Disukai
1
Dilihat
981
KARBAK 85
Slice of Life

Aku bahagia bisa tinggal di gang yang dihuni dari berbagai suku, agama dan ras. Meskipun ada saja pasal (masalah) kutemui di gang rumahku, tapi kami semua hidup rukun dan damai serta saling menolong. Nama gangku karbak dan kisah ini terjadi di tahun 85-an, dimana serial little house on the prairie, oshin dan serial unyil jadi tontonan favorit. Gang tempatku tinggal tidak terlalu kecil hingga mobil bisa lewat dengan panjang hingga lebih 1 km. Di ujung depan gang, ada jalan besar dua arah yang terdapat bangunan hotel, ruko dan supermarket. Sementara diujung belakang gang terdapat jalan raya juga tapi satu arah dengan beberapa bangunan kampus dan sekolah. Jadi bisa dibilang daerah tempatku tinggal adalah lokasi strategis di tengah kota, meski dalam gang rumahnya rapat-rapat.

Aku ingat kalau bahan sembako di rumah habis, maka mamak akan menyuruhku dan adikku untuk cash-bon dulu ke toko sembako orang china di gang depan rumah namanya Ko Arthur. Jadi ingat film cek toko sebelahnya Ko Ernest. Kebetulan Ko Arthur teman dekatnya Bang Wawan yaitu sama-sama satu kampus di fakultas ekonomi. Kadang bergantian kakak sama abangku yang disuruh ngutang dulu dimana akan dibayar setelah Bang Wawan mengirimkan uang gaji setiap bulannya. Bermodalkan list catatan bahan pokok yang dibutuhkan, aku pun dengan rasa cemas dan sedikit malu pergi ke toko. Cemas nanti kalau yang melayani bukan Ko Arthur gimana? Takut tidak dilayani dan tak dikasih hutang lagi. Kalau yang melayani Ko Arthur aku lega karena orangnya sangat baik dan ramah. Koko Arthur akan langsung menyuruh karyawannya segera mengambilkan bahan sembako pesananku seperti beras, minyak, susu, telur dan lainnya.

"Ini adik si Wawan dilayani dulu,"ucapnya sambil tersenyum ramah padaku.

Maka aku akan bernafas lega dan pulang dengan perasaan bahagia karena telah terlepas dari beban.

Selain Ko Arthur tetangga gang kami bernama Pingping dan Meimei adalah satu-satunya orang China yang ada dalam gang. Mereka adalah teman sepermainan kakakku Upi dan Ida. Cuma kalau mau bermain ke rumahnya harus mengintip dulu apakah anjingnya ada. Biasanya Pingping dan saudara kembarnya Meimei akan mengunci anjingnya di kamar belakang, agar kakakku dan teman lainnya bisa masuk. Kalau pas imlek, keluarga Pingping akan membagikan kue imlek seperti kue bakul dan kue raya mereka ke tetangga. Kakakku juga suka diajak naik mobil bersama Pingping ke sekolah. Keluarga Pingping memang sangat baik pada warga gang kami. Jadi semua warga senang pada mereka meski dari ras yang berbeda. Kita hidup harmonis dan saling menghormati satu sama lainnya.

Mirisnya kadang dari ras sendiri malah tidak saling menghormati dan sering tidak akur. Contohnya keluarga Wak Amara orang Indonesia yang sering berantem dengan tetangga hanya masalah sepele yaitu anak. Jadi bila anaknya kesenggol dikit, maka Wak Amara akan langsung melabrak anak tetangga. Padahal anak Wak Amara sendiri yang sering memulai duluan cari masalah hingga sering adu mulut dan adu hantam dengan anak gang kami. Kata lainnya satu keluarga Wak Amara berdarah panas alias gampang emosinya mendidih bila tersulut atau tersenggol. Makanya kami kudu menahan sabar ketika kesulitan air dan harus beli air pam keluarga Wak Amara dengan memasang selang air dari rumahnya. Lepas atau bocor sedikit selang kami, Wak Amara langsung berteriak marah. Sabar…sabar…, ucap mamakku.

Selain orang China, banyak juga warga keturunan India di daerah kami. Cuma bedanya mereka tinggal di perkampungan tersendiri namanya kampung keling yang berganti nama kampung madras, demi menghormati mereka dengan tidak menyebut keleng yang artinya hitam. Nah, orang yang sering dipanggil nama warga orang keling ini sehari-hari ada yang berjualan jajanan berupa cenil dan putu mayong, yaitu kue dari tepung beras yang diolah sedemikian rupa dan dikukus sehingga bentuknya seperti gumpalan bihun. Biasanya dihidangkan bersama cenil dan gula aren yang dicairkan. Jualannya dipikul memakai tampah yang dilapisi lembaran pisang dan sering lewat di gang kami. Ada juga yang jualan susu keliling pakai sepeda namanya susu menggali. Penjualnya rata-rata memakai sorban putih yang dililit di kepala. 

Tapi ada pengalaman lucu sekaligus bikin aku kesal kalau Mamah (panggilan orang keling penjual cenil) lewat di gang kami. Maka spontan anak-anak gang meneriaki aku,

"Ujanni, itu mamakmu datang, hahahaha."

Aku yang bete dan malu dipanggil Manjula langsung lari ngumpet di kamar. Jadi Ujanni ini sebenarnya nama anaknya si penjual cenil. Kata si mamah penjual cenil anaknya memang mirip denganku, hitam, rambutnya agak keriting dan mancung. Jadilah anak gang seringnya memanggilku,

 "Hei Ujanni!" Bukan Sky namaku. 

Memang kulitku tambah hitam karena sering bermain walau panas di siang hari. Bahkan penjual susu yang orang menggali itu suka senyum-senyum bila melihatku.

"Mau gak nikah sama anakku," ucap si menggali. 

Alamak, aku kan masih bau kencur dan bermain juga masih sering gak pakai sandal. Aya-aya wae si menggali. 

Masa kecilku adalah masa yang sangat indah dan penuh keriangan, sebab lebih banyak kuhabiskan dengan bermain bersama teman-temanku. Menurut psikolog, bermain adalah kebutuhan utama bagi anak-anak di masa pertumbuhannya, yang bila terenggut akan membuat anak tersiksa. Jadi, betapa bahagianya aku yang bisa bermain tanpa batasan. Berbagai jenis permainan anak-anak di tahun 90-an sudah kurasakan. Mulai dari bermain masak-masakan, lompat tali, patok lele, gundu, petak umpet dan lainnya.  

Temanku juga berasal dari berbagai suku dan karakter. Sehingga banyak pengalaman yang kudapatkan dari interaksi dengan mereka. Kata lainnya, aku tengah mencari bahagiaku lewat bermain. Walau aku tak selalu merasa bahagia dalam bermain akibat sesekali di bully. Seringnya dilakukan oleh Ana si penguasa, sekaligus bos bagi kami kala bermain.

Ana yang orang Melayu memiliki tubuh yang tinggi dan kurus, tapi tenaganya kuat karena banyak makan. Berbeda denganku yang kurus namun malas makan. Ada lagi temanku, Tini yang orang Padang, badannya berisi dan tubuhnya seksi. Sedari kecil Tini sudah terlihat lebih genit dari kami dan rajin berdandan. Tini hanya malas kalau disuruh beberes rumah seperti cuci piring atau menyapu. Sedangkan Wiwik orang Mandailing sangat rajin tapi berwajah pas-pasan dan agak perhitungan soal uang. Hingga sering kami ejek 'Mandailing Polit." saat berantem.

Tapi kalau berkelahi sama Ana, pasti deh nggak bisa menang karena dia tenaganya banyak. Mana tulangnya keras lagi, jadi sakit banget kalau berkelahi dengan Ana. Kayaknya makanan Ana lari ke tulangnya semua deh. Enggak enaknya kalau pas Ana mengajak kami mencuri Mangga atau Jambu. Padahal aku takut dosa karena mencuri. Sebagaimana ceramah yang sering kudengar, haram kata pak ustad dan guru mengaji, kalau makan hasil curian. Masalahnya anak-anak takut sama Ana, termasuk aku karena Ana ketua geng kami. Semua omongannya harus kami turuti, sebab kalau melawan bakal di es-ke-te-in deh alias enggak ditemenin. 

Kalau sudah nggak ditemenin otomatis tidak boleh ikut bermain. Rasanya ngiler dan tidak enak banget melihat anak-anak lain bermain, tapi aku nggak boleh ikutan. Cuma mengintip dari jendela dan dengar suara riang bermain mereka saja. Padahal Ana selalu punya ide mengajak bermain yang seru dan asyik. Entah itu main masak-masakan di rumahnya. Main bola kasti dan battalion. Itu lho batu bata yang disusun-susun. Siapa yang kalah harus jaga dan menyusun batu bata. Pokoknya seru deh kalau ikut si Ana bermain. 

Buat yang masa kecilnya tahun 80-90 an pasti tahu. Sementara anak yang lain cepat-cepat sembunyi biar nggak gampang ditemukan saat dicari. Atau main patok lele dan kuaci. Bukan kuaci yang bisa dimakan dari biji matahari ya. Permainan kuaci yaitu benda yang bentuk gambarnya terbuat dari plastik berukuran kecil dan berwarna warni. Ada gambar orang, rumah, perabot dapur, dan banyak lagi. Yang bermain harus dua orang, caranya dibuat garis pembatas lalu kwaci disebar dan dipatuk pake gaconya. Bila keluar garis berarti menang. Juga permainan seru lainnya yang ada saja idenya di kepala Ana. Herannya, kok kami mau-mau saja waktu itu diperintah oleh Ana. 

Kalo ingat masa itu, aku jadi kangen permainan masa kecil. Permainan yang sarat makna dan masih terjalinnya interaksi sosial yang nyata bukan maya seperti gadget. Selain itu adanya bonding emosional yang kuat dengan sesama teman yang ikut bermain. Serta kerjasama dan sportifitas dalam permainan. Bandingkan dengan zaman sekarang yang mulai terkikis dengan kemajuan arus gelombang teknologi. Anak-anak usia balita saja sudah dikasih gadget oleh orang tuanya. Kembali lagi ke cerita Ana yang mengajak mencuri Mangga dekat masjid. Aku yang mengalami konflik batin, akhirnya memberanikan diri menolak ajakan Ana mencuri buah di halaman rumah orang.

“Ana, kata guru mengaji mencuri itu dosa. Gue nggak mau ikutan.”

“Alah! Sok alim kali kau Sky!"

Aku tetap menolak ajakan Ana dan gengnya.

“Ya sudah kita es-ke-te-in saja!” 

 Meskipun nggak ditemenin, aku tetap memegang prinsip untuk nggak mau diajak mencuri jambu atau mangga. Meskipun hati ini tersiksa banget nggak bisa ikutan main walaupun sehari. Mamak malah senang melihat aku di rumah terus beberapa hari, enggak lagi keluyuran sampai lupa pulang. Nah, kalau sudah di es-ke-te-in alias diboikot Ana, dia akan mencegat anak yang dimusuhi ketika lewat, salah satunya aku. Pokoknya jadi ciut kalau keluar rumah. Harus lihat dulu dari jauh ada Ana dan gengnya enggak ya? Takut dicegat.

Apalagi Ana pasti dapat dukungan kuat dari teman-teman yang akhirnya ikutan musuhin juga. Soalnya kalau nggak nurut bakal di es-ke-te-in juga sama dia. Pokoknya enggak ada kata takut dalam kamus Ana, meskipun lawannya lebih gede dari dia. Cuma satu yang Ana takutin, bapaknya yang guru mengaji. Kalau lagi belajar mengaji sama bapaknya, barulah kita bisa lihat Ana nangis kejer akibat dibentak dan dihajar. Soalnya walau sudah diajarin, Ana enggak bisa-bisa juga baca Qur-annya. Kesabaran bapaknya Ana suka habis hingga membentak-bentak Anak. Modusnya Ana mau mengajakku kembali berdamai kalau pas ada maunya yaitu minta dibuatkan pe-er matematika, sebab walaupun kuat diantara kami, tapi kecerdasan Ana jauh dibawah kami.

Aku bahagia karena memiliki banyak saudara, jadi tidak kesepian. Abangku ada 7 tapi satu sudah meninggal saat masih SMP. Sedangkan kakakku ada 2 dan adikku 1 laki-laki. Makanya kami tidur selalu berdempetan saking ramenya. Oleh mamak, akhirnya dibikin tempat tidur bertingkat biar tidak ada lagi yang tidur di kaki. Dimana resikonya bisa ketendang-tendang apalagi aku tidurnya lasak. Alhamdulilah setelah aku kelas 6 SD, ada rejeki dari kerabat bapak yang memberi dana untuk membangun rumah kami menjadi dua lantai. Selain itu satu persatu abang dan kakakku mulai bekerja setamat SMA. Kami tidak terlalu kekurangan lagi tapi cukup dan listrik juga tidak pernah diputus lagi oleh PLN karena selalu menunggak. Tak heran kami juga pernah makan sambil gelap-gelapan, tapi tetap saja seru kurasakan.

Kata mamak sebenarnya uang untuk membangun rumah adalah biaya untuk memberangkatkan bapak naik haji. Namun bapak memilih uangnya untuk membuat rumah bertingkat untuk kami dan menguburkan impiannya yang sudah lama untuk berangkat haji, karena yang lebih penting menurut bapak adalah memberikan rumah yang layak untuk keluarganya. Aku sampai berkaca-kaca karena terharu mendengarnya. 

Seru itu pas makan bareng walau lauknya sederhana hanya berupa telur sambal atau telur dadar. Bahkan saking susahnya kami pernah makan hanya berlauk garam dan sedikit minyak goreng biar lebih lemak kata nenekku. Tapi herannya nasi racikan nenek rasanya nikmat sekali, hingga saya makannya bertambah-tambah walau hanya pakai garam ditambah sedikit minyak jelantah. Apa karena sudah dijampi-jampi oleh nenek? Eits! Jangan suudzon dulu. Jampi-jampi nenekku bukanlah sejenis sihir atau pelet agar rasanya lebih enak. Nenek hanya membacakan doa-doa yang diambil dari Al-Qur’an. Mungkin disitulah letak berkahnya. Memang bicara soal gizi tidak memenuhi standar. Tapi bila bergizi juga kalau dari hasil mencuri misalnya, berkahnya tidak ada. Idealnya sih yang kita makan haruslah bergizi dan berkah. Satu hal yang tak pernah kulupa ketika mamak suka menyuruhku membeli kuah sayur lontong di tempat si Ana bila dirumah tidak ada yang bisa dimasak. Ibunya si Ana memang satu-satunya penjual lontong di gang kami. Malesnya itu si Ana jadi punya kesempatan untuk membullyku lagi.

"Sky, sayurnya sudah habis tinggal kuahnya aja. Nih, aku kasih murah. Gimana mau sekolah dan kost di Yogya kamu, Sky makannya saja sanggupnya cuma pakai kuah lontong," ucapnya dengan nada mengejek sambil tertawa. Makjleb banget kan? Walau sakit hati, tapi aku berusaha tak memperdulikan ejekan Ana. Dalam hati aku cuma bisa membatin, "Lihat saja nanti, Ana. Kalau aku nanti pasti bisa sekolah ke Yogya."

Jadilah kami benar-benar makan nasi hanya dengan kuah lontongnya saja waktu itu.

Bukan hanya Ana saja yang suka cari pasal (masalah) di gang kami. Tapi ada tetangga kami Bu Shinta yang dikenal suka bikin pasal (masalah) dan tak mau kalah dalam hal pamer harta. Makanya kalau ada yang baru beli barang bagus, akan mendadak tidak dicakapi (dalam bahasa Medan didiamkan alias tidak ditegur) Lalu tak lama kemudian akan ikutan membeli barang serupa. Misalnya ada yang baru beli kulkas baru, maka Bu Shinta akan segera beli kulkas juga yang lebih bagus, walau sudah punya kulkas di rumah. Pokoknya tidak mau dikalahkan dalam soal kekayaan. Tapi yang bikin keluargaku kesal, Bu Shinta ini kalau lagi latihan senam di rumahnya bersama teman-teman sosialitanya, suara musik senam akan ia setel sekencang-kencangnya. Bikin berisik dan mengganggu sekali karena kami tetangga yang pas ada di samping rumahnya. Pokoknya mengalahkan suara tetangga depan rumah kami yang orang batak ketika bernyanyi dengan suara tinggi sambil bermain musik. Belum lagi si Ferdi tetangga yang tak jauh dari rumahku, bila sedang patah hati pasti setel lagu galau malaysia dengan volume cukup tinggi. Salah satunya lagu band UKS cinta itu buta.

  "Jika benar cinta itu butaaa, butakah hatikuuu. Berkali-kali terluka masih juga kumenunggu."

Alamak! Udah kayak pasar malam. 

Aku ingat suatu hari Bu Shinta mengajak abang-abangku untuk menghadiri sebuah acara dengan imbalan uang. Aku yang waktu itu masih sekolah kelas 4 di SD negeri tidak ikut. Bayarannya lumayanlah buat uang jajan. Abangku dan anak-anak di gang kami yang masih duduk di bangku kelas 6 SD hingga SMP pun tergiur. Tapi dengan syarat kalau nanti ditanya sama yang memberi sumbangan, mereka harus mengaku sudah yatim piatu. What? Tentu saja aku bingung mendengar penjelasan abang-abangku setelah selesai acara. Soalnya bapak dan mamak kan masih hidup, kok abang-abangku disuruh mengaku sebagai anak yatim. Itu sama saja mendoakan orang tua kami meninggal dunia. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang orangtuanya masih hidup, pikirku. 

Awalnya Bu Shinta yang mengaku mempunyai sebuah yayasan anak yatim (padahal yayasannya tak pernah ada hanya tertulis di banner besar-besar yang dipasang di depan rumahnya) mengajak anak-anak gang untuk ikut memeriahkan acara yang diselenggarakan. Tapi ternyata itu sebuah acara untuk memungut amal atau sumbangan dari para pemilik dana. Nah, agar pemberi sumbangan percaya, dia meminta anak-anak yang hadir untuk mengaku sebagai anak yatim di yayasan fiktifnya. Berhubung sudah terlanjur hadir dan dapat upah, anak yang masih memiliki orangtua seperti abang-abangku dan temannya pun terpaksa berbohong. Yah, namanya juga anak-anak yang masih polos ditambah iming-iming uang jajan lagi. Jadi status mereka hanyalah anak yatim fiktif, karena aslinya masih punya orangtua. 

Para orang tua termasuk mamak pun tidak pernah tahu dan curiga waktu itu. Apalagi anak-anak gang kami termasuk abang-abangku hanya berkata diundang oleh Bu Shinta dan dapat duit. Namun setelah kejadian itu, anak-anak gang kami oleh para orangtuanya dilarang untuk ikut bila diundang lagi. Herannya yayasan fiktif Bu Shinta masih tetap ada meski hanya tertulis di depan rumahnya. Mungkin dia mengajak anak-anak gang lain ketika meminta sumbangan lagi. Herannya tidak ada warga yang berani melaporkannya ke polisi. Jadi dibiarkan saja selama tidak merugikan warga. Entahlah!

Itu baru soal pemalsuan status dan kebisingan yang mengganggu keluargaku, belum lagi soal pencurian tanah oleh keluarga Bu Shinta. Jadi ceritanya keluarga Bu Shinta baru beli mobil dan tidak punya garasi. Tanpa merasa bersalah tanah di depan rumahnya yang merupakan jalan umum, langsung mereka aspal buat parkir mobilnya. Hal ini tentu saja memakan jalan umum hingga jalanan yang dilalui warga menjadi kian sempit karena sudah berkurang lebarnya akibat diambil. Tapi herannya lagi-lagi tidak ada yang berani protes, apa karena bekingnya Bu Shinta kuat. Lalu sebelnya itu Bu Shinta yang belum merasa puas, diam-diam malah mengambil tanah samping rumah kami. Untuk memperlebar rumahnya, Bu Shinta tanpa merasa bersalah menyemen tanah samping rumah kami yang tadinya masih berupa tanah kemudian dia bikin pagar. Masih belum puas juga, Bu Shinta lalu memperluas rumahnya dengan mengambil tanah di belakang rumahnya milik tetangga. Bu Shinta lupa kalau tetangga belakang rumah kami tidak sesabar ibuku yang memang tidak suka ribut. Mereka pun melabrak keluarga Bu Shinta, meski tidak mempan juga. Karena tidak terima, tetangga belakang rumah kami pun mengancam akan mendatangkan harimau mereka dari hutan Pasaman Padang kalau tanah mereka tidak juga dikembalikan. 

Bu Shinta malah tertawa dan tidak takut apalagi percaya dengan adanya ancaman akan didatangi harimau milik turun-temurun tetangga belakang rumah kami. Pikirnya mana mungkin ada harimau siluman di jaman sekarang? Namun keesokan harinya tersiar kabar heboh bahwa Bu Shinta jatuh pingsan pada saat membuka pintu belakang rumahnya di pagi buta. Katanya Bu Shinta mengalami syok setelah tiba-tiba melihat seekor harimau yang hendak menerkamnya. Entah benar atau salah yang pasti Bu Shinta langsung minta maaf dan mengembalikan tanah belakang yang ia ambil tanpa ijin. Aku sendiri sampai sekarang masih bingung harus percaya apa tidak tapi pengakuan Bu Shinta dia melihat sendiri dengan mata kepalanya. Untuk itulah dia langsung mengembalikan tanah yang ia ambil. Padahal kalau Bu Shinta tahu hukumnya mengambil tanah orang lain, pasti ia lebih takut lagi menghadapi siksa saat mati nanti yaitu kuburnya akan sempit.

Berbicara soal orang kaya, di masa itu sekitar tahun 90-an di gang kami hanya keluarga July temanku yang baru memiliki video. Sehingga kami sering diajak nonton film ratapan anak tiri, ateng, dan film lainnya yang lagi booming waktu itu. Kaset video jaman dulu bisa setebal roti bantal. Tidak tipis seperti sekarang yang berbentuk dvd. Biasanya aku dan anak-anak yang diajak nonton film, akan duduk menunggu dengan tak sabar tiga puluh menit sebelum film diputar di lantai yang beralaskan karpet. 

Bapak July terkenal sangat baik dan dermawan pada lingkungan sekitar. Bahkan kami sering diberi duit oleh bapaknya July saat bermain di rumahnya. Begitu juga dengan abang-abang July, tak pernah meminta uang kembalian dari warung, saat menyuruh kami dan anak-anak tetangga membelikan barang keperluan atau makanan yang mereka inginkan seperti cemilan, sabun mandi, dan sebagainya. Kayaknya uang keluarga July tidak ada serinya alias tak terhitung banyaknya. Walau July tak pernah tahu apa pekerjaan bapaknya. Tak heran July selalu memiliki barang yang lebih mewah dan mahal dari kami. 

Namun suatu hari kami mendengar sebuah berita yang mengejutkan bahwa bapaknya July mati dibunuh. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati July dan keluarganya. Usut punya usut ternyata bapaknya July dibunuh oleh musuhnya sendiri. Rasanya tak percaya orang sebaik dan seramah bapaknya July punya banyak musuh. Para tetangga pun mulai menyebar gosip bahwa tak heran bapaknya July banyak yang benci dan dendam, sebab semasa hidupnya juga suka menyuruh anak buahnya menghabisi nyawa orang lain. Berita bapaknya July seorang mafia yang berkuasa di kota kami, hingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya terus menjadi perbincangan. Berita orang terkaya itu mati ditangan musuh-musuhnya sendiri, membuat July dan keluarganya sangat terpukul. Keluargaku tidak begitu saja langsung percaya karena baru sebatas isu, yang bisa saja berita hoax. Soal sikap dermawan keluarga July entah hanya sekedar pencitraan atau tulus dari hati. Namun satu pesan yang terus aku ingat dari guruku bahwa setiap orang punya sisi baik dan buruk dalam dirinya. Jadi tak perlu menghakimi dan merasa paling benar, apalagi sampai menambah masalah orang yang tersangkut masalah.  

Di gang kami juga ada dukun yang kadang dikunjungi orang luar. Namun yang bikin masalah bagiku adalah rumahnya yang selalu tertutup dan gelap. Suka agak merinding bila melewati rumah satu-satunya dukun di gang kami ini. Biasanya yang datang mulai dari pengaduan barang berharganya hilang, hingga meminta sang dukun untuk mencari tahu siapa yang mengambilnya. Bahkan ada juga yang berobat karena terkena santet. Nah, cerita soal santet aku jadi ingat ketika dulu adikku sering sakit-sakitan sampai malas sekolah. Sudah sering dibawa berobat tapi kata dokter tidak ada penyakitnya. Berbagai cara dilakukan oleh abangku Arman dengan mencoba berbagai pengobatan. Alhamdulillah adikku bisa sembuh setelah diobati seorang ustad. Suatu hari abangku Arman sedang membongkar video kami yang rusak. Tiba-tiba abangku menemukan buntelan kain berisi paku, jarum dan serbuk besi terselip di video. Barang ini setahu kami adalah alat santet yang dikirim orang untuk mencelakai orang lain. Apa ini berarti ada orang yang ingin mencelakai keluarga kami? Wallahu a'lam.

Masalah berbau horor juga ada di gang kami. Ceritanya ada tetangga kami seorang nenek yang tetap cantik dan awet muda padahal usianya sudah 80 tahun lebih. Sehingga beredarlah gosip bahwa nenek tersebut memakai susuk, makanya selalu cantik dan muda terus. Mulanya aku tidak percaya dan menganggap itu hanyalah berita hoax dari orang-orang yang iri pada nenek itu. Sebab aku tahu nenek itu juga cantik hatinya karena baik pada siapapun, bahkan pada orang yang tidak suka padanya. Sampai suatu pagi aku mendengar kabar nenek itu akhirnya meninggal. Tapi yang membuatku merinding adalah kematian nenek tersebut yang susah. 

Yah, jadi si nenek cantik di gang kami ini sepertinya sulit menghadapi sakaratul maut. Sebab selama beberapa hari dia tak kunjung wafat, namun hanya sekarat. Akhirnya dipanggillah orang pintar yang darinya kami diberitahu bahwa si nenek baru bisa pergi dengan tenang setelah susuknya dilepaskan. Aku menjadi kasihan sekaligus takut sampai tak bisa tidur, karena malam harinya aku seperti mendengar suara perempuan menjerit kesakitan. Entahlah, apakah itu suara si nenek yang lagi terbujur kaku antara hidup dan mati, atau hanya halusinasiku saja. Tapi yang membuatku dan penduduk di gang kami lega ketika akhirnya si nenek cantik bisa menghembuskan nafas terakhirnya dengan mudah ketika susuk yang ditanam di tubuhnya berhasil dilepaskan. Kesimpulan yang bisa diambil bila ingin cantik, jangan sampai bikin tambah masalah.

Di gang rumah kami memang terdiri dari puluhan keluarga yang menetap, mulai dari keluarga Batak, Chines, Jawa, Melayu, Padang dan Mandailing. Namun ada satu keluarga yang menurutku memiliki kebiasaan dan cerita unik dari anggota keluarganya. Mereka adalah keluarga Melayu yang tinggal tak jauh dari rumah kami yaitu kalau berjalan sekitar 100 meterlah. Aku sendiri suka bermain kesana, entah mau nonton tivi atau sekedar bertandang saja. Rumah mereka juga selalu welcome buat anak gang kami. Kebetulan keluarga Melayu ini juga membuka warung sembako di rumahnya. Jadi yang membeli kadang sekalian datang untuk ngobrol-ngobrol. 

Keluarga ini memiliki prinsip yang berbeda dari kebanyakan keluarga lainnya yaitu tidak pernah menyimpan uang mereka di bank dengan alasan kurang percaya dan merasa lebih aman menyimpan duit mereka di bawah kasur. Hohoho, bagaimana kalau ada keperluan untuk transfer uang yah? Misalnya mengirimi anggota keluarga yang butuh duit atau keperluan lainnya yang memerlukan jasa bank. Lagipula kalau di rumah kan ada kemungkinan dicuri, pikirku. Tapi namanya udah prinsip keluarga secara turun-temurun dan terbukti selalu aman. Hal ini semakin membuat anak gang kami percaya saat ibu mereka meninggal dan ditemukanlah uang puluhan juta di bawah kasur kamar ibunya.

Tak hanya prinsip masalah soal uang, anak laki-laki Wak Umin yaitu Bang Juhi dan Bang Ipang, pemilik warung sembako di gang kami ini juga memiliki prinsip yaitu tidak tertarik untuk menikah sampai tua alias maunya hidup menjomblo seumur hidup. Jadi tak adanya yang namanya mereka tertekan karena di tanya terus kayak anak jaman now, 'kapan nikah? Kapan mau punya anak? Dan pertanyaan lainnya seputar jodoh yang bisa bikin stress. Tapi kebalikan dari anak lelaki Wak Umin. Anak perempuannya malah ngebet pengen cepat nikah, salah satunya Kak Nuri yang stress karena selalu gagal ke pelaminan. Bukan karena tidak ada yang mau menikah sama Kak Nuri, sebab Kak Nuri cantik, berkulit kuning langsat dan imut, juga pembawaannya sedikit manja. Idaman banyak lelaki bukan? Tapi mengapa sulit jodoh, sehingga membuat Kak Nuri trauma bila diundang ke acara pernikahan akibat sudah dua kali gagal menikah.

Soal Kak Nuri yang tak kunjung menikah ada cerita yang melatarbelakanginya. Calon mempelai pria Kak Nuri yang pertama mendadak meninggal karena jatuh sakit, sehari sebelum pernikahan. Padahal undangan sudah disebarkan dan keperluan pesta pernikahan juga sudah dibeli. Untungnya Kak Nuri cepat move on hingga dia kembali menjalin hubungan asmara sampai serius ke pernikahan. Namun lagi-lagi calon mempelai prianya meninggal dalam kecelakaan ketika menuju rumah Kak Nuri untuk menikah. Bayangkan, dua kali hampir menikah dan calon suaminya mendadak berpulang. Jadi Kak Nuri tidak sempat merasakan bahagianya menjadi pengantin dan bulan madu bersama lelaki yang dicintai dan mencintainya. Kasihan rasanya ketika Kak Nuri hanya bisa menatap iri ketika satu-persatu adik perempuannya menikah dan berkata.

"Aku kan juga pengen menikah, tapi kalau menungguku terus baru adikku boleh menikah kasihan juga," keluhnya."

Itulah sebabnya Kak Nuri tidak pernah mau datang ke pesta pernikahan. Anak gang kami pun jadi tidak enak hati mengundang Kak Nuri, takut dia baper. Oh ya, Atok atau kakek Kak Nuri adalah orang yang terkenal di gang kami paling banyak memiliki tanah. Tak heran setiap anak dan cucunya sudah memiliki rumah sendiri yang dibangun diatas tanah Bapak atau Atok mereka. Ceritanya Atok mereka yang sudah berumur 90 tahun, dulu orang pertama yang tinggal di gang kami di jaman penjajahan. Waktu itu tanah di gang kami masih berupa hutan dan semak belukar. Atok punya inisiatif sendiri untuk membuka lahan dan menggarapnya yang waktu itu bebas diambil oleh siapa saja asal mau menggarap tanah yang masih belum banyak dihuni itu. Anak dan cucu Atok juga tinggal berdekatan, walau sesekali berantem. Namun mereka selalu kompak terutama saat ada acara keluarga. Senang dan seru melihat keharmonisan dan kebersamaan keluarga mereka. 

Jadilah Atok orang yang paling banyak memiliki lahan karena dia yang paling rajin setiap hari menggarap dan mengurus tanah yang belum ada pemiliknya. Tak heran keluarga Atok tidak ada yang mengontrak karena masing-masing anak sudah dapat jatah. Enak sekali yah anak dan cucunya, seperti Orang Betawi yang terkenal memiliki banyak rumah kontrakan. Jadi tinggal ongkang-ongkang kaki saja tiap bulan dapat uang setoran dari kost dan kontrakan. Ternyata Atok pintar berinvestasi untuk anak cucu dan hari tuanya. Bahkan Atok sampai menikah lagi di usia rentanya yang sudah hampir satu abad dengan kembang desa yang masih perawan ketika istrinya meninggal. Mas kawinnya berupa sepetak kebun dan sebuah rumah. 

Selain keluarga Wak Umin, di gang kami ada keluarga Wak Husein yang membuatku salut dan terinspirasi. Wak Husein hidup sangat sederhana bersama kelima anaknya di sebuah kontrakan kecil. Tapi Wak Husein tak pernah mengeluh dengan kehidupannya yang sangat sederhana. Wak Husein juga tetap taat beribadah walau hidup susah. Ia hanya menjadi karyawan di bengkel tempat mertuanya sendiri yang lumayan perhitungan soal duit. Saking perhitungannya, mertuanya yang suka berjualan makanan walau sudah punya bengkel, masih tetap menjual makanan yang tidak bagus lagi misalnya salak yang sudah busuk pun masih dijual. Alamak! Anak gang kami pun menjulukinya dengan nama Wak Pelit. Tapi Allah Maha adil dan penyayang, hingga di hari tuanya Wak Husein dan istrinya tak lagi hidup susah sejak anak-anaknya berhasil. Bahkan mendapatkan rejeki bisa naik haji dan jalan-jalan ke luar negeri dari menantunya yang cukup berada.

Ada lagi keluarga Wak Ita, anaknya bernama Ita dan neneknya kami panggil nenek Ita. Wak Ita seorang guru mengaji yang sudah ditinggal suaminya. Jadi Wak Ita adalah single parent yang menghidupi ibu dan anak semata wayangnya Kak Ita dengan jadi guru mengaji. Awalnya Wak Ita mengajar ngaji di sebuah madrasah dan masjid dekat rumah. Sampai akhirnya Wak Ita menjadi guru ngaji secara privat di rumah orang berduit tebal dan para pejabat. Tentu saja ini sebuah berkah bagi Wak Ita karena bayarannya lumayan. Walau aku tahu Wak Ita tidak pernah memasang tarif karena ia memang tulus dalam mengajar murid-murid mengajinya. Bahkan Wak Ita sampai diberangkatkan haji oleh muridnya yang kaya raya.

Namun bukan hidup berkeluarga namanya bila sesekali.ditimpa cobaan. Begitu juga dengan keluarga Wak Ita yang harus bersabar menghadapi sikap Kak Ita, anaknya. Kak Ita yang baru lulus sekolah menengah atas tiba-tiba meminta menikah. Walau Wak Ita keberatan karena selain masih muda, calon suami Kak Ita bukanlah pria yang baik. Terbukti setelah menikah, Wak Ita sulit bertemu Kak Ita karena dilarang oleh suaminya. Bahkan Kak Ita pun ikut tak perduli pada ibunya sendiri dengan jarang mengunjungi Wak Ita. Istilahnya Kak Ita jadi bucin dan terjebak cinta buta. Alangkah sedihnya Wak Ita, namun dia hanya bisa berdoa agar anaknya kembali sadar dan bisa bersamanya lagi seperti dulu walau hidup pas-pasan. 

Doa seorang ibu pasti didengar oleh Allah. Setahun setelah menikah, Kak Ita pun sadar suaminya bukan orang baik. Mereka pun bercerai dan Kak Ita kembali pada keluarganya. Kak Ita lalu melanjutkan kuliah hingga berhasil menjadi sarjana dan menikah dengan lelaki yang baik dan sholeh. Namun Wak Ita yang kembali berbahagia dengan keberhasilan Kak Ita, harus mengalami cobaan yang lebih berat lagi. Sebelum hari pernikahannya, Kak Ita sakit kanker dan harus dirawat sampai akhirnya meninggalkan Wak Ita dan pria yang benar-benar mencintainya. Wak Ita yang tengah bersedih akibat kehilangan anak satu-satunya dan tak lama kemudian ditinggal ibunya, berusaha tetap tegar menjalani hidup dengan tetap menjadi guru ngaji. Waktu berlalu, kudengar saat di rantau Wak Ita meninggal dunia menyusul ibu dan anaknya Ita. Wak Ita hanya berpesan bila ia sudah tiada, maka rumahnya tolong diwakafkan saja. Subhanallah.

Satu pelajaran yang kudapatkan dari kehidupan berkeluarga adalah harus adanya saling menguatkan, bekerjasama dan saling peduli, agar ikatan antara anggota keluarga semakin kokoh walau tak bergelimang harta. Oh indahnya kehidupan sebuah keluarga yang tetap saling peduli dan saling membantu. Bak lagu keluarga cemara harta yang paling berharga adalah keluarga. Jadi mari kita jaga keutuhan keluarga kita, sebab orang yang pertama kali peduli ketika kita jatuh adalah keluarga, bukan teman nongkrong apalagi pacar yang baru kita kenal. Cmia Www….

Kini setelah aku merantau di Jakarta, aku hanya bisa tersenyum sekaligus rindu mendengar kisah anak gang karbak lewat teman kecilku dan saudaraku yang masih tinggal di gang tersebut. Termasuk cerita anak gang yang telah berpulang satu demi satu. Namun kenangan indah dan pahitnya selama dulu tinggal di sana akan terus hidup untuk kusimpan sebagai kenangan.. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Makasih sukses juga yah😊
Ceritanya ngalir berasa hidup dalam cerita ini. Sukses Kak.
Rekomendasi