Bunga Camelia; dengan kelopaknya yang memikat, membawa pesan diam tentang kekuatan cinta yang tak terlupakan. Di antara lekukannya yang anggun, bunga itu menyimpan rahasia-rahasia kehidupan yang tak terucapkan. Seperti memori yang terpatri dalam hati, setiap mahkota bunga Camelia mencerminkan keindahan yang bersemi dari kenangan yang telah pudar.
Dengan tiap kelopak yang lembut, mereka menari dengan keanggunan yang melambangkan perjalanan hati yang memikul beban cinta dan kehilangan. Seiring pagi menyingsing, bunga Camelia pun mengembang dengan gemilang, merayakan kesempatan baru untuk menyelami keabadian cinta dalam segala kemungkinannya.
Bunga itu tampak indah di pekarangan rumah milik seorang wanita bergaun putih. Membelai lembut tiap-tiap kelopak bunga yang basah terkena embun.
"Hei, kau begitu mekar dengan sempurna," tunjuknya. "Katakan padaku, apa rahasia yang ingin kau sebar?"
Wanita itu mendekatkan telinganya ke kelopak bunga, lantas sedikit menganga sebab reaksi terkejutnya. Telapak tangannya menutup mulut dan mengangguk, menerima segala informasi yang diberikan oleh si bunga.
"Sungguh kisah cinta yang malang," ujarnya.
Matanya melirik ke bunga yang tampak layu di tepi pagar sana. Rasa iba menjalar ke seluruh tubuh, ia pun segera mendekat demi menyentuh si bunga layu.
"Sayang sudah tidak mekar lagi."
Dengan sekop di tangannya, ia pun mulai mengambil setangkai bunga layu, lalu dipindahkan ke tempat yang semestinya; Nirwana.
"Kasihan sekali, kisahmu begitu tragis. Aku turut berduka," tuturnya dengan nada yang sedih.
"Camelia, supnya sudah masak!" teriak seorang pria yang berada di ambang pintu.
Camelia langsung melepaskan sarung tangan dan berlari masuk ke rumah. Sup yang telah mendidih itu dimatikan. Perlahan ia menumpahkannya ke mangkuk.
Dengan nampan di tangan, Camelia datang ke arah Robert untuk memberinya semangkuk sup. Tak lupa ia memotongkan roti untuk menjadi teman sup pagi ini.
"Jadi, apa yang kamu dapat pagi ini?" tanya Robert seraya memasukkan sesendok sup ke mulutnya.
"Seperti biasa, hanya gosip murahan. Tapi tak apa, aku akan ke pasar untuk mencari hal lain," ujarnya. "Ngomong-ngomong, bisakah kamu mengikat rambut terlebih dahulu?"
Yang ditegur hanya terkekeh, lantas menggerakkan tangan untuk mengikat rambut dengan karet yang selalu ada di pergelangan tangannya.
Siang ini Camelia pergi ke kota untuk mencari sesuatu. Di kereta kuda ia duduk dengan hati yang membuncah, tak sabar dengan apa yang akan dipeluknya nanti.
"Pak kusir, nanti kamu bisa tunggu sebentar di perbatasan 'kan?" tanya Camelia.
Kusir itu mengangguk. Di depan sebuah gedung tua beraroma buku mereka berhenti. Camelia turun setelah memberi bayaran pada kusir.
Pintu berderit, sambutan hangat menyambutnya seperti biasa. Buku-buku berjejer rapi bersamaan dengan tangga yang bersandar di beberapa rak tinggi.
"Kali ini buku apa yang ingin kau cari?" tanya si penjaga buku; biasa dipanggil Tuan Bill.
"Kali ini aku ingin mencari buku historical romance. Apa kamu ada rekomendasi?" jawab Camelia seraya meneliti tiap-tiap buku.
"Tak biasanya kamu mencari buku itu. Apa sudah tidak tertarik dengan dunia fantasi?"
"Kau tahu, kisah cinta perselingkuhan antara Ratu dengan Duke yang kubawa kemarin melejit pesat. Meski aku tidak begitu menyukai cerita berbau historical, tapi aku harus memaksa diri untuk menyukainya demi kelanjutan kisah itu."
Tuan Bill mengangguk pelan. Lantas ia turun dari singgasananya dan mulai membantu Camelia untuk mencari buku yang dimaksud.
Butuh waktu dua jam bagi mereka untuk mencari buku yang pas. Hingga Camelia memeluk lima tumpukan buku untuk ia bawa pulang. Berdiri di depan meja tinggi milik Tuan Bill, buku-buku itu pun diserahkan untuk diberikan stempel tenggat waktu pengembalian. Meskipun itu hal yang percuma karena Camelia suka sekali mengembalikan buku di waktu yang tidak tepat.
"Aku tidak bisa berjanji untuk mengembalikannya tepat waktu," ucap Camelia.
"Ya. Aku tahu itu."
"Baiklah, terima kasih karena sudah membantuku!"
Tas selempangnya tampak penuh dan berat, namun senyuman tampak mengembang di wajahnya, seakan ia baru saja menemukan berlian dari inti bumi.
Sesampainya di perbatasan, Camelia mengembuskan napas dan melempar tasnya ke dalam kereta kuda. Camelia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tas untuk mengelap peluh di pelipisnya.
Kereta bergerak mendekati warna jingga, meninggalkan kota dengan segala cerita yang baru tertulis. Suara kuda, tapak kakinya, angin sepoi-sepoi khas di sore hari. Camelia duduk dengan kaki menekuk, menggerakkan pena bulu untuk menari di atas tumpukan kertas. Sesekali pula ia menggigit roti yang sempat dibelinya di perjalanan menuju perbatasan tadi. Harinya begitu sempurna.
"Bagaimana kunjunganmu ke kota?"
Pertanyaan itu menjadi sambutan pertama Camelia setibanya di depan rumah. Kekasihnya itu tampak sehabis memancing, terlihat dari perkakas mancing yang berada di pundaknya. Barang tentu Camelia yang diberi pertanyaan seperti itu langsung menggenggam erat tali tas dan berjalan dengan riang gembira.
"Kau tahu, hariku begitu sempurna! Aku mendapatkan lima buku sekaligus dari Tuan Bill!" jelas Camelia dengan riang.
Robert membukakan pintu depan, sedangkan Camelia berceloteh tiada henti. Hal itu tentu membuat Robert turut merasakan sensasi bahagia yang membuncah.
"Tidak biasanya Tuan Bill meminjamkanmu begitu banyak buku," ucap Robert keheranan.
"Benar 'kan? Aku juga sempat berpikiran seperti itu. Ah, mungkin dia sedang senang hati juga, yang penting aku akan membaca buku ini semalaman penuh!"
Camelia mengeluarkan semua buku ke atas meja makan, hal itu membuat Robert menegurnya. "Bersihkan dirimu terlebih dahulu, setelah itu kamu boleh baca selama apapun yang kamu mau. Malam ini biar aku yang menyiapkan makanan," ucapnya.
"Terima kasih."
Sebelum beranjak pergi, Camelia menyempatkan diri untuk mendekat ke arah Robert demi memberinya sebuah kecupan.
Cahaya bulan mengintip dari celah tirai kamar. Di tepi jendela, Camelia tampak tenggelam di antara tumpukan buku. Penanya menari dengan cepat, bait-bait kata tercipta manis di atas kertas putih.
Senandung lembut terdengar dari luar sana, membuat Camelia berhenti sejenak.
"Shall I stay? Would it be, would it be a sin? If I can't help falling in love with you."
Camelia menyingkap tirai, membuka kunci jendela. Bersandarkan bingkai jendela, ia menumpu kepalanya dengan tangan, Camelia menemukan Robert tengah bernyanyi dengan gitar di pelukan.
"Like a river flows. Surely to the sea. Darling, so it goes. Some things, you know, are meant to be."
Robert mengulurkan tangannya, menyampirkan gitar di balik punggungnya. "Take my hand. Take my whole life too. For I can't help falling in love with you. For I can't help falling in love with you."
Setangkai bunga camelia digigit, rambut bergelombang disisir ke belakang, sebelah alisnya naik turun untuk menggoda wanita pujaan hatinya di ambang jendela sana. Tampak ia terkekeh karena tindakannya.
"Kamu tidak cocok menjadi pria yang romantis, Robert."
"Aku tahu itu, tapi setidaknya aku berhasil menghiburmu 'kan?" tanya Robert.
Setangkai bunga camelia diberikan, ciuman mesra penuh cinta menjadi balasannya. Terang rembulan menjadi saksi, bunga-bunga bergoyang turut memeriahkan, suara jangkrik tampak mengalun indah malam ini. Harap suasana ini tidak pernah berubah.
𓇢𓆸
Hiruk pikuk pasar di desa begitu menyesakkan. Tak sedikit pertikaian sempat terjadi antara pemalak dan pedagang. Tak sedikit pula mereka yang tengah menawar seorang gadis untuk dibawa ke rumah bordil. Camelia yang mendengar tawar menawar yang begitu rendah tampak mencibir di tempatnya.
Dengan segenggam gulungan kertas, Camelia berdiri di tengah-tengah keributan. Siap dengan pertunjukannya. Para wanita berbondong-bondong mendekat untuk mendengarkan kisah yang akan dibawanya.
"Camelia! Bagaimanakah kelanjutan kisah perselingkuhan Ratu dan Duke? Apa mereka akan berakhir tragis?" teriak salah satu wanita.
Camelia tersenyum, ia bergerak ke kanan dan ke kiri sambil bersilang tangan. "Hmm, aku masih belum tahu kelanjutan kisahnya. Tapi, hari ini aku membawa sebuah kisah lain yang tak kalah mendebarkan," ujar Camelia.
Tampak matanya berbinar bangga melihat kumpulan orang-orang yang bersedia untuk menunggunya bercerita.
"Apa kalian tahu bahwa Raja juga berselingkuh? Apa kalian penasaran siapa selingkuhan sang Raja?"
Kisah yang begitu dramatis dibawa oleh Camelia dengan menggebu-gebu. Aktingnya dalam memerankan beberapa karakter patut diacungi jempol. Si wanita penggila imaji, itulah sebutannya.
Tumpukan uang berhasil ia bawa pulang. Jika ditanya soal siapa yang selalu hidup dalam kebahagiaan, maka Camelia lah jawabannya. Dia sama sekali tidak mengenal emosi lain selain bahagia. Dia benar-benar gila.
"Nona, belilah bunga ini. Hari ini adalah hari valentine, tidakkah kamu ingin memberikan sesuatu untuk orang terkasih?"
Kebahagiaan Robert adalah kebahagiaannya juga. Maka tanpa pikir panjang dan dengan senang hati Camelia membeli beberapa buket bunga mawar merah.
Sesampainya di rumah, Camelia menyimpan bunga tadi di kamarnya. Melihat rumahnya yang masih berantakan dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Robert, maka Camelia menebak kekasihnya itu pasti antara pergi memancing atau berburu. Camelia mengambil senjata untuk berburu, memakai sepatu yang sesuai dan bersiap untuk menjemput Robert di dalam hutan sana.
Suara ranting dan daun kering yang terpijak membuat sebuah panah hampir mengenai dirinya. Degup jantungnya begitu kencang, air matanya sempat menetes karena mengira ia akan mati.
"Camelia! Ternyata itu kau!" Robert turun dari kuda hitamnya, berjalan untuk memeluk Camelia yang terlihat masih kaget.
"Kamu mau membunuhku, Robert?" cicit Camelia.
"Tentu tidak, kukira tadi suara hewan buruan, siapa sangka bahwa kamu datang untuk menjemputku."
Robert menggendong tubuh Camelia, menaikkannya di atas tunggangan kuda. Sedang dianya berjalan dengan memegang tali kuda.
"Hari ini hari valentine. Aku pergi ke hutan untuk berburu, mencari hadiah yang pas untukmu."
"Apa yang kau dapat?" tanya Camelia.
Robert melirik ke arah Camelia sejenak. "Rusa emas," jawabnya.
Sejenak hening membungkus keduanya. Menikmati suasana hutan yang tampak terang siang ini, tidak menyeramkan seperti di malam hari.
"Hei, bisakah aku menunggangi kuda ini bersamamu?"
"Tidak seperti biasanya, ada apa?"
Senyum simpul terpatri, wajahnya sedikit tertunduk. "Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menunggangi kuda bersama sang kekasih, layaknya yang dilakukan Ratu dengan Duke," jawabnya.
"Ternyata untuk eksperimen tulisanmu, ya." Robert tersenyum lantas turut menunggangi kuda yang sama.
Tangan keduanya saling bertemu, semu merah muda turut hadir. Tawa bahagia terdengar mengalun indah.
"Aku mencintaimu, Camelia," bisik Robert di telinga Camelia.
"Aku juga."
𓇢𓆸
Malam bertabur bintang, tanah bertabur bunga. Keduanya duduk di halaman rumah dengan api yang menyala. Tampak tengah memanggang daging rusa hasil buruan mereka.
Bunga bersembunyi di belakang punggungnya, menepuk pelan pundak sang kekasih sebelum mengulurkan hadiah yang ia beli di pasar.
"Untukmu."
"Waaahh, terima kasih." Robert menciumi kelopak bunga. Sedang Camelia tertunduk malu.
"Maaf, aku memberikannya di waktu yang tidak tepat."
Barang tentu Robert mengernyitkan dahinya. "Tidak tepat bagaimana?" tanyanya.
"Aku memberi bunga di kala kamu masih memanggang daging rusa, lalu kamu mencium bunga itu, bukankah hanya aroma daging yang tercium?"
Robert kembali dibuat tertawa oleh ucapan Camelia. "Kalau boleh jujur, jawabannya iya. Aroma daging lebih dominan dari bunga ini, tapi aku masih dapat mencium aromanya. Terima kasih banyak, ini pertama kalinya aku diberi sebuah bunga."
"Oh, ya?"
"Hm, kau tahu, lelaki dikenal sebagai yang memberi bunga, bukan menerima."
"Tapi, kamu mendapatkannya."
"Ya! Dan aku akan memberi tahu pada seluruh dunia bahwa kekasihku yang cantik telah memberikanku bunga yang indah!" teriaknya.
"Kamu membuatku malu!" ujar Camelia.
Seusai malam bahagia dengan menikmati daging hasil buruan. Kini Camelia duduk depan cermin, di mana Robert turut berdiri di sebelahnya demi membantu Camelia dalam melepas kunciran rambut.
"Aku sangat bahagia, Robert. Aku tidak sabar dengan hal-hal bahagia yang akan menjemput kita esok," ucap Camelia yang tengah menyisir rambut.
"Aku juga tidak sabar untuk melanjutkan kisah-kisah lain yang akan kubawa."
Dengan mata yang teduh Robert memandang Camelia yang terus-menerus bergantian melirik cermin dan dirinya. Embusan napas berat terdengar keluar.
"Camelia, you have to stop," tegurnya.
"Stop for what?"
"Pretending that I exist."
Bersamaan dengan itu bayangan Robert hilang dari cermin, namun tidak di pandangan Camelia.
Sudah hampir tiga tahun Camelia seperti ini. Semua itu terjadi sejak Camelia mengasingkan diri dari keluarganya. Dia pernah mengaku telah diselamatkan oleh seorang pria bernama Robert, namun tidak seorang pun yang pernah mendengar nama tersebut.e
Mereka meyakini bahwa Camelia menciptakan imaji di dalam rumahnya dan mulai jatuh cinta. Semua karena rasa kesepian.