sekarang.”

“Aku masih ingat waktu aku berjanji untuk memberikanmu pada lelaki yang baik, Rei,” ucapnya percaya diri.

Oh, janji itu … lalu kenapa? Ia sungguh benar-benar menyebalkan.

“Kamu seperti ayahnya,” ujar Ian sinis. “Apa sekarang aku harus meminta izin padamu juga untuk mengajak pulang k-e-k-a-s-i-h-k-u?” dia mengatakannya dengan penekanan.

Aku sedikit meringis mengetahui semakin banyak orang yang mulai mengerubungi kami. Setidaknya, aku mengerti perasaan mereka. Lagi pula, kalau aku berada di sisi mereka, aku pun akan melakukan hal yang sama.

“Itu ide yang bagus.” Laki-laki itu menoleh padaku dan berkata, “Kamu punya kekasih yang pintar sekarang.”

“Bukankah sekarang kamu seperti mengatai dirimu sendiri?” sindirku. Sungguh, aku bahkan sudah muak dengan wajahnya semenjak kami berpisah waktu itu. Apalagi saat membayangkan rentetan jadwal minum obatku juga bertemu dengan psikiater, oh Ya Tuhan … aku ingin dia lenyap sekarang. Ingatan merupakan sesuatu yang aneh. Ada kalanya aku tiba-tiba membayangkan atau mencium harum parfum mantan kekasih-ku saat aku lengah. Begitu sebaliknya, saat aku bertemu dengan kenangan itu sendiri, ada opsi lain untuk aku memutar balik langkahku dan tak menemuinya. Itu terjadi bukan karena aku merasa terkhianati, justru sebab mulanya ada dalam diriku. Aku belum bisa memaafkan diriku sendiri.

“Itu tidak benar, Rei,” balasnya, “sepertinya kamu harus belajar sopan santun lagi kalau mau mendapatkan pekerjaan.”

“Untuk apa aku membicarakan pekerjaan denganmu?” balasku sinis.  Dia ini benar-benar aneh. Bagaimana mungkin aku berbicara sopan dengannya sekarang. Tunggu, bukan begitu maksudku. Tapi aku ini sudah muak dengannya, bahkan aku menunjukkannya secara blak-blakan. Kukira semenjak berpisah denganku, dia benar-benar menghilangkan rasa malu di dalam kamusnya.

“Rei kamu selesaikan urusanmu dengannya di sini.” Kekasihku menghela napas panjang, sambil tangannya memijit pelipisnya, dan berbalik memunggungiku. “Aku akan tunggu di luar.”

Dia pergi dari tempatnya sekarang. Meninggalkanku dengan sosok laki-laki yang tidak pernah sebelumnya kubayangkan untuk bertemu dengannya di sini. Sebelum aku menyetujui untuk pergi ke acara reuni sekolah lamaku, aku sudah melakukan riset besar agar memastikan tidak ada manusia satu itu yang akan menggangguku. Ternyata mereka bohong. Sepertinya, mereka bahkan sengaja mempertemukanku dengannya.

“Halo.” Dia menyapaku.

“Sepertinya aku tidak punya urusan denganmu di sini, Jordan,” ucapku tetap sinis. “Barangkali kau mencari waktu untuk membicarakan soal kita, aku akan meminta maaf lebih dulu.”

“Minta maaf?” Ia mengangkat alisnya.

“Maaf aku tidak punya waktu untuk itu.” Bicaraku sekenaknya sambil mulai berjalan meninggalkannya. Langkahku berhenti tepat saat dia menarik lenganku keras sampai aku hampir jatuh menabrak dadanya. Kami berdua bersitatap sambil tangannya masih mencengkeram lenganku yang mungkin saja permukaan kulitnya sudah mulai memerah.

Dia menatap mataku sendu. “Aku harap kamu punya waktu, Rei.”

“Jangan panggil aku dengan nama itu, Jordan,” balasku. “Itu hanya untuk kekasihku.”

“Tapi, bukankah nama itu aku yang memberinya?”

Hening.

Aku tak berniat menjawab pertanyaannya.  

Bisa kulihat dia menutup dua matanya, lalu menghembuskan napasnya tepat di area sekitar wajahku. Aku ingat bau mint ini, sekilas rentetan peristiwa yang sudah aku kubur dalam-dalam jauh di dasar kepalaku mulai kembali berusaha naik ke atas. Mataku mulai basah. Tubuhku gemetar ketakutan seperti bertemu dengan hantu di dekat pohon pisang. Sepertinya, besok aku harus menemui psikiaterku lagi untuk menceritakan kejadian malam ini.

“Aku benar-benar tidak perlu lagi pembicaraan ini, Jordan,” desakku, “Kamu boleh melepaskan tanganmu dari lenganku dan membiarkanku pergi dari sini.”

“Kalau begitu kenapa kamu menghindariku?” tanyanya.

“Aku hanya tidak mau kekasihku cemburu melihat aku bertemu denganmu.”

“Apa dia tahu kalau kamu mencintaiku?”

Bibirku merapat. Bukan karena aku sengaja membungkamnya, ini jauh lebih buruk dari dugaanku. Dia menarik tengkukku. Tubuh kami berdempetan begitu juga dengan bibir kami yang sudah melekat satu sama lain. Ada rasa asin yang masuk lewat sela bibir kami yang terbuka. Kamu bisa membayangkan berapa banyak air mata yang membasahi wajahku sekarang.

Aku melepaskan ciuman kami. Dia membuka matanya, memandangiku lekat, lalu menciumi lagi bibirku beberapa kali. Aku persis seperti orang bodoh.

“Apa kamu merasakannya?” tanyanya.

Aku diam saja tak menjawab. Tanganku mendorong tubuhnya agar melebarkan jarak kami. Dia menatapku tajam. “Kenapa kamu mendorongku?

“Kenapa kamu menangis?”

Dua pertanyaan itu lolos begitu saja lewat bibirnya. Aku memandangnya jijik, ini sudah tahun ke 5 aku tak menemuinya sama sekali. Tapi, kenapa? Kenapa aku harus bertemu lagi dengan pria macam ini.

“Masihkah kamu punya keberanian untuk bertanya?” balasku sengit.

“Bukankah kita berjanji untuk mengatakan sejujurnya satu sama lain?”

“Bisakah kamu diam?” Mataku menatapnya tajam. Tak pernah ku sangka sebelumnya kalau hari di mana ia datang lagi dalam hidupku akan benar-benar membuatku kecewa setengah mati karena sudah mengenalnya. “Bukankah kamu tidak berhak untuk mengungkit janji-janjimu itu di depanku?”

“Itu janji kita, Jordan.” Koreksinya yang semakin membuatku muak.

Aku kesal. Kujauhkan tubuhnya dengan paksa. Mataku menyorot tajam padanya. “Jangan pernah menggangguku lagi,” ucapku, “Kalau kau percaya masih ada rasa malu dalam dirimu.”

“Aku tahu kamu tidak akan berpaling, Rei,” ucapnya tiba-tiba.

Aku menghentikan langkah kakiku tanpa berbalik menatapnya. Kudengarkan dengan terpaksa setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.

“Aku tahu kalau janji kita akan terus abadi sampai nanti.”

“Setidaknya, itu yang menjadi percayaku sampai sekarang,” dia melanjutkan sebelum menyudahi pembicaraan kami, “Karena sebelum kita berpisah, waktu itu kita sudah terlanjur abadi.”

Janji-janji abadi ini benar-benar dibuat untuk mempermainkanku.

Abadi katanya? Kepercayaan mana yang dia gadaikan sekarang? Delusi mana yang dia buat untuk membela dirinya agar tidak terlihat bersalah?

Lalu apa katanya tadi? Aku berpaling? Tentu saja! Aku bahkan sudah benar-benar melupakannya. Urusan kita sudah selesai. Tidak ada janji yang bisa diungkitnya sekarang. Itu semua berkat ia menodai janjinya sendiri.

Janji untuk saling jujur? Janji abadi?

Omong kosong. Dia bahkan tidak bisa jujur pada perasaannya sendiri saat mengambil keputusan untuk berpisah denganku.

Sebenarnya, janji mana yang dia ungkit sekarang?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi