Disukai
1
Dilihat
4,140
Di Ujung Stasiun
Drama

Keretaku tiba masih setengah jam lagi. Aku menunggu di ujung stasiun, sore ini. Pernahkah kamu merasa pernah berada pada situasi yang sama dalam waktu yang berbeda? Begitu juga aku sekarang. Penantian. Hal yang selalu tak menyenangkan, meski kadang tidak selalu begitu, tapi seringnya begitu. Salah satu alasan mengapa menanti itu tak menyenangkan karena menanti itu membosankan.


Dulu, kurasa aku pernah begini juga. Aku coba ingat-ingat. Tapi, tak sedikit juga aku ingat. Yang pasti, dulu aku pernah berada dalam situasi macam sekarang ini. Sangat sama. Sama persis. Hanya, kukira sekarang aku telah dewasa, dulu aku masih kanak-kanak.


Langit menguning. Sedang aku masih mencoba menyusuri ingatan itu. Senja menyingsing menggiring mentari kembali ke singgasananya. Meski sebenarnya matahari tetap berada di tempatnya. Hanya bumi kita yang terus berputar. Seperti waktu yang entah ini putaran ke berapa yang kurasakan.


Aku tetap dalam penantian. Tidak ada yang spesial, tapi rasanya aku sangat menantikannya. Padahal, hanya menanti kereta yang akan membawaku kembali ke rumah. Tapi, lain rasanya. Kereta itu amat aku nantikan. Aku ingin segera mengakhiri hari di kamarku yang sepi. Sebelum hari benar-benar habis berganti.


Stasiun tampak sepi, tak seramai hari kemarin. Mungkin kereta sebelumnya yang ramai. Ya, aku kira begitu. Aku terlambat. Seharusnya dan memang biasanya aku pulang dengan kereta satu jam yang lalu. Tapi, hari ini aku memang terlambat, aku tertinggal. Terpaksa menunggu kereta berikutnya, kereta terakhir yang menuju ke sana.


Aku tidak terlalu suka melihat kiri kanan. Tapi, sesekali sudut mataku menangkap apa yang ada di kiri kanan. Seperti beberapa calon penumpang lain di kursi lain. Tak banyak, tapi tak bisa dibilang sedikit juga. Tapi, selalu ada tapinya. Sama sekali tidak ramai. Stasiun terasa sunyi. Hanya disesaki tipis-tipis angin, suara langkah-langkah kecil, suara dering ponsel; notifikasi, klakson mobil di luar, dan suara wanita dari pengeras suara.


Jadi, aku tidak tahu berapa orang calon penumpang yang sama sepertiku. Aku hanya memandang rel. Tak ada apa-apa selain daun jatuh yang dibawa angin ke sana. Pada rel yang disepuh sinar kekuningan.


Aku selalu berharap tak ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sisiku. Lalu dengan sok ramah menyapa dan mengajakku berbincang. Aku tidak suka, dan aneh saja rasanya berbincang dengan orang tidak dikenal. Mungkin, jiwa sosialku telah dirampas oleh ponsel dan sosial media.


Dunia maya lebih memikat dari pada dunia nyata.


Itu juga mungkin alasan orang-orang tetap diam. Itu juga sebabnya kenapa stasiun ini tetap hening. Meski ada beberapa orang di sana. Seperti kubilang, tak sedikit tapi tak banyak juga. Mereka rupanya tengah ramai di dunia maya. Ya, mereka memang tak pandai memakai mulut, tapi jarinya amat lihai dan ramai di sosial media. Begitu juga aku.


***


Tapi, daun terlanjur jatuh sebelum mendengar keinginanku. Tiba-tiba saja, seseorang duduk di sampingku. Hanya berjarak satu kursi. Aku menoleh, dia tersenyum. “Benarkah ini, dia?”


Rupanya, daun yang jatuh sempat mendengar doaku dan dia yang duduk di sampingku bukan orang asing yang tak kukenali. Dia temanku masa SMP dulu. Dulu, kami akrab sekali. Baru setelah lulus, kami punya jalan masing-masing. Mungkin, dua tahun tidak berjumpa.


“Kok, kita baru bertemu sekarang, ya? Kamu pasti setiap hari kan ke sini? Dua kali sehari? Senin sampai jumat” tanyanya, selalu ramah dan berderet.


Aku masih tak percaya bisa kembali melihat bibirnya yang mungil dan lincah saat bicara. Kini, wajah itu kembali di hadapanku. Diguyur sinar senja, tampak bersinar. Apakah, ia masih bersinar seperti dulu?


Ya, dulu ia salah satu siswa terbaik. Prestasinya luar biasa. Peringkat satu di kelas tiga tahun berturut-turut tak pernah tergeser oleh siapa pun. Begitu juga satu sekolah, ia berhasil meraih nilai ujian tertinggi dari semua siswa kelas sembilan di sekolah kami waktu itu. Hebat, dan aku tak menyangka pernah menjadi sahabatnya. Apa dia masih menganggapku sahabat? Semoga saja begitu. Tapi, terlalu percaya diri tidak baik, kukira.


“Iya, karena aku pulang telat. Harusnya kereta yang tadi, tapi udah berangkat. Kamu apa kabar?”


“Pantas tidak pernah ketemu. Seperti yang kamu lihat, aku baik, selalu baik-baik saja. Kamu? Hari ini ada jadwal lain sampai kamu pulang telat? Atau—?”


“Syukurlah. Aku juga baik. Hmmm, ya tadi ada urusan dulu.” Jawabku, segumpal kata tertahan tak terucapkan.


Wajahnya masih tetap segar. Gaya rambutnya tak pernah berubah, tak pernah macam-macam. Seragamnya selalu rapi, seperti dulu. Dari pagi sampai pulang lagi tak pernah ada yang berubah sedikit juga. Tetap rapi. Aku selalu suka orang rapi.


Hal lain yang selalu kuingat adalah senyumnya. Senyumnya manis dan lembut. Entah, adakah pria yang punya senyum semanis dan selembut itu? Kurasa hanya dia.


Kulitnya terpapar sinar kekuningan. Kulit putih dan bersih itu tampak bersinar dan rasanya, lembut jika kubelai. Adakah wanita yang pernah membelainya, selain ibunya? Atau, adiknya? Eh, dia tidak punya adik. Atau, kakaknya? Eh, dia anak tunggal.


“Begitu. Bagaimana sekolahmu sekarang? Masih suka minta contekan matematika, gak?” tanyanya. Sontak aku tertawa. Dia masih ingat saja.


Dulu, aku kerap meminta jawaban pada dia. Sampai suatu saat, mungkin dia jengkel. Padahal, dia berbaik hati akan mengajariku. Aku selalu ingat kata-katanya. “Aku gak mau membodohi kalian dengan memberi contekan. Aku ingin membuat kalian mengerti, makanya sini aku jelaskan.”


Tapi, aku ya tetap aku yang otaknya segini adanya. Seribu kali dia jelaskan, tetap tak mengerti. Hanya “iya, iya”, “oh gitu, oh gitu” tapi gak paham sama sekali. Ujung-ujungnya, “mending lihat jawaban kamu aja deh, lama, sebentar lagi mau dikumpulkan.”


Dia hanya mendengus. Kutahu, dia kesal. Waktu itu.


“Hahaha! Hmmm gak ada yang kayak kamu di sana.” Jawabku, sambil tertawa. Tawa semu.


“Oh, ya? Berarti sekarang kamu sudah paham dan gak pernah menyontek lagi? Bagus deh.”


“Gak! Aku lihat google, sekarang ada ChatGPT, hehehe.”


Dia menggeleng. “Sama saja.”


Kemudian, ponselnya berbunyi. Dia tersenyum sendiri. Siapakah yang membuatnya tersenyum seperti itu? Apa dia sudah punya pacar, sekarang? Ah! Dia jauh berubah, sekarang. Dulu, kusebut dia ‘Duta Anti Pacaran’. Mungkin, sekarang dia telah mencopot gelar itu tanpa sepengetahuanku.


“Dari pacarnya, ya?” tanya itu, meluncur begitu saja. Aku tak tahu, tak ada di kepalaku sebelumnya. Tiba-tiba aku merasa konyol. Mati kutu.


Dia tergelak. Aku keheranan.


Tak lama, kereta tiba. Suasana jadi tak setenang tadi. Pertanyaanku dibiarkan tanpa jawaban.


***


Kini, kami duduk bersisian, lebih dekat. Hangat rasanya, kala pahaku di balik rok abu menyentuh pahanya di balik celana abu. Seragam SMA.


“Oh, iya. Tadi kamu tanya apa?”


“Haha, gak. Lupakan aja”


“Ah, aku ingat. Tadi pasti kamu lihat aku senyum-senyum sendiri, ya? Dikira aku dapat chat dari pacar, ya?”


Aku hanya terkekeh.


Dia merogoh ponselnya. Lalu memperlihatkan ruang chat sebuah grup. Ah, dia selalu tak berubah: selalu membuat grup chat dengan sahabat-sahabatnya. Aku ikut tersenyum membaca pesan-pesan di dalamnya.


Aku hanya tersenyum.


Dia belum berubah. Selalu terbuka. Aku masih sahabatnya, ternyata. Jadi, gelar itu belum dicopotnya. Aku terkekeh sendirian.


“Kamu kenapa?”


“Eh! gak kok.” Aku gugup, tertangkap basah dan malu.


“Kamu kalau ganti nomor gak pernah bilang. Mana nomor barumu?”


Aku tak menyangka dia akan meminta nomorku. Aku selalu merasa rendah. Dia tampak sempurna. Kuakui, dia tampan, memang sangat tampan. Tapi, tak mungkin kugapai. Dia juga pintar, ah kupikir dia terlalu sempurna untuk aku yang matematikanya saja masih menyontek.


“Boleh, hehehe. Aku malu aja kalau mau chat kamu.”


“Kok, malu? Pantas kalau aku tanya nomor kamu ke teman-teman yang lain, mereka selalu bilang gak tahu. Sebegitu jauhnya kita setelah tak lagi satu sekolah? Nomor-nomormu di grup alumni atau apa itu, tidak aktif lagi. Tapi, aku pernah DM kamu, gak kamu balas. Wajar sih, nanti pacarmu marah, ya?”


Aku terharu. Ada perasaan bersalah. Ya, semuanya aku akui benar. Aku selalu meminta teman-temanku untuk jawab ‘gak tahu’ kalau dia meninta nomorku. Dan, soal pacarku itu, setiap kali aku punya pacar mereka selalu bertanya tentangnya, dengan nada cemburu. Aku juga sengaja membiarkan pesannya di Instagram. Entah, rasanya cukup aku berharap padanya, jangan lagi.


Aku menyukainya.


“Maaf. Nih, nomorku.”


Aku tak bisa banyak menjawab. Sudah sangat terlambat untuk berkelit dan membela diri. Semua yang dia bilang memang benar. Untuk apa aku berkelit?


“Nanti aku chat, ya!” katanya.


“Iya.”


Sejenak hening. Lalu, dia bertanya. Pertanyaan yang aneh.


“Aku masih penasaran, kenapa kamu ketawa sendiri, tadi? Ada yang lucu?”


“Hahaha, tiba-tiba aku ingat sesuatu tadi.”


“Oh, ya? Apa?” matanya berbinar.


“Duta Anti Pacaran!”


Sontak kami tertawa bersama. Beberapa penumpang lain melirik kami. Aku tak peduli. Bahkan, kedekatan itu kembali tercipta seketika. Aku selalu tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kalau dia tertawa. Tanganku memukul-mukul pahanya. Tangannya diam, tapi mulutnya terus tertawa. Dia tidak pernah berubah, pikirku.


Aku tak pernah menyangka bisa mendengar tawanya lagi. Melihat dia tertawa lagi. Setelah sekian waktu, kukira aku akan lupa. Tentu saja tidak.


“Aku masih pantas menyandangnya.” Katanya di ujung tawa.


“Hm... Kamu masih belum pacaran?”


“Buat apa?”


“Ya, memangnya kamu gak pernah suka atau cinta sama seseorang?”


“Cinta gak mesti pacaran, kan?


Aku tercekat. Iya, memang. Iya, benar.


“Kamu gak pernah penasaran mau coba?”


Dia tergelak. “Ngapain coba-coba. Sekalian aja nanti betulan, sama jodohku.”


Aku terdiam.


“Lagian, ya. Aku gak mau ada istilah masa lalu aku, masa lalu dia. Bukankah sebagian pertengkaran dalam hubungan adalah akibat dari masa lalu? Aku mau, aku sama jodohku nanti adalah sama-sama orang pertama. Gak ada istilah, kamu pernah ngapain aja sama mantan kamu? Aku ingin, apapun yang aku dan dia rasakan sama-sama pengalaman pertama tak ada kata pernah.”


“Siapa dia itu?”


“Ya, belum tahu.” Dia tertawa.


Aku terdiam, pertanyaan aneh apa itu?


“Tapi, kamu kan perlu pengalaman. Perlu belajar—?”


“Belajar pacaran?”


“Eh—?”


Dia hanya tertawa. Lagi-lagi aku dibuat malu.


“Yang begitu gak perlu belajar.” Katanya. “Lagian, menurutku buang-buang waktu pacaran itu. Ingat gak dulu kamu kerjanya nangis gak jelas gara-gara cowok? Coba kalau dipakai belajar, kamu gak akan nyontek terus matematika.” Lanjutnya.


“Iya sih. Tapi kan pacaran banyak bahagianya juga. Banyak tawanya, senengnya.” Sanggahku.


“Gak seterusnya, kan? Lagipula, kepala kita ini yang masih kecil ini belum sanggup ikut mikirin juga isi kepala orang lain. Cari penyakit sendiri. Mikirin diri kita sendiri aja kadang gak sanggup, apalagi ditambah sama beban pikiran orang lain.”


“Kan, bisa berbagi. Kadang juga bisa jadi support system, penyemangat.”


“Omong kosong.”


“Kamu gak pernah berubah.”


“Hal-hal baik perlu dipertahankan, kan? Kadang aku jadi miris. Anak muda sekarang isi kepalanya cuma cinta, cinta, dan cinta. Gimana Indonesia mau maju? Ya, bolehlah jadi penyemangat dan sebagainya, tapi berapa persen sih? Sisanya kan kekhawatiran gak jelas, kesal gak jelas. Kuncinya ya saling percaya aja, omong kosong. Kok ya tetap aja ujung-ujungnya nangis. Sayang tenaga dan pikirannya dibuang-buang begitu. Coba dipakai membangun diri? Percaya deh, kalau jodoh kan gak akan ke mana.”


Aku terdiam. Sisa perjalanan dihabiskan dengan kebisuan dan bising suara kereta.


Dia tidak pernah berubah. Dan aku semakin terhempas. Mantanku berderet banyak. Di saat dia begitu menghormati cinta, aku justru bermain di dalamnya. Ketika dia mampu menaklukan cinta, aku justru menjadi korban cinta. Aku merasa malu, sedikit banyak aku akui benar apa yang dia yakini soal itu.


“Lagipula, kamu masih ingat ceritaku dulu?”


“Yang?”


“Siksa neraka itu.”


“Oh, ya itu. Aku ingat.”


“Meski aku masih belum nemu bukti kuatnya. Tapi, aku benar-benar yakin adanya.”


Aku terdiam. Sekujur tubuhku mendadak ngilu. Dari dulu cerita itu selalu membuatku bergidik tapi anehnya aku selalu lupa. Mungkin, jika itu benar adanya, berapa kali kepala ibu-bapakku dibenturkan pada batu api di neraka yang panas? Sedang sentuhan kulitku dengan mantan-mantan pacarku tak terhitung jumlahnya. Ya, mana bisa dihindari. Zina-zina kecil memang hadir dalam bentuk pacaran, diakui atau tidak. Dan, kalau dipikir-pikir Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya? Yang kecil-kecil itu kalau sering tentu akan jadi besar. Andai mampu digambarkan, sebesar apa dosaku yang itu, kalau misal bentuknya kerikil-kerikil mungkin sudah menjadi gunung sekarang. Itu baru dosa pacaran, belum dosa ghibah dan... Ya ampun baru sekali ini aku berpikir sejauh ini.


Akhirnya, hening tercipta. Sampai, kereta berhenti. Aku dan dia turun bersama. Cakap-cakap ringan kutanggapi seadanya. Kadang, mungkin kalau dipikir aku dan dia juga berzina kecil. Tetapi tidak, kami, lebih tepatnya dia selalu menjaga jarak. Soal tadi di kereta, itu aku yang sengaja membentur-benturkan paha. Astaga! Tadi, memikirkan mebelai kulitnya pun aku sudah berzina mungil dalam kepala!


Dahiku mengerut. Wajahku menegang. Lamunku keras. Suara dia menyadarkanku. Dia mungkin bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apa gerangan? Tapi tak diucapkan. Dia hanya berkata...


“Sampai jumpa lagi!” serunya di ujung stasiun, aku hanya tersenyum.


Aku melangkah ke arah berlawanan. Dalam benakku menari-nari senyumnya, terngiang-ngiang tawanya. Sekali lagi, pikiranku kembali padanya yang baru saja berlalu. Betapa beruntung ‘dia’ yang kelak menjadi pendampingnya. Yang jelas, bukan aku orangnya. Aku mempercepat langkah. Air mataku jatuh tanpa terduga.


Pertemuanku dengannya terjadi setelah perpisahanku dengan pacarku yang kupergoki berduaan dengan perempuan lain, temanku sendiri. Aku seketika menjadi amat malu. Aku merasa terlampau rusak. Setidaknya, di sini saja terlihat jelas kalau dia berbeda denganku yang sudah jadi korban percintaan. Setidaknya pula, mungkin dia bebas dari zina-zina kecil yang jadi besar macam aku. Tetapi, dalam-dalamnya manusia siapa yang tahu, kan? Hanya dari penilaian mataku—mata manusia—setidaknya dia begitu.


Dia selalu tampak segar. Tak pernah dipusingkan urusan cinta. Memang begitu mestinya, kan? Sedang aku semerawut hanya karena laki-laki. Aku menderita karena urusanku sendiri. Kutengok dia berjalan lembut di sana, langkahnya ringan. Sedang aku, berjalan berat. Apa pula itu cinta? Mungkin penyakit yang menggerogoti jiwa muda-mudi macam aku, kecuali dia. Sekali lagi kutengok dia, ah rasanya kami adalah dua sisi: gelap dan terang.


Lalu, mataku tertuju pada sinar kuning yang hangat. Langit mulai redup. Di muka stasiun, kulihat merah putih berkibar. Tubuhku bergetar. Aku malu.


Kalau begini rupa kelakuan hamba-Mu, Ya Tuhan, masihkan aku hamba-Mu?


Kalau tahu begini rupa wajah putrimu, Bu Pertiwi, masihkah aku putrimu?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@rzqyaaulia : Aamiin
MaasyaaAllah,.. Semoga Allah membersamai kita dalam kebaika yaaa serta tetap istiqomah.