Aku berdiri di atas cintaku. Mendekap rindu meski telah kau putuskan menginggalkanku demi dia. Aku tahu cintamu memang masih dalam untuknya, namun tidak bisakah melihat sebentar dan katakan bahwa cinta yang ku beri selama ini telah sampai kepadamu?
...
Aku yang seorang wanita ini sempat pesimis, namun kau jugalah yang berikan semangat lampu hijau. Di tepat satu minggu kita intens bertemu, kau berkata, "Aku justru kagum ada wanita yang berani mengakui perasaannya."
Lalu, ku dekatilah kau bawa rasa tulus di dalam sanubari, bukan karena mengharapkan balasan. Tidak pernah bertanya bagaimana rasamu, sebab tidak perlu. Akulah yang mencintai dan itulah resiko mencintai. Namun, terasingkan seperti ini, tiba-tiba tanpa aba-aba, bukankah sedikit kejam? Mengingat, kau jugalah yang akhirnya membuka jalan agar aku bisa mengambil hati yang sudah tanpa tuan itu.
...
"Ya, sudah. Aku akan berusaha untuk membuka hati. Asalkan, jangan sampai ada di antara kita yang berselingkuh. Itu saja syaratnya," ucapmu waktu itu di hutan kota GBK.
Dua bulan sudah aku mendekatimu saat itu. Juga, mengambil hati orang tua, dan adikmu satu-satunya. Syukurnya, mereka juga terbuka menyambut dengan baik.
Sore waktu itu tidak terlalu mencolok, namun kau buat jadi indah dengan bahasa lampu hijau lagi. Aku menganggukkan kepala sangat bahagia. Duduk di sampingmu dengan rasa yang akhirnya terlihat ujungnya, adalah awal kenangan indah.
Kaos putih bergambar band kesukaanmu, celana jeans biru gelap, topi denim hijau tua dan sepatu sneakers cokelat, berpadu menggambarkan indahnya dirimu. Tidak akan lebih indah jika orang lain yang memakainya.
Rumput hijau dan angin lewat turut mengucapkan setuju bahwa hari itu kau adalah pemeran utama duniaku di bawah langit sore.
...
Aku berdiri diatas lukaku, mencoba untuk hadapi bahwa kau tidak akan lagi menoleh. Begitu keras usaha netralisir rasa sakit, namun harus habis lagi tenaga oleh rasa cinta yang belum tuntas terhapus. Bertumpuk-tumpuklah hingga aku kewalahan dan lepas kendali saat membaca surat undangan pernikahan kalian yang tergeletak di atas meja kerjaku.
Di kursi tempat menghabiskan waktu 9-5, tidak pernah menyangka akan jadi tempat berteriak histeris memanggil-manggil namamu juga. Sebab, meski sudah berkali-kali membaca nama pengantin pria di undangan itu, tidak berubah juga susunan hurufnya. Namamu, nama lengkapmu, ada di sana.
Kala itu, sudah satu tahun dua bulan berlalu dari sore di hutan GBK.
...
Dua bulan sebelumnya, kau sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomor handphone tidak aktif, media sosialmu hilang di pencarian akun utamaku. Tidak ada respon pesan dari orang tua, adik dan teman-temanmu.
Menghilang begitu saja, seperti hilang di telan bumi.
...
Tiga bulan sebelum undangan itu, kau bilang wanita yang pernah hampir bersanding di kursi pernikahan denganmu, datang ke rumah. Dia hanya ingin menyapa adikmu yang juga sahabatnya.
Diiringi penyanyi live band di KOBAin Kafe Plaza Semanggi, kala itu kau bercerita betapa dia tidak berubah sama sekali. Tetap manis, lembut dan sopan. Aku masih bersikap biasa saja. Sampai akhirnya, cerita sampai pada bagian ibumu yang mengundangnya datang ke pesta keluarga merayakan ulang tahun adikmu. Tentu saja itu wajar karena mereka sahabatan.
Tapi entah kenapa, timbul rasa khawatir sebab pada hari-H aku sungguh-sungguh tidak akan bisa datang. Perjalanan dinas ke luar negeri tidak bisa ditunda atau diganti, hanya bisa dikurangi sampai satu bulan saja.
Kau bilang agar aku tidak perlu khawatir, sebab tidak akan pernah terbuka lagi hati untuk wanita yang telah berkhianat di saat-saat terpurukmu dulu. Di saat kau sedang berusaha angkat martabat keluarga agar pantas bersanding dengannya.
Untuk itulah kau memujiku yang bisa mandiri mengangkat martabat keluargaku. Kau bilang, kita punya niat tulus yang sama membahagiakan keluarga. Juga berucap, andai bertemu aku duluan dari pada dia, maka tidak perlu ada luka hati.
Aku pun senang dan tenang sekali mendengarnya, sebab namaku jadi pemenang atas dia.
...
Terlepaslah ragu dan khawatir saat itu tanpa alasan-alasan lagi. Tidak pernah menyangka pada akhirnya akan menyesali tatapan mata indahmu waktu itu. Sebab, sejak tanggal pesta perayaan itulah hilang sudah sinyal dari radarmu. Menyisakan radarku yang mencari ke segala arah, sampai kusut dan terkulai lemah.
Saat itu aku berniat mengirim video yang sudah ku edit berjam-jam untuk adikmu, di tengah malam sebelum hari ulang tahunnya. Centangnya tetap satu sampai dini hari. Ku coba kirim ke nomormu, tidak ada bedanya. Centang satu sampai pagi, sampai siang, sampai sore, dan sampai seterusnya.
Gelisahku di negeri orang, teramat gelisah hingga tidak bisa membedakan sepatu kerja dan sendal rumah. Beberapa kali menaiki gerbong tube yang salah, sebab konsentrasi habis menunggu kabar darimu.
Di dalam gerbong tube aku selalu berharap 'memanggil' yang tertulis di layar berubah jadi angka durasi. Lalu, karena putus asanya diri ini, setidaknya 'memanggil' itu berubah jadi 'dering' saja tidak apa-apa. Setidaknya masih ada jembatan yang tersambung, walau belum tentu bisa melewatinya.
...
Aku berdiri menangis tak berhenti ketika perjalanan dinas selesai, di bandara Soekarno Hatta. Tetap sama tulisan di layar memanggil nomormu. Tidak ada jalan lain lagi sebab semua akses telah tertutup.
Sambil memandangi langit-langit bandara di kursi kedatangan, ku panjatkan permintaan, setidaknya masih terlintas tanggal kepulanganku di benakmu.
Setidaknya masih ingat ada aku yang pernah jadi wanita yang kau kagumi karena keberaniannya. Setidaknya masih ada rasa bersalah telah telan ludahmu sendiri. Setidaknya masih ada rasa bersalah di nurani karena telah melupakan janji untuk menjemput dari bandara yang terlihat hampa, meski lalu-lalang orang tidak pernah habis.
Air mata untuk ke sekian-kalinya tumpah lagi dan tidak bisa aku berbuat apa-apa.
...
Aku memanggil-manggil namamu di dalam hati, di sepanjang pulang ke apartemen. Membiarkan supir taksi online memandang kebingungan saat suara tangis pecah tidak terkendali.
Syukurlah masih ada supir itu yang sodorkan tisu. Syukurlah masih ada dia yang mendengar ceritaku. Syukurlah masih ada dia yang memberi wejangan meneduhkan hati.
Sepanjang perjalanan, ku minta ia memilih lagu yang bisa menggambarkan pilu hati. Maka, selama tiga jam perjalanan terjebak macet ibu kota, lagu Mahadewa - Immortal Love Song berkumandang berulang-ulang sampai tiba ke tujuan.
...
Mendekap ilusi, menangisi cinta telah kandas tanpa alasan, hanya itulah yang sanggup ku lakukan. Sama sekali tidak berani mendatangi rumah atau tempat kerjamu. Tidak berani walau hanya keluar dari apartemen 'tuk cari angin segar, sebab kakiku ini pasti akan memaksa diri pergi ke sana.
Tak berani 'tuk ganti sandi pintu, kalau-kalau nanti kau berubah pikiran lalu datang menjelaskan semua. Lebih tidak berani lagi menyingkirkan semua tentangmu dari kamarku, sebab itu sama saja akan membuang sebagian diri ini.
...
Setelah undanganmu itu datang, suasananya masih terhirup jelas walau sudah banyak hari berlalu. Ilusi dan bagian diri pun malah jadi boomerang. Malah, semakin tidak berdaya untuk menghapus semua.
Menangisi setiap apa pun yang ada di dalam ruangan yang mengingatkan perjuangan cinta. Sebab, begitu tulus usaha untuk mendapatkan cintamu.
Berteman diam pun jadi kebiasaan begitu keluar dari kamar. Tidak kuat daya ini walau hanya berjalan ke dapur saja, begitu air mata mulai keluar. Dan, tempat tidur adalah tempat terbaik untuk mengembalikan kekuatan tubuh dan sadar bila terlanjur lumpuh.
Di kantor, diam adalah tembok penahan tangis supaya tidak terlihat lemah di hadapan teman-temanku. Mengingat bagaimana terkejutnya mereka, menyaksikanku menangis histeris sebelumnya.
...
Tak bisa terbendung lagi, dua minggu setelahnya, ku putuskan berhenti sejenak dari aktivitas sehari-hari. Biasanya, bagiku cuti pantang untuk urusan pribadi. Akan tetapi, ku ajukan semua, tanpa sisa.
Atasanku terkejut, namun dengan banyaknya proposal yang goal di tangan ini, yang dia bilang tangan jenius ini, malah digenapkan sampai 10 hari. Tanpa potong gaji, tanpa pertanyaan. Padahal, tadinya hanya tersisa tujuh hari lagi.
"Urusan bisnis," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum saat itu. Namun, malah tetap saja air mata juga ikut keluar. Kau tahu apa yang dia lakukan? Bagai seorang ibu yang lembut, ia memeluk dan ikut menangis.
Katanya, aku terlalu berharga untuk pria yang tidak punya harga diri sepertimu. Bukan aku dan cintaku yang tidak layak, kamulah yang tidak layak untukku dan cintaku.
...
Aku mendekap diri untuk menghargai keberadaanku di dunia. Tiga hari sudah aku tidak menangis lagi. Teralihkan oleh megahnya pemandangan dari jendela bening besar kamar penginapan di Silancur Glamping Magelang.
Hijau dan indahnya pemandangan gunung merapi Merbabu, Telomoyo, Andong dan Ungaran jadi penenang alami denyut luka. Kabut di pagi hari dengan latar sunrise penuh sihir penarik jiwa penuh luka ini, adalah teman di setiap sarapan.
Tidak perlu lagi obat tidur tuk buat mata mengantuk. Dinginnya malam dan merdu suara serangga-serangga malam, sanggup mengundang rileks hingga tertidur tenang. Tanpa paksaan, tanpa air mata.
Sampai menggigil aku tiap kali keluar kamar, walau hanya tidur-tiduran di jaring balkon berteman udara pagi. Dari menggigil itu jugalah akhirnya aku bisa membedakannya dengan menggigil saat tangis tidak terkendali di kamar apartemen.
...
Satu minggu lebih aku di sana, semua hal akhirnya bisa diterima dengan baik oleh hati dan nalar.
Kisah cinta ini adalah salah satu fase hidup. Bagian yang secara sadar telah ku pilih untuk mewarnai, meski pilihan warnanya jauh dari ekspektasi. Setelah fase ini, akan dan masih banyak lagi fase lainnya. Biarlah ini mengajarkanku untuk tetap sadar dan bangkit di situasi seburuk apa pun itu.
...
Di hari terakhir menginap, ku katakan pada diri sendiri, "Aku berharga, terlalu berharga untuk pria yang tidak punya harga diri itu. Dia tidak layak untukku dan cintaku. Tidak layak sedikit pun."
Mengulang-ulang sampai benar-benar hapal, dari pagi hingga siang. Sampai ada nadanya sendiri. Sampai alam bawah sadar ikut menyanyikan nada itu. Menggemakan ke alam semesta bahwa luka sudah bisa ditutup, sebab aku telah menemukan diriku kembali.
Dan jika besok berpapasan denganmu lagi, entah di mana pun itu, aku yang telah terlatih untuk hidup mandiri dan kuat ini, akan melayangkan maaf meski kau tidak meminta.
Sungguh, wanita yang patah hati ini, telah mendapatkan pelajaran itu dari patah hatinya.
***