Disukai
0
Dilihat
1,159
Karmini Karmila
Drama

Bulat matanya sama dengan mataku. Rambut hitam sepundak kami sama lebatnya. Hidung mancungnya pun aku miliki. Begitu juga lekuk bibir kami yang selalu membentuk senyuman. Sepuluh tahun berpisah, aku kira aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Tapi, di sinilah dia. Berhadap-hadapan dengan pandangan yang sejajar terhadapku.

“Karmini?” tanyaku. Bukan karena tidak yakin dia adalah kembaranku, melainkan tidak percaya adikku itu muncul di pintu rumahku malam itu.

“Aku tahu alamatmu dari Kang Yasin,” ungkapnya.

Aku mengangguk-angguk. Kang Yasin adalah tetangga di kampungku dulu. Dia bekerja sebagai buruh serabutan. Dan tiga bulan lalu, tidak sengaja aku bertemu dengannya sedang mengangkut pasir di sebuah gedung setengah jadi. Aku memang memberikan alamatku kepadanya karena Kang Yasin bilang keluargaku di kampung sedang kesusahan, terutama ibuku.

Aku teringat harapanku ketika menyerahkan alamat lengkapku kepada Kang Yasin. Aku ingin ibulah yang mendatangiku. “Ibuk? Ibuk apa kabar?”

Tanpa peringatan apa-apa, Karmini menubrukku. Adikku itu mengalungi lengannya pada leherku. Seketika, air mata membasahi bahuku. “Ibuk sudah tidak ada, Mila,” tangisnya.

Berpisah sepuluh tahun dari keluarganya bukan waktu yang sebentar. Tapi, rasa sayang dan rinduku kepada Ibuk tidak pernah berkurang. Tak pelak, kabar yang aku dapatkan membuat jantungku mencelus sampai ke kaki. Betapa durhakanya aku. Tidak sekalipun sempat berbakti kepada wanita yang melahirkanku itu. Mengingat itu, penglihatanku seketika tergenang oleh air mata yang menunggu untuk meluncur ke pipiku.

***

Kedatangan Karmini memberikan banyak cerita. Soal Bapak yang masih sama seperti dahulu. Penuh amarah dan kerap menyakiti Ibu; tidak hanya fisik namun sampai ke hati. Tentang Ibuk yang tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Menganggap apa yang terjadi kepadanya adalah takdir yang harus ia patuhi dan terima. Menurut Karmini, perilaku bapak mereka itu agak berbeda sepeninggal Ibuk. Setiap pagi, Bapak sudah keluar rumah. Ada tetangga yang melapor kalau bapak mereka itu menyambangi kuburan Ibuk. Baru menjelang sore dia pulang. Tapi, setelah itu dihabiskannya dengan meminum air nira sambil menangis tersedu-sedu. Begitu terus setiap hari.

“Kalau kau sendiri, Mini? Apa kabarmu?” Mini adalah panggilan kecil terhadap adikku itu.

Pertanyaanku itu tidak langsung dijawab. Mata bulatnya yang serupa denganku menunduk. Aku jadi tidak bisa menebak raut wajahnya. Oleh sebab itu, dengan sabar aku menunggu.

Sebelum menjawab, Karmini menyesap teh yang aku siapkan tadi. Setelah meletakkan gelas, dia menjawab, “Aku menikah dengan Pakde Yanto.”

Aku tersentak. Tapi, aku tidak berbuat apa-apa. Paling-paling hanya menelan ludah. Dari dulu, aku memang bukan orang yang ekspresif. Lebih sering diam. Namun, bukan berarti menyerah. Itu karena aku akan menyusun strategi demi menyelesaikan masalah. Aku jadi teringat peristiwa sepuluh tahun yang lalu yang memicuku untuk kabur dari rumah.

Pada usia tujuh belas tahun, selepas lulus SMA, akulah yang dijodohkan dengan Pakde Yanto. Mana mungkin aku mau dengan laki-laki yang usianya tiga kali lipat dari usiaku? Apalagi, saat itu aku dipenuhi oleh mimpi-mimpi besarku sendiri. Memiliki penghasilan sendiri, entahlah dengan cara apa.

Dari bibir Karmini, meluncurlah seluruh kisah hidupnya. Menggantikan kakaknya, yaitu aku, menjadi istri Pakde Yanto. Tapi, tidak sampai setahun, dia sudah diceraikan. Alasannya karena Karmini sudah tidak lagi perawan. Adikku tidak menjelaskan apakah tuduhan itu benar. Tapi, sekalipun memang begitu, bukanlah seharusnya digunakan sebagai alasan untuk menceraikan seseorang. Meskipun dituding dan dipergunjingkan, masih ada laki-laki yang mau mengawininya. Dia pun menikah. Malangnya, suami kedua Karmini meninggal dunia. Dengan suami ketiganya, Karmini juga belum menemukan kebahagiaan. Pasalnya, suami adikku itu ditangkap dan dipenjara pada tahun ketiga perkawinan mereka. Semakin saja kembaranku itu dicap sebagai wanita pembawa sial.

Walaupun pernikahannya gagal, Karmini tidak kapok. Di usia ke-25, adikku itu menikah lagi. Apakah akhirnya kebahagian dapat dia raih? Boro-boro, suami keempatnya adalah seorang bajingan. Seperti ayah mereka, Karmini dijadikan sasaran apabila keinginan laki-laki itu tidak terlaksana. Lupa memasak air panas untuk mandi, tamparan keras akan didapatkannya. Tidak menyiapkan kopi hitam, tendangan di punggung kembaran adikku yang menjadi balasan. Karmini menerima saja siksaan itu. Menganggap itu adalah takdir dan hukuman yang pantas.

“Bagaimana dengan kau, Kak? Apa kau telah menikah?” tanya Karmini mengubah pembicaraan. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya walaupun sepanjang hidup dia menderita. Atau apakah itu karena kami dianugerahi lekuk bibir sempurna yang selalu terlihat bahagia?

Aku menggeleng. Tidak seperti kembaranku, menikah bukanlah prioritasku dalam hidup. Jadi, semenjak kabur dari kampung ke kota Jakarta ini, hanya bekerja dan bekerjalah yang aku lakukan. Berbagai macam pekerjaan telah aku jalani; sampai akhirnya aku mampu membuka warung makan kecil di depan rumah kontrakanku.

Kemudian, aku melanjutkan cerita, “Menunya sederhana saja. Sayur bayam, urap, tempe oreg, opor ayam, ikan pesmol, semur telur, dan rendang jengkol.”

“Semuanya makanan kesukaan Ibuk,” kata Mini.

Aku tersenyum lalu mengangguk. Kenangan tatkala aku dan adikku membantu ibu memasak berkenala di pikiranku. Dengan lembut, Ibuk mengajarkan cara mengulek bumbu dan menumis sayuran. Ilmu memasak dari Ibuk juga yang menyelamatkanku dari berbagai macam pekerjaan keras cenderung tidak manusiawi yang aku lakoni sebelumnya. Dengan membuka warung makan, setidaknya aku tidak akan bingung apakah bisa makan atau tidak setiap hari.

Bertukar kisah tidak terasa membuat kami terjaga sampai larut malam. Sewaktu menyaksikan mata Karmini sudah terkantuk-kantuk, aku menyuruhnya tidur. Aku sendiri belum bisa memejamkan mata. Bukan karena ada yang harus aku kerjakan, melainkan peristiwa masa lalu yang membayang terus di kepalaku. Segala detailnya, semua sukanya, dan seluruh duka berikut kesakitannya. Mengingat itu, sosok Ibuk yang selalu tersenyum mampir di labirin otakku. Ibuk yang menyuruh aku dan kembaranku bermain ke rumah tetangga apabila Bapak pulang dengan mata merah. Ibuk yang menjadi tameng sewaktu Bapak hendak memukuliku gara-gara menolak dijodohkan. Aku masih ingat hempasan badan Ibuk menubruk aku yang bersembunyi di belakangnya. Sekeras itu Bapak menyakiti Ibuk. Sekuat itu Ibuk melindungiku.

Sekarang, Ibu sudah tidak ada. Tanpa aku sempat berbakti kepadanya. Tanpa aku bisa berganti peran menjadi pelindungnya. Tanpa aku mampu berbagi sejumput kebahagiaanku bersamanya. Tanpa terasa air mata mengalir perlahan di pipiku. Air mata yang sedari tadi aku tahan pun bercucuran tanpa aku bisa tahan. Ibuk, begitu aku bergumam sampai jatuh ketiduran.

***

Paginya, aku dibangunkan oleh suara-suara. Tak bisa kutebak apakah itu percakapan atau kegaduhan. Mencurigai ada masalah, segera aku bangkit berdiri. Ternyata, keramaian itu dari warung makan yang terletak di teras depan. Melihat jam di dinding, aku tertegun. Sudah pukul 11 siang rupanya. Aku kesiangan.

Segera aku bermaksud menuju halaman depan. Tapi, langkahku terhenti.

“Mbak Mila, tambahin kuahnya, dong!”

“Iya, Mas. Sebentar, ya,” sahut Karmini.

Para pelanggan warung menyangka yang melayani mereka saat itu adalah aku, Karmila, bukannya adikku, Karmini. Akhirnya, aku putuskan untuk mengintip terlebih dahulu. Kembaranku terlihat luwes bergerak ke sana ke mari mengambilkan pesanan pembeli. Tidak seperti aku yang biasanya lebih banyak diam, adikku mengajak mereka mengobrol dan sesekali melontarkan guyonan. Suara riuh rendah penuh tawa pun kerap terdengar. Menyaksikan Karmini yang penuh senyum mengingatkanku kepada sebuah sosok. “Ibuk,” bisikku pelan.

***

“Jadi, bagaimana Mini? Kau setuju?” tanyaku malam itu. Karmini yang duduk di hadapanku meremas-remas tangannya. Kentara sekali kalau adikku itu bingung dan ragu-ragu.

“Aku hanya ingin memberikannya pelajaran. Setelah semuanya selesai, aku akan kembali ke sini. Kita berdua akan hidup bahagia. Selamanya.”

“Tapi, aku sudah di sini, Mila,” jawab kembaranku. “Apa perlunya kembali ke kampung?”

Sangat perlu, batinku. Demi Ibuk. Rencana itu muncul begitu saja di kepalaku tatkala melihat Karmini yang disangka sebagai aku. Seketika aku tahu bagaimana caranya berbakti kepada Ibuk. Membalas jasa-jasa wanita suci yang selalu melindungiku seumur hidupnya itu. Ibuk memang sudah tidak ada di dunia ini. Tapi, lewat Karmini aku bisa membayar pengabdianku. Aku akan melakukan perhitungan kepada laki-laki yang telah menghancurkan Karmini. Akan aku buat suami kembaranku itu memohon ampun karena kebiadabannya terhadap adikku. Bapak juga tidak akan luput dariku. Dia akan mendapat ganjaran karena telah menyakiti dan menyusahkan Ibuk sepanjang hidupnya. Saat itu, aku bersyukur telah melewati masa-masa sulit dalam hidupku. Dengan begitu, aku tahu berbagai trik dan strategi untuk menghukum orang-orang jahat.

Aku mendekati kembaranku. Menumpangkan tanganku di atas tangannya, lalu berkata, “Kau tidak mau suamimu mencari-carimu, bukan? Ingat, ada Kang Yasin yang mengetahui alamat ini.”

“Kalau begitu, kita pindah.”

“Tetap saja, pencarian itu tidak akan berhenti,” sanggahku. “Kalau kau mau semuanya selesai, kau harus menyetujui rencanaku.”

“Tapi, apa yang akan kau lakukan?” tanya kembaranku. Aku duga hitam pupilnya adalah terjemahan dari sebuah ketakutan.

Aku mengusap-usap tangannya. Menenangkannya. “Hanya supaya suamimu menceraikanmu, Mini. Agar tidak lagi hidup kita terkait dengan kampung itu.”

“Setelah itu, kau akan kembali ke sini?”

Aku mengangguk. Kembaranku membalas remasan tanganku. Dia memandangiku. Bola matanya tak lagi penuh ketakutan, tetapi berbinar akan semangat dan harapan, setidaknya itu yang aku pikirkan.

“Kapan kau berangkat?”

“Sekarang. Ketika semua warga sudah terlelap. Agar mereka tidak menyadari bahwa ada dua Karmila di kompleks ini.”

Kembaranku manggut-manggut. Sedetik kemudian, dia membantu membereskan barang-barangnya. Tidak memerlukan waktu lama karena hanya ada satu tas berukuran sedang. Aku berganti baju dengan salah satu milik Karmini. Menata rambut yang biasa tergerai dengan cepol mungil seperti kembaranku. Terakhir, memakai sandal yang sebelumnya dia pakai saat menuju ke rumahku.

“Sampai jumpa, Karmini!” kata kembaranku di ujung pintu depan rumahku.

“Sampai jumpa, Karmila!” jawabku seraya melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi