“Eh, Amel!” sapa Intan saat dia membuka pintu rumahnya. Rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang karena terlalu semangat. “Kok baru datang?”
“Iya, maaf.” Amel menundukkan kepalanya sambil mengusap keringat di dahinya. Nafasnya masih terengah-engah. “Tadi aku ke rumah Tante Ika dulu. Nganterin pakaiannya yang dijahit Ibu. Tante Ika minta tolong cepat, jadi aku harus mampir dulu.”
“Enggak apa-apa kok. Ayo masuk!” ajak Intan dengan senyum riang. Dia lalu menyingkirkan sandal kecil berbentuk kelinci dari depan pintu agar Amel bisa lewat.
Rumah Intan terasa wangi seperti sabun bayi. Ruangan itu rapi, tapi terasa sepi. Hanya suara kipas angin yang berputar pelan menemani mereka. Ketika Amel masuk, dia merasa nyaman seperti memasuki tempat yang sudah sering ia datangi—meskipun sebenarnya dia baru dua kali main ke rumah Intan sebelumnya.
Mereka berjalan menuju kamar Intan. Di sepanjang lorong terdapat beberapa bingkai foto—foto Intan bersama keluarganya; Mama yang cantik memakai blazer kerja, Papa yang memakai jas, dan Kakak Dida yang sudah remaja dan tampak dewasa. Tetapi dalam foto itu, hanya Intan yang tampak tersenyum paling lebar. Seolah dialah satu-satunya yang benar-benar bahagia saat foto itu diambil.
Sesampainya di kamar, Amel menghampiri meja belajar.
“Gimana Tan, udah sampai nomor berapa PR-nya?” tanya Amel sambil membuka tasnya.
“Nomor 5. Tapi aku enggak bisa nomor 3. Pusing!” jawab Intan sambil menjatuhkan diri ke kursinya. Dia membuka lagi buku PR yang sejak tadi tidak disentuh.
“Kalau kamu sendiri, udah sampai nomor berapa?” Intan balik bertanya.
Amel mengeluarkan sebuah buku matematika yang sampulnya sudah agak terlipat. “Aku… uhmm… sudah sampai nomor 7. Tapi…” dia menggaruk pipinya, “nomor 3 aku juga belum bisa.”
“Kalau begitu ayo kita kerjakan sama-sama!” ajak Intan sambil mengacungkan pensil seperti pedang.
Mereka pun duduk berdampingan. Sesekali mereka saling bertanya, terkadang tertawa karena jawabannya salah atau terlalu aneh. Di sela-sela belajar, terdengar suara kucing tetangga mengeong pelan dari luar jendela, membuat suasana semakin hangat.
Setelah beberapa lama, Intan menutup bukunya dan meregangkan badan.
“Akhirnyaaa…” katanya panjang sambil tersenyum lebar.
“Selesai juga PR kita.” Amel ikut menghela napas panjang, senang dan lega.
Ketika hendak beres-beres, pandangan Amel tertuju pada sebuah boneka kura-kura kecil di atas meja belajar Intan. Boneka itu berwarna hijau muda dengan pita merah kecil di lehernya.
“Wah! Lucu sekali boneka itu. Baru ya, Tan?” tanya Amel, matanya berbinar.
“Oh itu,” jawab Intan santai. “Kemarin Mbak Dida yang beliin. Katanya bentuknya mirip aku waktu tidur.”
Amel tertawa kecil lalu mengambil boneka itu dengan hati-hati. Dia memeluknya erat-erat dan berkali-kali menciuminya. Rasanya lembut, wangi, dan sangat nyaman di pelukan. Ada rasa hangat mengalir dalam dirinya—rasa senang seperti menemukan harta karun.
Namun, ketika Amel menyadari boneka itu bukan miliknya, ia buru-buru mengembalikannya.
“Maaf,” ucapnya pelan.
“Enggak apa-apa,” jawab Intan sambil tersenyum. “Boneka ini memang lucu. Aku juga sering memeluknya begitu.”
Amel hanya tersenyum kecil, tapi matanya masih diam-diam memperhatikan boneka itu.
Beberapa menit kemudian, mereka berjalan menuju pintu.
“Sampai jumpa di sekolah ya, Tan,” kata Amel sambil melirik sekali lagi ke arah boneka kura-kura tadi.
Intan berhenti sejenak. Ia melihat bagaimana Amel menatap boneka itu—bukan sekadar suka, tapi sungguh-sungguh ingin memilikinya.
Maka ia berkata pelan namun tegas, “Boneka ini untuk kamu aja, Mel.”
Amel tersentak kaget. “Tidak… aku enggak berani menerimanya. Itu kan pemberian kakakmu. Lagi pula itu boneka kesayanganmu.”
“Sudah,” Intan tersenyum. “Aku tahu kamu suka. Terima ya?”
Amel menggeleng. Tapi Intan tetap mendorong boneka itu ke arahnya.
“Aku sungguh-sungguh memberikannya padamu, Mel.”
Kata-kata itu membuat hati Amel berdebar.
Akhirnya, setelah ragu cukup lama, Amel menerima hadiah itu.
“Kalau begitu… aku pulang dulu ya, Tan,” katanya sambil memeluk boneka itu.
Sesampainya di rumah, Amel langsung duduk di tempat tidur. Tanpa melepas tas sekolahnya, dia kembali memandangi boneka kura-kura itu.
Dia membolak-balikkannya, menciuminya, dan memeluknya beberapa kali. Tapi… ada yang berbeda. Hatinya tidak merasakan perasaan yang sama seperti ketika memeluknya di rumah Intan.
“Kenapa ya? Kenapa rasanya beda?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Boneka itu lucu, lembut, dan sangat manis. Sebenarnya, itu adalah boneka yang selama ini dia impikan. Tapi sekarang, setelah memilikinya, justru muncul rasa aneh dan berat di dadanya.
Dia memejamkan mata, lalu teringat sesuatu.
Teringat tatapan Intan saat memberikan boneka itu.
Teringat cerita Intan—bahwa Mama dan Papa jarang di rumah.
Teringat ruangan Intan yang sunyi, foto-foto yang tampak jauh, dan suara kipas yang seolah menemani kesendirian.
“Bukankah Intan sering sendirian?” gumamnya.
Lalu pikiran lain muncul.
“Apa boneka ini teman Intan selama dia sendirian?”
Dengan cepat, perasaan bersalah memenuhi hatinya. Air matanya menetes tanpa ia sadari.
“Aku jahat… aku egois….”
Dia mengecup boneka kura-kura itu sekali lagi—kali ini bukan karena bahagia, melainkan karena rasa bersalah.
“Aku harus mengembalikan boneka ini.”
Keesokan paginya, Amel berjalan menuju sekolah. Di tangannya, boneka kura-kura itu ia peluk erat. Langkahnya berat, tapi tekadnya kuat.
Seperti biasa, Intan sudah menunggu di persimpangan jalan. Rambutnya diikat rapi, dan ia berdiri sambil menggoyangkan kaki kecilnya.
“Pagi, Intan!” sapa Amel.
“Pagi juga!” jawab Intan ceria.
Mereka berjalan beberapa langkah sebelum Amel memberanikan diri berbicara.
“Intan… aku…”
“Hm? Kenapa?”
Amel membuka tasnya perlahan. Tangan kecilnya gemetar.
“Ini… aku kembalikan.”
Ia menyerahkan boneka kura-kura itu.
Intan mengerutkan dahi. “Lho? Kenapa dikembalikan? Kamu enggak suka?”
Amel buru-buru menggeleng. “Bukan begitu… aku suka. Tapi aku merasa kamu lebih membutuhkannya.”
Intan menatap Amel lama—tatapan hangat namun penuh rasa ingin tahu.
Lalu dia berkata pelan,
“Mel, kamu tahu?” suaranya terdengar lirih, hampir seperti angin berbisik. “Bagiku, kamu adalah sahabat terbaikku. Aku lebih takut kehilangan kamu daripada kehilangan semua bonekaku.”
Amel terdiam. Ia tak menyangka Intan akan berkata seperti itu.
“Aku senang memberikan sesuatu padamu,” lanjut Intan sambil menggenggam tangan Amel. “Bahagia itu… bisa dibagi. Kalau aku melihat kamu tersenyum karena boneka itu, aku juga ikut bahagia.”
Amel tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang turun.
Intan memeluknya.
“Kamu tahu enggak?” kata Intan sambil tersenyum kecil. “Waktu aku memberikan boneka itu padamu, kebahagiaan yang tadinya cuma satu… berubah jadi tiga. Aku bahagia karena memberi, kamu bahagia karena menerima, dan kurasa boneka kura-kura itu juga bahagia karena punya pemilik yang benar-benar menyayanginya.”
Amel tertawa kecil di antara isaknya.
“Kamu memang sahabatku yang paling baik,” katanya sambil memeluk Intan lebih erat.
Dan sejak hari itu, mereka berjalan ke sekolah sambil bergandengan tangan—bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai dua hati kecil yang saling mengajarkan arti berbagi: bahwa hadiah terbaik bukanlah benda, melainkan kehangatan yang tertanam di dalamnya.[]
Almyra Khanza Rahmadina duduk di kelas 8 B SMPIT Darul Abidin Depok,
Almyra senang sekali menulis dan ingin lebih banyak menulis cerita. Kini Almyra sudah di level Penulis Muda II dalam Darbi Writing Club.