Disukai
0
Dilihat
6,250
Bayi Ceropong
Drama

Tatkala itu, obor-obor panas dari bangunan berceropong begitu marak membanggakan diri; menguasahi lahan dan mengekspansi daratan, hingga dibuatnya laki-laki tua berteduh di bawah payung Tuhan, bersedekap, menahan pilu yang keluar berupa tetesan air mata. Merenungi langit yang menghujankan asam pada besi dan melarutkannya bersama riol dan kolong-kolong tikus. Menggenangi ladang, menguapkan hidup padi, serta membunuh makhluk yang semestinya lahir. Tanah coklat pun menjadi keras menghitam, terhempas kepulan asap dan arang dari kayu bakar yang dilumatnya hidup-hidup oleh tiupan api. Sedangkan, orang-orang berarak-arak membanjiri seluruh perbukitan, menggunduli mereka demi menyaksikan kedatangan bayi raja, kota baru dan puri tempat tinggal tuan-tuan mereka.

Namun sebagaimana mereka justu mengabaikan bagaimana hutan telah diranggas begitu saja. Seolah bumi ini diperkosa oleh kejantanan dan kekuatan yang tidak memiliki adab, demi iming-iming bahwa jalan karpet merah akan dibentangkan dengan era yang bersopan santun dan ramah akan syarat perhatian, meski sebagian hanya berasa dari ucapan. Seperti bagaimana sepertiga koloni berjajar membentuk barisan, mereka mengangkat kedua belah tangannya; meliuk-liuk seperti batang rumput muda yang terhemas angin sepoi. Berkoar-koar dengan kalimat ganjil, seakan itu adalah hak dan kewajiban yang dipertaruhkan. Juga hidupnya. "Selamatkan hutan kita." Di saat seluruhnya telah mati.

Sementara sisa koloni mereka hanya ikut-ikutan, melihat bayi yang jadi milik tuannya. Disanjungnya dengan hangat dan sinis bersama-sama, lalu dipanggulnya dengan muka-muka masa yang jelas kasat oleh mata lainnya —yang tidak diungkapnya betapa mereka tidak perduli dengan bayi itu. Mereka hanya datang karena tuannya yang minta, sementara dirinya sendiri juga punya bayi; yang perlu hidup, dan sedang dihidupi, meski sebagian terancam mati.

Tapi, “Dia ini harapan,” ungkap wanita tua yang membopong bayi yang disangkanya Raja itu. Meneteskan air comberan dari mata, terharu dengan kedatangan anak berukuran seperempat karung beras. Sementara si bayi hanya terus menangis, meminta susu yang belum disesapnya sejak detikan pertama hidup.

Rupanya elok, seperti purnama. Mulutnya merah seperti delima. Dua matanya sabit, seperti bulan di telan macan, tinggal tepinya saja. Lantas diberikan nama Purnama Elok itu, agar dia menerangi seluruh jalan bergambut arang dan menuntun orang-orang menjauh dari petaka, atau malah mendekatinya. Serta memimpin seluruh rakyat jelata, seperti sepertiga koloni yang memperjuangan hak lain-lain, ke dalam medan pertempuran yang menggambarkan garis antara memperjuangkan nasib atau merenggutnya, demi hidup yang tidak sepanjang lalat pada nasi basi. Sungguh, pengharapan yang besar, kepada bayi yang baru ditimang dan minus ASI.

Tapi hari itu, tidak ada yang tahu bahwa sejak dia lahir, si bayi memang sudah menerangi jalan orang-orang. Menjadikan mereka seperti lalat. Sigap berkerumun karena ada bau yang menggiurkan. Penjilat paling ampuh. Malangnya, “Dia cuma bayi!” ungkap laki-laki, yang di atas kepalanya selalu diteduhi langit. Dengan sarung yang dilipatnya melingkari leher, dia bersendawa tentang bayi yang sama haknya untuk hidup. Tidak perlu dijunjung setinggi gunung, bahkan diiringkan dengan sapi. Apalagi bukit yang dibakar dengan api. Tidaklah elok perayaan semegah itu, dikala manusia sedang diancam kepunahan.

Maka semua orang melongo, mendengar jawaban narsis yang mengguncang seluruh perbukitan. Menolak argumen yang mengajak perang ribuan koloni di daratan, padahal sebelumnya mereka menengadahkan kesetaraan dan kebebasan. Tapi semboyan mereka lenyap, oleh satu bayi yang lahir di bawah ceropong di bangunan penuh obor, pemilik seluruh tambang di bukit ini. Baginya, bayi itu pemberi makan. Lambang kekayaan. Anak orang kaya—yang akan jadi kaya.

Konyol!

Lantas seketika, arak-arakan baru menggusur laki-laki itu dari tanah pijakan mereka. Serentak sepertiga koloni sisanya bersekongkol, mengusir dia dari zaman. Mendorongnya ke tanah bergambut dan menguburnya hidup-hidup. Namun dia tidak mati. Dia merangkak, menyedekapkan kepalanya ke tanah hingga menyukuri sisa hidupnya yang dipertaruhkan. Dia akan pergi ke kota dan berjanji akan pulang, mengambil bayi yang cuma bayi di matanya—anaknya sendiri.

Lantas hujan-hujan asam kembali mengguyur, dan si bayi tumbuh besar. Memakan padi-padi yang berhasil diselamatkan dari gumpalan mendung, bekas pembakaran ceropong. Sedangkan bayi-bayi lain makan rumput dan daun jarak yang tidak kehujanan. Atau tanah yang disaringnya dengan akar atau akar itu sendiri. Tapi mereka tetap tumbuh besar, menjadi raksasa pemangsa. Trengginas dan gagah. Bahkan salah satunya, ada yang seperti Gatut Kaca.

Sedangkan bayi ceropong itu menciut, menjadi kancil yang tidak bisa bicara. Jirih dan payah. Tidak dianugrahkannya aksara padanya. Dia tidak menatap, tidak juga mendengar. Susu yang disesapnya hanya air comberan dari iluh mata; dari wanita tua yang mengulung rambutnya seperti purnama, tapi terasa seperti penjara. Sekaligus tidak diajarkannya tata krama padanya, dan mulutnya bahkan tidak bisa melengkung. Hanya melongo, berbentuk O. Menimpakan seluruh takjubnya pada kobaran-kobaran kalimat ganjil—yang sampai jari kirinya menjadi 6, dia tidak akan mengerti maksud dari ujaran itu. Dia hanya mengangguk-angguk, seakan seluruh isi dengkulnya paham.

Hanya luapan ketidak-pahaman yang dikandungnya di kepala. Berjungkal-jungkil dalam paragraf baru, tapi artinya sama saja. “Kamu harus jadi Raja.” Mengalun keras dari telinga, lalu terjejal dalam sanubari. Menusuknya sampai mati. Dia sekarat oleh pengaharapan manusia lain hingga melebihi besar badannya sendiri. Matikan saja aku, batinnya; sang raja kerdil.

Tapi raja di sana, tidak ada yang tahu seperti apa maksudnya. Apa dia harus menepuk jidat dan menggepuk pantatnya, lalu menelekkan emas juga perak. Atau raja yang sempoyongan mengunyah menyan dan kembang kamboja, lalu dilumatkannya ke mata dan mengalirkan mutiara. Kita tidak hidup dalam dongeng, bagaimana bayi manusia bisa sedemikian ganjil. Tentu yang dimaksud tidak sebesar itu, melainkan menjadi manusia besar - yang lebih besar dari gunung tempat penambangan itu. Lebih tidak masuk akal lagi, tentu.

Banyak definisi yang disusun menjadi cerita, namun tak satupun cerita itu menjawab pertanyaannya. Bahkan dukun-dukun sejagad datang membantunya mengarang, tapi dia tetap tidak tahu, dia harus jadi raja yang bagaimana. Sedang yang dia tahu, dia hanya pemungut karton berisi susu, lalu disesapnya dengan kentara, atau malah sengsara.

Kala itu, bayi ceropong benar-benar seperti raja—pemberi bahagia, setidaknya untuk orang-orang tua yang melihatnya polos layaknya bayi biasa. Dengan gigi-gigi persegi putih dan gusi merah yang menyala, dia bilang, “Beri saja susu pada anakmu, jangan dijejali putus asa,” pada wanita tua yang berkepang dua, mengikatkan rambutnya di kepala. Dan para dukun menyalurkan susu tersebut, meski tidak dikehendaki si pemilik raja.

“Aku cuma mau anakku seperti Raja.” Jawab wanita tua itu, melinangkan comberan baru dari matanya. Bergelimang putus asa, yang semula dijejalkannya pada bayi.

“Beri saja susu, lalu layangkan doa-doamu. Jangan kau layangkan juga anakmu, dia akan mati.”

“Tapi anakku akan jadi Raja,” balasnya lagi, kini kepalanya sudah seperti arang dan batu; hitam nan keras.

“Nyatanya, yang jadi raja justru anak yang bukan milikmu, padahal dia sudah makan beras dan yang lain makan tanah.”

“Anakku pasti jadi Raja!"

Kolot!

“Harusnya kau beri dia susu, bukan air comberan!” Maki para dukun, merengek sama seperti bayi, dan bayi itu sendiri justru meringis, menertawakan wanita yang terlalu tinggi memberi sanjungan. Dihujatnya wanita oleh puluhan bekas jelata di tanah hitam bergambut, tertelan api yang meranggaskannya hidup-hidup.

“Anakku makan Tanah, tapi dia yang jadi Raja!” ujar mereka, melemparkan tumpukan pisau padanya. Mengumbarkan raja baru, padahal tidak ada yang tahu maksudnya.

Wanita itu menggila, tidak terima dengan jantungnya yang dimakan mentah-mentah. Mendengar makian koloni yang dahulu meliukan lengan berkoreng padanya. Memohon nasib secuil. Tapi kini dia yang harus mengais nasib, meminta secuil.

 Dia tetap tidak terima, baginya anaknya yang raja. Bukan orang lain.

Sampai suatu hari, sang bapak pulang. Membawa sekaleng susu yang diperasnya dari sapi. Tidak ada ibu, ibu dan ibu di kota mau membagi satu tetes asi kepada yang bukan bayinya sendiri. Apalagi kepada bayi yang tidak dianggap bayi. Tapi pajangan yang disembah-sembah, seolah batu yang tidak bernyawa atau kayu yang digergaji sendiri.

Bayinya menangis, mengantong susu di sakunya dan memamerkannya pada bapak. Lalu dimainkannya seperti bola. Menendangnya dengan siku-siku di tangan. Menggelindingkannya dengan kepala. Bahkan menggigitnya dengan gigi putih berkotak, sampai jejak giginya tertanam berhari-hari, tidak hilang. Si bapak melongo, tertawa sebab si bayi yang lucu; padahal sejatinya itu adalah penghinaan, lantaran pergi dengan waktu paling dibutuhkan, dan kembali di kala tidak ada lagi kesabaran yang bisa tumbuh dari bayi yang telah menelan banyak tai.

“Rupanya, dia tidak bisa minum susu.”

Ya, benar. Bagi itu hanya bisa minum bubuk misiu. Lalu digunakannya menembak orang-orang. Juga ibunya sendiri, yang memberinya air comberan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi