Disukai
0
Dilihat
1,204
HUBUNGAN-HUBUNGAN MEREPOTKAN
Slice of Life

Sesampainya aku di depan kamar sewaku, aku melihat ke arah jam tangan di lenganku dan menggumam. Aku baru tiba di depan kamar sewa-ku pukul tujuh pagi. Ada jarak dua jam untukku bersantai sebelum aku harus berkutat kembali dengan kehidupan kampusku yang membosankan.

Kukeluarkan korek dan satu buah putung rokok yang berhasil kubuat sebelumnya dengan susah payah dari dalam saku celana panjangku. Benda itu kubawa pergi ke arah mulutku dan mulai memberinya api lewat korek pada ujung putungnya untuk membuatnya menyala. Tanpa menunggu aba-aba dari siapa pun, kuhisap kuat-kuat ujung lainnya dan mulai menghembuskan asapnya keluar lewat mulut, pun lubang hidungku.

Entah kenapa aku punya firasat buruk. Kemungkinan besar hari ini aku akan mengalami hari yang sial. Angin tiba-tiba berhembus, asap rokok yang tadinya kubuang sembarangan sekarang berbalik pada permukaan kulit wajahku yang masam karena kelelahan. Tanganku yang bebas, segera mengambil alih rokok itu dari mulutku, menjepitnya di antara jemari tangan kiriku, dan menyapu rambut hitam panjangku yang sedikit acak-acakan karena hembusan angin barusan dengan tangan lainnya.

Aku menghela nafas.

Setelah berusaha mengumpulkan energi yang masih tersisa dalam tubuhku, aku mengingat-ingat kembali tujuanku pulang kemari. Ada kalanya aku merasa tak perlu pulang karena tinggal sendiri. Pikiran awal yang terlintas dalam benakku saat baru mendapatkan kamar sewa murah dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter dari kampusku itu adalah: Merepotkan. Sepintas, aku merasa akan terlalu buang-buang waktu kalau harus setiap hari menarik gas motorku untuk melewati perjalanan yang cukup menguras energi lahir batinku itu. Manusia zombie benar-benar akan menjadi tambahan julukanku berikutnya jika harus melakukan kegiatan pulang pergi seperti itu setiap hari.

Hahh… cukup sudah basa-basinya. Aku benar-benar ingin tidur sekarang. Dari ekor mataku bisa kulihat putung rokok yang tadi sengaja kuselipkan di antara jemariku kini hanya tinggal setengahnya.

Aku meringis.

Wajahku makin masam.

Jika tidak salah ingat lagi, aku baru saja dapat berita dari salah satu teman di kelompok organisasiku kalau harga rokok akan naik. Hal ‘sepenting’ itu jelas sudah kusampaikan pada kekasihku yang tempo lalu kukunjungi saat aku pulang ke kota asalku⎯⎯atau lebih tepatnya, aku menggerutu padanya.

Hampir aku lupa soal kekasihku. Sekadar informasi, kekasihku ini juaranya soal mendengarkan keluhan. Walau demikian, dia ini justru yang sering mengabariku soal hari-harinya. Hal itu agak berbeda jauh denganku yang jarang menyempatkan diri untuk memberinya kabar. Meski terdengar seperti kekasih tidak tahu diuntung, aku masih digolongkan sebagai pria perhatian.

Tebakanku sekarang dia pasti sudah berada di jalan untuk pergi ke arah kampusnya, memasang earphone di salah satu telinganya untuk mengusir kantuk, dan duduk di jok belakang motor dengan jarak yang lumayan jauh dari pengendaranya. Jika sedang begini, aku selalu merindukannya dan berharap diam-diam jika kita bisa selalu bertemu untuk sekadar bertukar bentuk ekspresi-ekspresi wajah kami atau menceritakan kegiatan remeh yang tidak biasa diceritakan, termasuk bertukar kabar. Namun jujur saja, aku tidak punya energi untuk memberinya kabar sekarang. Kekasihku itu memang yang terbaik. Aku janji nanti akan menghubunginya segera saat sudah punya waktu luang lebih banyak. Kadang, mempunyai kekasih pun bisa jadi merepotkan.

Hubungan asmara yang kami bangun itu sudah berjalan sekitar tiga tahun lebih lamanya. Kalau tidak salah ingat, kami pun beberapa bulan lagi akan merayakan hari jadi kami yang ke-4 tahun. Banyak sekali hal yang telah terjadi. Dibanding dengan cerita asmara yang manis, mungkin kisah asmara kami ini lebih baik dimasukkan ke dalam kategori serial drama sedih. Bisa dikatakan, kalau sebenarnya kami jauh lebih banyak bertukar air mata, daripada tawa dan senyuman.

Hal-hal menyedihkan itu memang kuakui sudah sering terjadi. Bahkan pertanyaan-pertanyaan seputar perpisahan terus berkumandang di dalam otakku sesekali tanpa permisi. Namun, aku sendiri⎯⎯bahkan dia sekalipun⎯⎯tidak bisa mencegahnya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, banyak sekali hal yang telah terjadi. Tidak hanya kejadian-kejadian berisik di antara kami. Bahkan keluarga dan teman-teman dekat kami pun ikut andil di dalam masalah-masalah yang entah kenapa selalu datang dan pergi sesuka hatinya.

Pengalaman-pengalaman yang kudapatkan dari hubunganku dengan kekasihku inilah yang menjadikanku seperti sekarang. Kekasihku yang sekarang berjarak berkilo-kilo meter dariku, padahal dulu selalu bisa kutemui setiap pagi.

Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara berisik mesin motor yang baru saja masuk ke pekarangan. Samar aku bisa melihat seseorang dengan kaos putih lusuhnya, baru saja memarkirkan kendaraannya itu di samping motorku. Dengan cepat, aku pura-pura tidak tahu atas kehadirannya dan bergegas merogoh saku celanaku untuk mencari di mana kunci kamarku berada.

Namun semua usahaku itu kalah cepat, saat aku sudah berhasil memindahkan kunci itu ke dalam genggaman tanganku, orang itu sudah keburu menyapaku dari balik punggungku. “Mas Juna toh? Sudah pulang, Mas?”

Kembali aku menghela napas, tetapi kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Mau tidak mau, aku berbalik dan mendapati seorang pria setengah baya yang kukenal dengan sebutan Pak Wahyu⎯⎯tetangga kamar sewaku⎯⎯si ramah yang gemar menyapa.

Kontan aku tersenyum dan mengangguk. “Nggih, Pak. Saya baru pulang pagi ini.” Kumatikan rokokku⎯⎯yang tinggal sedikit⎯⎯dengan cara menekan ujungnya di tempat sampah yang disediakan di dekat kamarku sebelum membuangnya. “Bapak sendiri?”

“Saya?” Dia terkekeh renyah persis bapak-bapak pada umumnya⎯⎯aku tahu soal ini karena sudah cukup lama bergaul dengan berbagai macam jenis manusia sebelumnya. “Saya baru anter istri saya ke pasar di depan, sekalian tadi beli makan buat si Pekok.”

“Loh, Pekok sudah pulang, Pak?” tanyaku agar terdengar antusias.

Pekok itu nama burung peliharaannya. Setiap pagi⎯⎯sebelum berangkat ke kampus⎯⎯aku selalu melihat beliau sibuk dengan si Pekok itu. Pernah sekali waktu aku mendengar Pak Wahyu dan istrinya bertengkar remeh soal Pekok. Kata istrinya, Pak Wahyu lebih sayang Pekok daripadanya. Dan tentu saja menurutku itu tidak masuk akal. Jika Pak Wahyu lebih sayang Pekok ketimbang istrinya, bukankah Pak Wahyu lebih memilih menikahi Pekok dibanding dengan beliau?

Saat aku menceritakannya pada kekasihku, dia tertawa terpingkal mendengarnya. Dia sempat mengataiku sebagai orang yang tidak peka. Tentu, julukan itu tidak menyakiti hatiku. Dan, sebetulnya aku mengakuinya sebagai sifatku yang kurang baik. Walau aku jauh lebih hebat dalam bersosialisasi. Namun, kekasihku yang satu itu lebih hebat menebak isi kepala orang lain, termasuk isi kepalaku. Hahaha… biar kuberi tahu sedikit soal perasaanku padanya, alasan mengapa aku begitu mencintainya, adalah⎯⎯

Suara yang berasal dari dua telapak tangan saling beradu mengembalikan kesadaranku akan kehadiran seseorang di hadapanku sekarang. Wajahnya tampak cerah dan buru-buru ia mengambil tanganku untuk diajaknya berjabat tangan. Dia berseru kegirangan, “Saya hampir saja lupa!”

“Terima kasih ya Mas Juna. Karena Mas Juna, Pekok jadi pulang,” tambahnya memberikan informasi baru.

Keningku mengerut. Garis muncul di antara alisku. “Maksud Bapak?”

“Kok jadi saya yang bikin Pekok pulang?” lanjutku.

“Loh, iya toh, Mas. Kan, Bapak waktu itu sempat cerita soal Pekok yang hilang, terus sama Mas Juna suruh saya tunggu aja gitu, ehhhlah dalah kok enggak lama beneran pulang.” Matanya berbinar, beliau menjelaskannya dengan teratur dan melempar ekspresi memuji padaku, tautan tangan kami kini sudah dilepasnya. “Bapak enggak sangka loh kalau Pekok bakal pulang kemari, waktu Pekok hilang itu rasanya perasaan Bapak hampa sekali, kosong.”

Wajahnya mendadak sedih. Sebelum sempat aku membalas ujarannya barusan, tiba-tiba saja beliau merintih kesakitan. Seseorang telah memukul punggungnya keras sampai bunyinya bisa kudengar dengan jelas. Dari balik tubuhnya muncul seorang yang kukenal baik juga⎯⎯dia istri Pak Wahyu atau bisa juga dipanggil Bu Dewi oleh beberapa tetangga di tempat tinggal sewa kami.

“Bapak ini gimana sih?!”

Kedua mataku refleks melebar. Seperti yang sudah kukatakan juga sebelumnya, memang mereka ini suka bertingkah dan membuat keributan. Sayang sekali, walau hal itu sering terjadi pun, aku masih belum terbiasa jika harus melihatnya secara langsung.

“Ibu ini apa-apaan sih?!” balas teriak Pak Wahyu keki. Bisa kulihat otot di rahangnya menegang, bahkan sekarang wajahnya terlihat merah⎯⎯entah karena malu atau marah⎯⎯persis dengan lawan bicaranya.

“Bapak yang apa-apaan?!” Wanita itu melipat dua tangannya di depan dada, sepertinya beliau tidak melihat ada aku di sana. “Coba Bapak sebutin siapa aja yang sering ninggalin istrinya di pasar, kalau bukan Bapak?!”

    Astaga, itu keterlaluan, batinku. Aku mencoba memasang ekspresi wajah tenang dan mencari waktu agar bisa menengahi. Bagaimanapun kami sekarang sedang berada di area publik, tidak sepantasnya mereka berdua ribut-ribut begini.

Ah… Bu, maaf menyela, tapi seper⎯⎯”

Belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Pak Wahyu sudah melayangkan argumen pembelaan atas dirinya. “Bapak itu enggak ninggalin Ibu!”

“Jangan membela sampai sebegitunya, Pak,” dengus Bu Dewi. “Memangnya saya jalan kaki begini karena siapa?!”

Oh, Ya Tuhan… sepertinya kesalahan Pak Wahyu kali ini memang sudah di luar batas. Lagi pula, bagaimana bisa ia meninggalkan istrinya di pasar?

Aku jadi bertanya-tanya lagi soal kadar kasih dan cinta Pak Wahyu kepada istrinya yang dibandingkan dengan burung peliharaannya si Pekok itu. Jangan-jangan benar prasangka Bu Dewi pada Pak Wahyu tempo hari. Dan ... oh, astaga ... apa jangan-jangan aku ditertawakan kekasihku waktu itu karena dia sudah menebak soal ini?

“Tadi kan kamu bilang sama aku suruh pulang duluan.”

Di antara dua orang yang berdebat itu aku bergeming. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, hal ini lumrah terjadi di keseharianku. Namun, tetap saja⎯⎯

“Ibu sama Bapak ini kenapa masih kayak anak kecil aja sih?”

Kami bertiga refleks menoleh dan mendapati seorang perempuan seumuranku yang memasang tampang kesalnya sedang berdiri di dekat tempatku sambil berkacak pinggang.

Dia mendumal. Gadis itu seperti menceramahi kedua orang tuanya dengan kata-kata yang cukup membuatku bergidik ngeri. Jika diposisikan, gadis itu bagai orang lebih tua yang sedang memarahi anak-anak di bawah umurnya.

“Maaf ya Jun, Ibu sama Bapak pasti ganggu banget.” Wajahnya tampak menyesal, nada bicaranya pun terdengar sangat berbeda dari apa yang kudengar sebelumnya saat sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. Dia terlihat begitu berhati-hati, takut-takut aku keberatan dengan perilaku kedua orang tuanya.

Oh iya, gadis itu bernama Tasya. Dia itu salah satu kenalanku. Kebetulan aku mengenalnya karena kita sama-sama mengikuti salah satu organisasi eksternal di kampusku sekarang.

Dulu, saat aku belum punya motor sendiri, dia sering meminjamkan motornya padaku⎯⎯dengan permintaan antar jemput, tentu saja. Namun, hal tidak terduga lainnya justru datang setelahnya. Ternyata, tetangga yang menyewa kamar di sampingku adalah orang tua gadis itu. Jadilah aku merasa akrab jika sedang dengan keluarga mereka ini dibanding yang lainnya. Kebetulan Pak Wahyu dan Bu Dewi suka rindu pada Tasya yang merantau di daerah dekat kampus, maka akulah yang menggantikan posisinya sementara sebagai seorang anak.

Walau begitu, aku tetap masih suka tidak enak jika sedang berada di situasi seperti tadi. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas Pak Wahyu dan Bu Dewi yang sekarang tengah saling memunggungi.

“Santai aja, Sya,” ucapku sambil terkekeh dengan canggung dan beralih pada tempat Pak Wahyu dan Bu Dewi. “Kalau gitu saya pamit dulu ya, Bu, Pak.”

Seperti hari-hari sebelumnya, begitu caraku mengakhiri keterlibatanku dengan mereka dan buru-buru melangkahkan kaki menjauh untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Tak berselang lama setelah melarikan diri, akhirnya aku bisa bernafas lega karena sudah berhasil masuk ke dalam kamarku. Samar-samar, telingaku masih mendengar suara bising dari kamar samping⎯⎯tempat di mana keluarga Pak Wahyu tinggal. Namun itu tidak masalah, yang kubutuhkan sekarang hanya tidur.

Kulirik jam yang sengaja kupasang pada sudut dinding kamarku. Syukurlah. Masih ada sisa waktu satu setengah jam sebelum aku harus benar-benar kembali beranjak dari tempatku untuk pergi menghadiri kelas pagiku hari ini. Kuputuskan dengan cepat untuk memasang alarm sesuai dengan kebutuhanku dan segera bersiap melemparkan tubuhku ke dalam selimut.



Aku dibangunkan oleh suara berisik ketukan pintu dari luar kamarku. Saat mataku dipaksa terbuka, cahaya dari lampu langit-langit kamar membuat kepalaku terasa begitu berat. Sambil berusaha duduk dan bersenden di senderan tempat tidur, aku meringis tertahan. Tanganku yang sebelumnya tidak bergerak, kini tengah mencoba menggapai-gapai permukaan meja kecil di samping tempat tidur untuk mencari keberadaan ponselku.

Jadi… di mana benda itu sekarang?

“Juna!” Suara familier terus menyahuti namaku berkali-kali dari balik pintu. Rasanya aku ingin membenamkan diri saja. Namun setelah namaku kembali diserukan dengan lebih lantang daripada sebelumnya. Aku tentu bisa melihat, tidak ada peluang untukku kabur dari tempatku sekarang.

“Ya, Sya,” balik aku berseru untuk menjawab panggilannya sambil berusaha beranjak dari tempat tidur.

Kubuka selimut yang tadinya membungkus tubuhku, berjalan ke sisi tempat tidur dan pergi ke arah pintu dengan jarak tidak terlalu jauh dari tempatku berada. Ruangan itu berukuran 3 x 4 cm, tidak banyak tempat tersisa untuk barang-barangku yang tersimpan. Entah sejak kapan aku mulai membiasakan diri untuk tidak menyimpan barang-barang tidak penting, yang jelas kebiasaan baruku itu cukup membantu saat penyusunan tata letak perabotan.

“Aku buka sebentar pintunya,” ucapku, kali ini lebih pelan karena sudah berdiri tepat di belakang pintu. Tasya menyanggupi, perempuan itu dengan ajaibnya menuruti ucapanku dan suasana di sekitarku mendadak berganti hening.

Derit pintu yang berasal dari aktivitasku saat ini memecahkan keheningan semu barusan. Dari tempatku, bisa kulihat seorang gadis berambut panjang hitam sebahu, dengan tangan kirinya yang sibuk menggendong tas. Kini ia sedang menatapku dengan sorot matanya yang tajam.

Aku mengerutkan kening keheranan. Sebelum aku sempat melayangkan pertanyaan dari mulutku, tiba-tiba saja gadis itu, ah, atau kita sebut dengan namanya saja: Tasya, sudah lebih dulu melayangkan pertanyaan padaku.

“Juna, kamu enggak ke kampus?”

Refleks aku mencari-cari di mana keberadaan jam dindingku. Saat berhasil melihatnya, betapa terkejutnya aku saat melihat letak jarum pendek jam tersebut. Rasanya kedua bola mataku hampir copot, bahkan detak jantungku seperti berhenti sejenak barusan.

Sial. Aku terlambat. Bagaimana ini.

“Masih ada waktu lima menit buat siap-siap,” celetuk Tasya sambil menepuk bahuku untuk membuyarkan lamunanku dengan segera. “Sepuluh menit cukup, kan, buat ke kampus lewat jalan tikus?”

“Terima kasih,” ucapku dengan tulus. Tanpa menutup pintu kamarku, aku bergegas mengambil peralatan mandi yang ada di atas rak lemari pakaianku, lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Tasya di luar.

Andai saja aku tidak terlalu kelelahan semalam, pasti aku tidak akan sampai terlambat bangun seperti sekarang.

Tanganku menyambar kenop pintu dan memutarnya dengan cepat. Setelah terbuka, aku buru-buru masuk ke dalam dan menutupnya kembali⎯⎯karena walau tergesa-gesa, aku ingat ada Tasya di seberang pintu kamarku yang masih terbuka. Sambil mulai menanggalkan satu per satu pakaianku, tanganku yang lain berusaha mengambil alih kran air. Di sela-sela kegiatan itu, aku masih terus merutuk. Ditambah dengan kesialanku yang lain, habis sudah kesabaranku kali ini.

“Berengsek!”

Bukannya mendapatkan ketenangan, aku justru terlonjak kaget saat seseorang menggedor-gedor pintu kamar mandiku dari luar. Dari suaranya yang memanggil-manggil namaku. Aku bisa tahu kalau itu Tasya.

“Jun, kenapa, Jun?!” Dia masih setia mengetok pintu dengan tenaga dalamnya. Di dalam, aku bisa merasakan kekhawatirannya yang seperti menembus pintu plastik kamar mandiku.

Aku menyambar handuk, melilitkan benda itu pada daerah pusar ke bawah, dan mulai memutar kenop. Saat berhasil membukanya, aku bisa lihat dengan jelas ke arah mata Tasya. Gadis itu tampak begitu terkejut saat melihatiku yang telanjang dada.

Asumsiku mengatakan, dia tidak berpikir sebelumnya dan main masuk saja ke dalam tanpa berekspektasi apa-apa. Tiba-tiba saja rasa menggelitik justru mengerubungiku. Tasya ini benar-benar polos jadi perempuan.

“Nanti biar aku jelasin,” ucapku cepat untuk menghentikan apa saja yang akan keluar dari mulut lawan bicaranya. “Ibu sama Bapak ada di rumah?”

Dia mengangguk. Diikuti aku yang bersorak dalam hati.

“Aku numpang mandi ya? Cepet kok, enggak sampe lima menit, aku udah telat banget soalnya.”

Sekali lagi dia hanya menanggapiku dengan gerakan kepalanya. Kali ini ia mempersilakanku untuk mengikutinya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa saja yang nantinya ada di pikiran orang-orang soal kondisiku. Yang kupedulikan hanya cepat mandi dan pergi dari sana secepatnya.

Pintu yang ada di hadapanku sekarang terbuka, menampilkan seorang pria dengan kaus lusuh yang sebelumnya telah kutemui pagi tadi. Matanya tampak melebar, diikuti dengan mulutnya yang mengaga karena terkejut melihatku.

Dari tempatku, aku masih berusaha memegangi handuk agar tidak bergeser dari tempatnya dan mencoba menyapa Pak Wahyu dengan suara pelan, supaya tidak mengejutkannya. “Selamat pagi, Pak. Kita ketemu lag⎯⎯”

“Jun, udah telat. Kamu langsung masuk aja,” potong Tasya sambil menunjuk sebuah lorong kecil di dalam kamar sewa keluarganya, seingatku ukuran kamar sewa mereka jauh lebih lebar dibanding milikku. “Posisinya hampir sama kok sama tempat kamu, tapi punya keluargaku ada di kiri.”

“Ah ya, terima kasih,” ucapku buru-buru dan melipir masuk ke dalam, tidak lupa mengucap permisi pada sang pemiliknya.

Samar-samar aku bisa mendengar Pak Wahyu yang memberondongi Tasya dengan pertanyaan-pertanyaan umum, seperti kenapa aku bisa di sini, apa yang sebenarnya terjadi, dan lain sebagainya.

Mendengar jawaban-jawaban yang diberikan oleh Tasya, aku dengan tulus berterima kasih dalam hati kepadanya karena sudah membantuku. Walaupun aku belum menceritakan kronologisnya secara detail, dia sudah bisa menangkap kondisiku saat ini, dan berusaha menjelaskannya kepada Pak Wahyu semampunya.

Sudah cukup. Aku benar-benar tidak punya banyak waktu di dalam kamar mandi. Maka saat aku berhasil mengunci pintu kamar mandi itu dari dalam, segera saja kulepaskan handuk yang melilit bagian bawah tubuhku itu dan mulai mengguyuri seluruh bagian tubuhku dengan air yang keluar dari lubang-lubang shower.

Ketika merasa sudah bersih, aku melilitkan kembali handuk di pinggangku, dan keluar dari kamar mandi. Tak butuh jarak yang jauh dari tempatku untuk menemukan sang pemilik. Saat itu, setelah melihat ekspresi Tasya dan Pak Wahyu, aku bisa tersenyum lega sedikit. Keduanya terlihat tidak mempermasalahkan kehadiranku sama sekali di sana.

“Sudah selesai, Mas?”

Barusan itu Pak Wahyu yang mengajak bicara.

Masih dengan penampilanku yang setengah telanjang, aku pun mengangguk dan banyak mengucapkan terima kasih karena sudah mau membantuku. Kulihat sekilas di samping Pak Wahyu, Tasya tengah menunduk. Walau sebagian wajahnya tertutup oleh poni, aku masih bisa melihat semburat warna merah di area pipinya.

“Kalau begitu saya pamit dulu nggih, Pak.” Belum sempat, Pak Wahyu membalasnya. Kebetulan tidak terduga datang dari Bu Dewi yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ketika tidak sengaja pandangan kami bertemu, beliau refleks memekik terkejut. Semua orang di sana, tak terkecuali aku, lekas mencoba mendiamkan Bu Dewi. Namun usaha itu berbuah nihil. Semua orang yang berada di dalam kamar sewanya masing-masing⎯⎯jika aku tidak salah berasumsi⎯⎯segera keluar dan mulai mengerumuni halaman depan.

Semua orang di sana mengamatiku⎯⎯si manusia asing⎯⎯dari atas sampai bawah secara berlebihan. Tentu saja aku risih, tapi aku sendiri bingung harus berbuat apa. Aku yang masih bertelanjang dada, tentu membuat beberapa tetangga perempuan yang ikut menghampiri ikut menjerit terkejut persis Bu Dewi.

Ah, persetan dengan kelas mata kuliahku. Aku sendiri yakin dosen killer yang merepotkan itu sudah berada di dalam kelas sekarang, karena intinya percuma saja, aku sudah kalah telak dalam pertarungan waktu tadi. Sekarang, aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada mata kuliah jahanam itu dan berdoa semoga aku diampuni di semester ganjil lainnya.

Sorotan mata tetanggaku, bagai pisau tajam. Setelah mendapati tatapan aneh dan bisikan-bisikan yang menggelikan dari semua orang di sana, aku merasa sangat hina. Sepertinya bukan hanya aku saja, tetapi seluruh anggota keluarga Pak Wahyu sekarang betul-betul jadi tontonan. Ada baiknya sekarang aku mulai memikirkan bagaimana caranya aku menjelaskan keberadaanku di sana tanpa harus menanggung curiga orang-orang di sekitar untuk seterusnya nanti. Bisa kulihat Pak Wahyu dan Bu Dewi sekarang tengah berdebat, tidak ada yang bisa membantuku sekarang jika bukan aku sen⎯⎯

“Saya minta maaf sebesar-besarnya kepada bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian atas gangguan yang barusan terjadi dari rumah saya,” ungkap Tasya secara tiba-tiba. Semua orang menatap padanya, begitu juga aku. “Ibu saya tadi cuma kaget saja karena melihat Mas Juna telanjang dada, salah saya juga karena tidak sempat meminta izin kepada ibu saat membawa Mas Juna kemari. Pikir saya, Mas Juna boleh masuk kemari untuk menumpang mandi karena ada Bapak di rumah.”

Lalu, Pak Wahyu yang maju beberapa langkah di hadapanku ikut menambahi sambil tertawa renyah, “Betul begitu kejadiannya Pak, Bu. Mas Juna benar tidak berbuat macam-macam di rumah saya, dia ini cuma korban air mampet, istri saya saja yang memang suka kelewat heboh kalau ada daun muda. Tolong dimaklumi, nggih.”

Dari jarak pandangku sekarang, jelas aku melihat Bu Dewi yang tampak merasa bersalah. Beliau melantunkan permintaan maaf karena sudah membuat heboh, tidak lupa beliau juga memberikan penjelasan tambahan soal hubungan keluarganya denganku.

Walah, saya kira ada apa toh, sudah takut loh saya tadi,” beber salah satu tetangga yang dikenal dengan nama Pak Budi, beliau ini termasuk sesepu di sana.

“Saya juga tadi enggak percaya kalau Mas Juna orang mesum, eh ternyata memang Bu Dewinya aja yang suka kaget ngelihat daun muda,” timpal seorang lagi yang kemudian disahuti dengan gelak tawa orang-orang di sana.

“Waduh, Bu … daripada sama Ibu, kayaknya Mas Juna lebih mau sama anaknya deh itu.”

Lagi, semua orang tertawa dengan lelucon sarkasme itu. Aku memaksakan senyumku. Namun tidak hanya aku saja, bisa kulihat Tasya pun melakukan hal yang sama. Bedanya, wajah Tasya sekarang merah, dan aku jelas tidak begitu.

Satu per satu orang-orang yang berada di sana mulai kembali ke tempat asalnya masing-masing. Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan menerima permintaan maaf dari Tasya juga kedua orang tuanya, aku pun ikut kembali ke dalam kamar sewaku.

Tak berselang waktu lama, aku sudah berhasil mengenakan pakaian santaiku dengan utuh. Rambut yang masih basah sedikit kubiarkan terkena tiupan angin dari kipas kamar sewaku. Kuraih segelas air putih di atas nakas dan menenggaknya sampai habis. Entah sudah berapa banyak aku menggunakan sisa-sisa energiku yang sebelumnya telah terhimpun tidak sempurna tadi. Namun yang pasti, saat ini aku merasa begitu lelah.

Belum setengah hari waktu berlalu, tapi aku sudah mengalami banyak hal.

Tanpa sadar aku mulai memejamkan mataku perlahan. Menuntut mimpi indahku sebelumnya dilanjutkan hingga malam hari nanti.

Kupikir itu bukan permintaan yang sulit. Namun, suara berisik dering ponselku membuyarkan aktivitas tidurku. Ekspresi wajahku berubah masam. Aku mendengus dengan berat.

Kuedarkan pandanganku pada sudut-sudut ruangan, mencari di mana benda iblis itu berada. Dengan malas, aku beranjak dari posisiku untuk mencoba menyisir setiap tempat yang memungkinkanku pernah meletakkan ponsel itu sebelumnya.

Dan berhasil.

Niatku, aku ingin mencaci maki siapa saja yang mengganggu tidurku. Namun, ternyata ucapan-ucapan kasar itu harus tercekat di kerongkonganku. Saat mengetahui siapa yang meneleponku, entah kenapa suasana di dalam kamarku mendadak terasa mencekam. Pelipisku tiba-tiba saja basah oleh keringat. Aku gugup.

Lama kubiarkan benda iblis itu terus berdering sampai terbungkam dan memunculkan satu pesan dari kekasihku sebagai gantinya aku tak menjawab sambungan teleponnya. Katanya: Kamu ke mana? Jam segini masih tidur? Enggak ke kampus?

Andai saja kamu tahu kekasihku. Baru saja semua orang yang tinggal di daerah tempat tinggalku menatap tubuh setengah telanjangku di rumah perempuan yang pernah aku ceritakan soal ketertarikannya padaku karena air di rumah sedang habis.

Kalau aku jadi kamu, aku akan cemburu setengah mati saat mendengar ceritanya.

Maka dari itu, biarkan aku istirahat sebentar. Mencari wangsit dalam mimpi, agar kalau-kalau kamu ingin mendengar penjelasanku yang panjang, aku bisa memberikan jawaban itu tanpa rasa gugup karena takut dimarahi olehmu.

Ahh… perasaan ini sungguh merepotkan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi