Disukai
0
Dilihat
522
Gadis dan Waktu
Drama

Gadis berjalan sendirian di tepi pantai yang sudah tertutupi pipa-pipa besi. Suara camar berkicau parau membuatnya seperti di dunia lain. Langit berwarna merah darah. Suara angin yang berhembus seperti nyanyian malaikat maut di telinganya. Kakinya kini berdiri di ujung pipa-pipa, menyentuh teralis besi yang dingin. Matanya memandang bukit-bukit hitam di sampingnya, tidak ada tumbuhan dan binatang. Tidak ada kehidupan sama sekali.

Laut di bawah kakinya mengamuk, dan bergulung-gulung menabrakkan diri pada pipa besi itu. Matanya melirik orang-orang berpakaian hijau dan membawa senjata yang mulai berdatangan di belakangnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Bukan karena senang, tetapi karena miris, mereka begitu ingin menyelamatkan satu nyawa tidak berguna sepertinya, sedangkan mereka sendiri telah melenyapkan ribuan bahkan jutaan orang yang mungkin salah satunya adalah manusia yang bisa mengubah dunia menjadi surga.

Gadis merentangkan tangan, tubuhnya sudah bersiap untuk jatuh, dia menutup mata dan berdoa semoga dia benar-benar mati kali ini, tetapi sebelum tubuh ringkih itu terjatuh tangan seseorang menangkapnya terlebih dahulu. Gadis menatap mata orang itu. Seperti danau yang dingin dan dalam. Seperti dasar Palung Mariana yang tidak pernah dijamah orang. Alisnya yang tebal menukik tajam, menatapnya dengan amarah yang tertahan.

"Kenapa kau melakukan ini lagi?" teriak orang itu.

Gadis terkekeh pelan, sambil melemaskan badannya. Orang itu memeluk erat tubuh gadis sebelum benar-benar terjatuh.

"Alasan yang sama seperti dulu, Ruka," ucap gadis itu tersenyum memandang langit.

Ruka, nama orang itu. Seorang yang komandan terhormat yang dijuluki pahlawan karena berhasil menghentikan bencana yang datang. Padahal dia mendapatkan gelar itu dari bencana yang dibuatnya sendiri. Selain itu Ruka yang menjaganya setiap hari, mengawasinya dan teratur memberinya makan seperti hewan peliharaan yang berharga.

"Kamu sudah..." ucapan Ruka terpotong.

"Gila? Sejak awal aku memang tidak waraskan?" Gadis terkekeh "Tapi, sepertinya kewarasanku mulai kembali."

Gadis melihat ke bawah. Angin semakin kencang, debur ombak mulai melewati batas pipa dan pagar teralis. Ruka memutuskan untuk membawa gadis itu ke dalam kantornya yang berada di atas bukit hitam. Kantor Ruka berbentuk segi empat dengan kaca biru transparan sebagai dindingnya. Gadis itu mengedarkan matanya ke sekeliling ruang, ada banyak orang dengan pakaian serba putih yang memandangnya seperti predator yang kelaparan, beberapa orang berpakaian hijau tua menundukkan kepalanya dengan tangan di dada, dan beberapa yang lain terlihat memalingkan wajah seakan tidak peduli dengan gadis itu.

"Aku mau dibawa kemana?" tanya gadis.

Ruka diam, netra biru tuanya menatap lekat gadis. "Hari ini kita menemui Aldares" jawab Ruka singkat.

Mereka berdua sampai di depan pintu berwarna merah, mereka masuk dan di dalam sana ada seorang nenek yang sedang terbaring lemah di ranjang putih dengan alat bantuan pernafasan. Matanya terbuka setengah saat melihat Ruka berada di depannya yang menggendong gadis. Mereka saling bertukar pandang sebentar, lalu Ruka menurunkan gadis dan menggeser ranjang yang ditempati nenek tadi. Nenek yang berbaring bergeming, dia terus tersenyum memandangi wajah gadis yang begitu cantik, persis seperti saat dia muda dulu.

Setelah selesai menggeser ranjang, Ruka membuka karpet dan papan kayu yang diletakkan begitu saja di lantai. Bau apak yang menyengat pun langsung menusuk hidung. Ternyata di sana ada tangga menurun yang penuh debu.

"Kita, harus turun?" Tanya gadis.

Ruka mengangguk dan memberikan isyarat dengan tangannya kepada gadis untuk turun lebih dulu. Tangga itu sangat miring, gadis langsung berpikir kalau dia jatuh apakah dia akan mati? Tetapi gadis langsung menghilangkan pikiran itu karena hari ini dia akan bertemu Aldares, belahan jiwanya.

Setelah melewati kurang lebih tiga puluh anak tangga, sebuah kamar bercat biru tanpa pintu terlihat. Mereka memasuki kamar, terlihat hanya ada kasur, meja, dan lilin di atas meja yang berkedip-kedip, padahal tidak ada angin yang menerpanya.

"Aldares?" panggil Ruka pelan.

Ruka menyalakan lilin lain. Dan menemui sosok makhluk aneh di atas kasur. Badannya besar berbentuk seperti gumpalan daging, seluruh tubuhnya tumbuh rambut seperti domba yang tidak pernah dicukur rambutnya. Matanya bulat besar seperti burung hantu yang bola matanya seperti akan keluar.

Ruka mengangguk singkat ke arah gadis sebagai isyarat bahwa gadis boleh mendekat, lalu setelahnya Ruka pergi pamit untuk kembali.

"Ra....a.aaaa!" suara yang serak dan samar keluar dari mulut Aldares.

Gadis itu menerjang dan memeluk Aldares erat. Makhluk itu terlihat senang dan mengerang dengan suara yang lebih aneh, bola matanya tampak seperti benar-benar akan keluar. Gadis menatap mata Aldares lekat. Mata Aldares hampir mirip seperti Ruka, menakutkan. Mata Aldares gelap seperti kayu yang sudah terbakar menjadi arang, tetapi terlihat masih ada sisa-sisa api kecil di sana. Saking kecilnya, mungkin dilihat pun akan mati.

"Aldares, kamu mau cerita apa hari ini?" tanya gadis lembut.

Aldares bergumam tidak jelas, kepalanya mengangguk-ngangguk sampai rambutnya berterbangan dan jatuh ke lantai marmer putih yang dingin. Mulutnya tiba-tiba terbuka lebar, lebarnya seperti mulut kuda nil raksasa. Gadis terdiam, Aldares mengangkatnya ke udara dengan tangan dan melahap tubuh gadis tanpa sisa.

...

Aroma busuk tercium pekat, gadis membuka matanya. Dia langsung tersadar sebagian tubuhnya sudah tenggelam ke dalam kolam lumpur yang bercampur dengan rumput. Seluruh tubuhnya menjadi kotor dan berbau busuk.

"Di mana ini?" tanya gadis.

Pandangan gadis tiba-tiba seperti terbalik. Gravitasi bumi seakan menghilang. Gadis merentangkan tangannya saat angin berhembus membawanya terbang. Tubuhnya melayang setinggi 100 meter dan dia melihat api dan asap dari kejauhan, asapnya mengepul seperti replika jamur raksasa, teriakan kesakitan orang-orang terdengar keras seperti nyanyian dari neraka.

Gadis menatap ke bawah, tempat yang sebelumnya kolam lumpur berbau berubah menjadi kolam berwarna merah, di sana terlihat banyak orang yang hampir tenggelam. Mulai dari anak-anak, remaja, dan orang tua ada di sana. Orang-orang itu berteriak dan memaki, menyuruh gadis untuk turun dan bergabung dengan mereka di kolam darah, tetapi gadis hanya tersenyum simpul dan terbang menjauh.

Tiba-tiba suasana kembali berubah, gadis berdiri di atas pipa-pipa besi dan di depannya adalah pantai tempatnya kemarin hampir mati bunuh diri. Suara camar yang sama. Warna langit yang sama, dan angin dingin yang sama. Bedanya tidak ada orang-orang berbaju hijau itu dan tidak ada Ruka yang mengejarnya.

Bisikan lembut tiba-tiba terdengar di telinganya."Kembalilah ke dalam, banyak orang mati yang menunggumu"

Suara yang terdengar familiar. Gadis melihat gedung kaca transparan di belakangnya. Gedungnya terlihat berbeda. Bukitnya juga. Ada pohon yang tumbuh di sana.

"Komandan!" teriak seseorang.

Gadis dengan refleks menoleh. Seorang laki-laki berpakaian hijau berlari ke arahnya dengan menggenggam sekumpulan berkas. Gadis membeku, otaknya seperti tidak berfungsi lagi. Tubuhnya seakan bergerak sendiri.

"Lapor komandan, persenjataan sudah selesai diperiksa." ucap orang itu dengan tangan di dada.

Gadis memiringkan kepalanya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar.

"Ooh, saya lupa, kartu identitas anda ketinggalan di ruang rapat."

Orang itu menyerahkan sebuah kartu. Ada fotonya di sana, berpakaian hijau lengkap dengan topi dan sebilah pedang di genggaman. Lalu juga ada tulisan di bagian atas, Ruka Aldares Si pahlawan bencana.

Gadis membulatkan matanya. Dia ingat, itu namanya.

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi