Disukai
2
Dilihat
333
1001 CARA MELUPAKANMU
Romantis

Harusnya lusa nanti, menjadi tahun ketiga hubungan kita berlangsung, tapi semua rencana yang sudah aku buat rusak sudah. Kue yang aku pesan jauh-jauh hari untuk memberimu kejutan, semalam sudah menjadi teman dekat rendang sisa masakan Mama di kulkas.

Semalam, tanpa angin tanpa hujan, secara sepihak dengan enaknya kamu memutuskan hubungan kita. Tanpa ada alasan yang jelas, kamu meminta putus. Lebih menyebalkannya lagi, kamu memutuskanku lewat pesan, tidak ada basi-basi, atau sekedar 'maaf' yang tertulis. Hanya satu kalimat "Aku mau putus," darimu dan kamu langsung memblokir nomorku, tanpa menunggu pesan balasan dariku.

Apakah tiga tahun hubungan kita hanya lelucon untukmu?

Apakah selama ini hanya aku saja yang mencintaimu?

Apakah semua ini tidak ada artinya untukmu?

Rasanya seperti tidak nyata, lelaki yang dulu sangat pemalu datang diantar temannya hanya untuk berkenalan dengan perempuan. Dengan teganya, meminta putus hanya lewat chat. Apakah sebegitu rendahnya diriku di matamu? Menyebalkannya lagi, rasanya hanya aku yang menderita, rasanya hanya aku yang tersakiti. Aku ingin meminta penjelasanmu, tapi semua akses sudah kamu blokir.

Sudah satu jam berlalu, dan aku masih bergulir dengan ponselku mencoba mencari cara untuk menguhubungimu, tapi hasilnya nihil. Kamu menutup semua akses, seakan memang sengaja membiarkan aku stress sendiri.

Bahkan Banar_sahabat kamu, dia juga tidak bisa dihubungi. Kalian bersengkongkol ternyata.

Dadaku terasa sesak, tangis sudah tidak bisa kutahan, setiap kenangan kami terputar semakin menambah sesak di dada.

***

Masih terekam dengan jelas, hari itu 100 hari setelah kita jadian kamu datang ke fakultasku hanya untuk memberikan setangkai bunga mawar putih, katanya perayaan 100 hari jadian kita, "Bunga mawar untuk pacarku yang paling cantik." Sial bahkan aku masih ingat bagaimana wajahmu saat memberikan mawar itu padaku, wajah bahagia.

Ketika kencan pertama kita, "Jadi kamu nggak bisa makan wortel? Oke akan aku ingat." Kamu langsung mengambil ponsel dan menulis dicatatan, apa yang aku suka dan tidak suka.

Ketika aku ada kelas sore, terjebak di kampus karena hujan dan semua angkot sudah tidak ada, "Kamu jangan pergi ke mana-mana, tunggu aku. Bentar lagi aku nyampe." Dan setelah itu aku baru tahu, kalau kamu rela meminta izin dari rapat hanya untuk menjemputku di kampus dan mengantarku pulang.

"Zeyaaa~" panggilmu setiap kali aku merajuk.

Panggilnya setiap kali melihatku saat melintas di jalan, sekitar kampus, "Zeyaaa~"

"Zeyaaa~" Suaranya ketika memanggil namaku berputar-putar dalam otakku, sakit sekali.

***

Tangis sudah tidak bisa kubendung lagi, rasanya sangat menyakitkan. Bagaimana bisa tiga tahun bisa berakhir seperti ini? Dia orang pertama yang meyakinkan aku kalau tidak akan ada lagi lelaki yang akan membuatku menangis, karena dia berjanji akan menjadi yang terakhir untukku. Tapi....

Semua omongannya terasa palsu sekarang.

Aku meraih bantal dan menenggelamkan wajahku, menumpahkan semua rasa sedih, kecewa, marah. Sambil dalam hati terus berdoa, Semoga Mama tidak tahu aku sedang menangis. Dan aku jatuh tertidur, karena kelelahan menangis.

***

Kepalaku berdenyut menyakitkan ketika aku bangun, ditambah jendela kamar yang semalam lupa kututup, membuat sinar matahari masuk ke kamar menyilaukan mata. Alhasil aku bangun dengan memegangi kepala dan menyipitkan mata, butuh beberapa menit untuk akhirnya aku bisa berdiri.

Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari cermin, dan aku sungguh terkejut melihat kondisi wajahku pagi ini, "Astaga jelek banget aku," mataku bengkak bukan main, hidung merah, bibir sedikit bengkak juga. Bagaimana ini, gimana nanti kalau Mama tahu?. Panik langsung melanda, bagaimana kalau Mama bertanya macam-macam.

Kepanikanku semakin menjadi, ketika aku samar mendengar suara kak Anna di luar sedang mengobrol, "Kenapa harus pas banget gini sih waktunya," rutukku, padahal biasanya jarang sekali kak Anna pulang dijam segini. Karena ada jadwal di rumah sakit yang mengharuskannya stand bye terus, kak Anna memilih mencari rumah kontrakan yang tak jauh dari tempatnya bekerja, biasanya seminggu sekali atau paling lama sebulan sekali kak Anna akan pulang. Dan hari itu adalah hari ini, astaga Zeya sungguh sial sekali nasibmu.

Ketika aku masih bingung bagaimana caranya supaya tidak ketahuan habis menangis, tiba-tiba pintu kamarku diketuk hampir saja aku berteriak, tapi syukur masih bisa kutahan, "Iya," jawabku sebisa mungkin terdengar biasa, walaupun jantungku berdegup sangat cepat.

"Sayang keluar yuk, kamu belum sarapan loh."

"Iya Ma, sebentar."

Kalang kabut, bagaiman ini? Mataku berputar mencari apakah ada benda yang pas untuk menutupi bengkak di matanya, "Ah, pake kaca mata aja," ucapku dan langsung menyambar kaca mata di atas meja, sekali lagi mengecek di cermin. Masih keliatan bengkak tapi sedikit tersambarkan, "Oke nggak masalah, habis ini cuci muka," aku segera keluar kamar dan berlalu ke kamar mandi.

Aku langsung membuka keran air dan membasuh mukaku sebanyak mungkin, kalau bisa sampai membuat mataku menjadi merah. Dan terakhir sebelum keluar, aku mencelupkan mukaku ke ember berisi air, menahan napas beberapa saat sambil mata tetap terbuka, supaya nanti kalau ada yang nanya kenapa mataku merah, aku bisa menjawab habis cuci muka. Setelah dirasa sepertinya sudah cukup, aku kembali memakai kaca mata dan keluar kamar mandi, menuju ruang makan.

"Anak gadis bangun jam segini, mau jadi apa?," kak Anna berkomentar ketus sambil membuka toples berisi kripik singkong.

Aku melirik sinis kak Anna, sambil menarik kursi.

Mama langsung melambaikan tangannya, "Anna."

"Manjain aja terus, Ma."

"Kakak kalau pulang cuma mau ngomel mending nggak usah pulang deh," jawabku terpancing emosi juga.

"Zeya," kali ini Mama menatapku.

Kak Anna melirik malas, dan tersenyum sinis, "Udah berani jawab, sekarang kamu ya," ucapnya ketus.

"Sudah-sudah," ucap Mama tegas.

Aku dan kak Anna saling lirik sinis.

Nadi uduk yang sejak tadi ku makan, rasanya hambar. Padahal ini makanan kesukaanku, biasanya kalau masuk siang, kami suka berangkat bareng dan mampir untuk sarapan di warung nasi uduk bu Prapti, tak jauh dari kampus.

Ah, sial. Lagi-lagi aku teringat kenangan kami.

Hampir saja aku kembali menangis, dengan cepat aku langsung mengusap mataku dengan kasar, sambil melihat sekitar memastikan tidak ada yang sadar kalau aku menangis. Aman, Mama dan kak Anna terlihat sedang mengobrol seru.

Setelah menghabiskan nasi uduk dengan susah payah, aku kembali ke kamar. Menenggelamkan diriku di kasur, menutup seluruh tubuhku dengan selimut, mengambil earphone dan mendengarkan lagu dengan volume keras.

Karena suara volume yang keras dan aku yang menutup diri dengan selimut, aku sama sekali tidak tahu ada yang masuk ke kamarku, dan menyibak selimutku. Cahaya langsung merasuk dikedua bola mataku, membuat yang tadi gelap sekarang terang benderang, aku membulatkan mata mencerna apa yang baru saja terjadi dan melihat kak Anna masih berdiri di pinggir kasur menatapku tanpa ekspresi. Perempuan itu, melepaskan earphone dikedua telingaku, meletakkanya di nakas, meraih kedua tanganku dan mendudukanku.

"Kamu ada masalah apa? Cerita sama kakak," suara kak Anna terdengar normal, tidak ada nada suara marah, atau sedih, terasa normal. Saking normalnya malah membuat aku ingin menangis.

Aku hanya menggelengkan kepala, tapi air mataku sudah kembali turun.

"Siapa yang buat kamu nangis dek?" tanyanya mendesak.

Aku masih menggeleng, rasanya malu harus memberi tahu kak Anna bagian terendahku.

Kak Anna terlihat memejamkan mata beberapa detik, ia langsung menarik tubuhku dan memelukku erat, mengelus punggungku dengan sayang, dan membuat pertahananku melemah. Tangisku kembali pecah, dan aku memeluk erat tubuh kak Anna.

"Kamu itu kalau ada masalah cerita, jangan dipendam sendiri kaya gini," sambil mengelus-elus punggungku, "Kalau hari ini kakak nggak pulang, mau sampai kapan kamu memendam semua sendiri kaya gini?"

Setiap ucapan kak Anna hanya aku jawab dengan tangisan.

Hampir satu jam, kak Anna memelukku sambil terus tangannya mengelus punggungku menenangkanku, "Udah tenang?" tanyanya ketika tidak lagi mendengar tangisku, pelan aku menengadahkan kepala, "Kenapa kamu?"

Air mataku kembali keluar, "Kak."

"Iya," kata kak Anna sambil mengelus lembut wajahku.

"Robi putusin aku lewat chat, kak."

Kak Anna terlihat menghela napas, "Sebelumnya kalian ada masalah apa?"

Aku menggeleng, "Enggak ada, kami baik-baik saja. Bahkan lusa besok anniv kami kak."

"Astaga," gumam kak Anna dan kembali memelukku kali ini lebih erat.

"Aku harus gimana sekarang, kak?"

Kak Anna terdiam, terlihat berpikir dengan alisnya yang bertaut, cukup lama hingga akhirnya ia berkata, "Bertahan."

"Betahan gimana kak? Aku bahkan enggak tahu salah aku di mana, dia tiba-tiba putusin aku gitu aja enggak ngasih penjelasan apa-apa, langsung blokir kontak aku. Sahabatnya aku chat, centang satu. Gimana caranya aku bisa bertahan kak?" jawabku terdengar putus asa.

Kak Anna menyentuh kedua bahuku, menatapku lekat, "Ya kalau gitu marah, temuin dia. Marah sama dia, kalau mau tampar sekalian. Jangan kaya gini, nangis semalaman makan nggak selera, kamu yang sakit di sini, dia!?"

Aku tidak tahu, apakah Robi juga merasakan sakit, atau seperti kata kak Anna hanya aku sendiri yang sakit sendiri. Apa yang dibilang kak Anna memang benar, tapi aku tidak akan mungkin punya keberanian untuk mendatangi lelaki itu dan melabraknya. Rasanya menyebalkan, sendirian merasakan sakit. Saking menyebalkannya, rasanya aku ingin menghilang saja.

Tanggal, 12 Mei

Tepat tiga tahun hubungan kami, harusnya. Harusnya ini menjadi tanggal perayaan tiga tahun hubungan kami, tapi semua hanya kenangan karena hubungan itu sudah kandas beberapa hari lalu. Pagi itu aku terbangun, mendengar suara berisik di dapur. Sepertinya Mama sedang melakukan eksperimen, akhir-akhir ini semenjak berteman dengan bu Ina_tetangga sebelah, Mama jadi suka berekperimen di dapur.

Setelah mengumpulkan nyawa, aku keluar kamar. Kak Anna terlihat duduk di sofa sambil membaca jurnal-jurnal medisnya, terlihat sesekali bersin-bersin.

"Kakak lagi nggak sibuk di rumah sakit?" tanyaku sambil menuangkan air di gelas.

Kak Anna mengangkat wajahnya dari jurnal dan terlihat tisu yang ia pasang di kedua lubang hidungnya, menahan ingusnya, "Hari ini nggak ada pasien yang urgent, jadi jam kakak lebih fleksibel, tapi kalau ada telpon harus langsung ke rumah sakit."

Aku tidak bisa menahan tawa, ketika melihat kak Anna yang berusaha menjawab pertanyaanku sambil bersin, pasti karena aroma kuat dari masakan Mama, "Aku saranin deh, mending kakak larang Mama untuk jangan temenan sama bu Ina lagi," celetukku berjalan ke arah sofa.

Kak Anna mengambil tisu lagi, menyeka hidungnya, "Tapi cuma bu Ina doang yang positif vibe, enggak kaya temen-temen Mama yang lain."

"Karna kakak jarang pulang jadi enggak tahu, hampir tiap hari Mama eksperimen di dapur. Entar kamu habisin semua ya masakan Mama," kataku dan berlalu menuju kamar mandi.

Kak Anna kembali bersin lagi.

Mama dengan senyum lebarnya meletakkan dua piring dengan masakan warna hitam, diletakkan di atas meja. Aku melirik kak Anna, sepertinya kami sama-sama punya pikiran yang sama 'makanan apa ini?'

"Mama enggak ada niatan mau ngeracunin kami kan?" celetukku, "Aww, sakit kak," baru saja kak Anna menyikutku.

"Lagian mulut, kaya nggak pernah di sekolahin aja."

Toh memang benar, masakan yang kali ini Mama buat terlihat sedikit mengerikan. Warnanya hitam pekat, dengan asap yang mengepul karena baru saja matang, kuah yang melimpah ruah, dengan aroma yang 'cukup lezat', tapi kalau melihat penampilannya sepertinya rasanya akan jauh berbanding dengan aromanya.

"Cobain dulu baru nanti komen," kata Mama sambil menyodorkan semangkuk sup hitam ke arahku, dengan perasaan was-was aku menerima. Melirik kak Anna yang sudah lebih dulu mendapat jatahnya, menunggu perempuan itu menyendok.

"Kenapa kamu ngeliatin kakak?" katanya sinis.

Aku hanya nyengir, "Ya, tahulah kak." Kelinci percobaan, karena biasanya aku yang jadi kelinci percobaan eksperimen Mama sekarang gantian kakaknya. Aku menunggu dengan cemas, kak Anna yang mau menyuap, terlihat ia menelan ludah khawatir juga, dengan warna hitamnya.

"Emm, enak. Enak dek cobain deh," kalau melihat dari wajah kak Anna sih terlihat kakaknya itu tidak sedang menipu, tapi kenapa rasanya tetap ragu ya.

Mama yang melihat wajah kak Anna langsung tersenyum lebar, mengangkat bahunya tinggi-tinggi merasa sudah berhasil dengan eksperimennya kali ini, "Enak kan. Nah cobain sekarang, Ze."

Tanganku dengan pelan menyendok, oh ternyata ada dagingnya juga, apa ini seperti sup daging gitu? Oke pertama kita coba supnya dulu, tangan kiriku sudah stand by memegang gelas sapa tahu dirinya membutuhkan minum kalau ternyata kak Anna menipunya, dengan pelan dan terlihat penuh kehati-hatian, aku mendekatkan sendok ke mulut, menyeruput sup, dan...

Mataku membulat, "Iya bener kak, enak," ini eksperimen paling berhasil yang Mama buat.

"Makanya jangan judge dulu kalau belum dicobain."

"Tapi warnanya emang ngeri Ma, tapi ini apa Ma?" tanya kak Anna yang sekarang menambahkan nasi di mangkuknya.

"Namanya rawon, tapi kayaknya Mama kebanyakan ngasih kluwek-nya jadi warnanya keiteman."

Pantas saja warnanya hitam pekat seperti jamu, ternyata Mama terlalu banyak menaruh kluwek salah satu rempah berwarna hitam, bahan utama membuat rawon.

"Emmm, wangi apa ini? Enak banget," suara cempreng terdengar dari arah depan.

Kak Anna langsung berdiri, "Aku lupa, tadi minta Baim datang."

"Baim, sini ikut sarapan," seru Mama.

Dan tubuh kak Baim sudah menyembul dengan senyum bodohnya, berjalan mendekat ke meja makan dan bergabung. Kalau melihat dari sikapnya yang ceroboh dan terkesan bodoh, orang tidak akan percaya kalau kak Baim itu dokter. Dulu aku pernah tanya apa yang membuat kak Anna suka sama kak Baim, dan dengan senyum malu-malu kak Anna menjawab, kak Baim salah satu orang yang selalu memikirkan orang lain terlebih dahulu baru diri sendiri. Hah, tapi aku tetap tidak akan percaya karna kak Anna itu kalau udah suka sama orang jadi bulol_budak cinta tolol.

"Yah kenapa pas kak Baim dateng, masakan Mama pas lagi enak," celetukku.

"Masakan tante emang selalu enak kali, dek," jawab lelaki itu sambil menyendok nasi, sudah seperti rumah sendiri saja lagaknya.

"Segitunya banget ngejilatnya kak, biar diterima jadi mantu," jawabku julid, tentu saja di sudut sana terlihat tatapan maut kak Anna, yang hanya aku balas dengan menaikkan bahu, tidak perduli

Wajah Mama sudah bersemu merah, sejak tadi tak berhenti mendapat pujian karena masakannya, "Sudah-sudah, makan aja yuk."

Kak Baim tersenyum, "Makasih tante."

Ketika kami sedang asyik sarapan sambil sesekali tertawa karena guyonan receh kak Baim, terdengar ketukan pintu, "Permisi, paket."

"Kamu pesen paket dek?" tanya kak Anna, aku menggeleng.

Kak Anna berdiri berlalu ke depan, karena hanya ia yang sudah menyelesaikan sarapannya, dari dapur kami bisa mendengar samar percakapan antara kak Anna dan kurir yang berada di depan, "Terima kasih pak," ucap kak Anna, sambil menutup pintu.

"Buat kamu tuh dek," ucapnya, sambil menyerahkan kotak berukuran sedang ke arahku.

Membuat alisku bertaut, "Dari siapa kak?"

"Nggak ada tulisan pengirimnya, dan bapak kurirnya tadi juga enggak tahu siapa yang kirim. Aneh banget," jawab kak Anna sudah kembali duduk.

"Kamu punya penggemar kali," kata kak Anna yang sudah kembali duduk.

"Ngaco, kalaupun ada pasti itu dari..." ah sial, lagi-lagi aku teringat lelaki itu lagi.

Melihat situasi yang jadi tidak enak, kak Baim berkata untuk mencairkan suasana, "Apa isinya dek?" tanya kak Baim.

"Bentar-bentar, ini agak banyak bubble warp-nya."

Setelah beberapa saat bergelut dengan bubble warp, akhirnya terbuka. Sebuah kotak berwarna violet terlihat, jantungku berhenti berdetak. Hanya satu orang yang akan memberiku hadiah dengan kotak warna violet, tapi sepertinya tidak mungkin. Aku membuka pelan tutup pada kotak, dan terlihat hatiku kembali teriris rasanya.

Bingkai foto berukuran A4, berisi foto-fotoku yang diambil candid.

"Dek kenapa?" tanya kak Anna, melihat wajahku yang berubah.

Aku menunjukkan bingkai foto pada kak Anna, dan aku merasakan tangan kak Anna sudah merangkul bahuku, "Maksud dia apa gitu loh kak?"

Kemarin seenaknya meminta putus, sekarang seenaknya juga kirim hadiah. Apa menyenangkan mempermainkan perasanku seperti ini?

Ada secarik kertas yang sedikit tersembunyi, tertutup kertas-kertas. Aku menariknya pelan, dan langsung menyesal. Sebuah foto polaroid, dengan wajahku yang lagi-lagi candid dengan simbol love jarimu, di bagian bawahnya tertulis tulisan tanganmu, 'My love for you, always forever.'

Anj*ng!!!

***

Setelah lima hari memutuskan membolos, hari ini aku kembali berangkat kuliah. Sejak pagi aku sudah bersiap, dua puluh menit berkutat di depan cermin mencari pakaimana mana yang cocok. Dan setelah berpikir lama, aku memutuskan mengambil kemeja putih dipadukan dengan vest dan celana bahan, mengambil tas canvas, "Oke aku siap berangkat."

"Ze, kamu berangkat naik apa?" Mama yang sedang sibuk mengurus tanamannya, bertanya ketika melihat aku sedang memakai sepatu.

"Angkot Ma," jawabku sambil berdiri, "Berangkat dulu," mengapiri Mama dan berlalu pergi.

Matahari terasa cukup terik ketika aku berjalan menuju jalan depan, menyesal tadi tidak membawa payung. Tapi ya sudahlah.

Segera aku menaiki angkot yang sedang ngetem tak jauh dari gapura, dan menunggu beberapa menit sampai penuh baru angkot itu jalan. Sepanjang jalan, aku terus berharap semoga hatiku kuat ketika nanti di kampus tidak sengaja berpapasan dengan Robi, semoga air mataku bisa diajak kompromi.

Tapi ternyata sampai kelasku selesai, aku sama sekali tidak melihat batang hidung Robi hanya melihat rombongan teman-temannya tanpa lelaki itu, bahkan Banar yang selalu menempel pada Robi saja juga tidak terlihat batang hidungnya.

"Zeyaaa," seru seseorang sambil merangkul bahuku.

Aku sedikit berjengkit karena kaget, "Astaga ku kira siapa," ternyata Ara_teman dekatku di kampus.

"Hari ini mau ke mana?" tanyanya masih bergelendot, "Tumben sendirian, ayang embebs Obimu mana?" ucapnya lagi kali ini dengan suara yang diimut-imutin.

Aku memilih diam.

"Ze, eh malah diem sekarang."

"Hah, enggak. Yok cari makan," ajakku.

Ara terlihat mengendikkan bahu dan mulai berjalan masih menggandeng tanganku, "Ayangmu masih ada kelas ya?"

Karena lama-lama tak tahan juga, aku menghentikan langkahku membuat Ara sedikit tersengkat, ia menatapku bingung, "Aku udah putus sama Robi."

Tangan Ara yang menggandengku mengendur, matanya terlihat membulat tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan, "Bohongkan kamu?" aku menggeleng kepala, mengatakan bahwa aku tidak berbohong, melihat aku yang menggelengkan kepala, malahan membuat Ara menangis.

Karena malu dilihat banyak orang, karena kami masih berada di sekitar lobi. Aku segera menarik tangan gadis itu ke taman, "Aku yang diputusin, kenapa kamu yang nangis sih?" ucapku gemas, sambil mencari tisu.

"Habisnya aku nggak percaya, kisah kalian itu bahkan lebih indah dari pada cerita princess manapun. Dan aku kira Robi akan jadi satu-satunya cowok yang bisa menakhlukkan hati esmu, tapi kenapa kalian putus? Aaaa, nggak relaaa."

Aku hanya bisa menggaruk kepala, "Udah ah, malu diliatin banyak orang."

Sejak tadi sudah ada tiga orang yang berjalan di depan mereka, dan menoleh karena suara cempreng Ara. Kalau saja dia bukan temanku, sudah aku buang ke kolam nila di depan sana.

"Gimana ceritanya kalian bisa putus? Bukannya kalian selama ini baik-baik saja?"

"Aku juga nggak tahu Ra, aku diputusin sepihak sama dia."

Tiba-tiba Ara langsung berdiri membanting tas kainnya, "Bajing*n ternyata dia! Bisa-bisanya nyakitin sahabat aku. Aku nyesel pernah ngerestuin kalian, ku kira anaknya baik, polos, nggak neko-neko, ternyata. Anj*ng!"

Kenapa sekarang aku yang malah takut, tadi nangis-nangis kaya orang kesurupan, sekarang malah misuh-misuh kaya orang gila. Tolong, aku malu.

Ara langsung meraih kedua tanganku, "Kamu tenang aja, cowok anj*ng kaya dia nggak usah ditangisin. Dia itu nggak lebih dari pengecut, air matamu nggak pantes buat nangisin dia."

"Iya iya udah ya, aku malu."

"Kenapa malu? Karena pernah jadi pacar Robi?"

"Karena kamu berisik, liat semua orang ngeliatin kita!"

Ara langsung memutar kepalanya melihat sekeliling, dan kondisi taman yang lumayan cukup ramai karena memang selalu menjadi spot andalan semua mahasiswa untuk mengerjakan tugas, atau hanya sekedar duduk-duduk mengobrol, beberapa orang melirik penasaran ke arah kami. Gadis itu kembali duduk, mengambil tasnya, dan menutupi wajahnya bersembunyi di balik tubuhku, "Kenapa nggak ngasih tahu dari tadi?" bisiknya.

"Kamunya aja yang nggak sadar."

"Gimana kalau aku masuk berita kampus? Aduh malu banget."

"Bagus dong kalau masuk berita kampus, kan kamu emang mau terkenal."

Ara memukul punggungku, "Rese deh."

***

Hari-hariku berjalan cukup normal, awalnya ku kira aku tidak akan bisa menjalani kehidupanku secara normal, secara tiga tahun seluruh hidupku hampir separuhnya ada Robi dan ketika laki-laki itu menghilang aku kira hidupku juga akan hancur, tapi nyatanya tidak. Aku masih bisa mengerjakan tugas sendiri di perpustaan, makan nasi uduk bu Prapti, makan warmindo di depan kampus, semua kenangan yang dulu kita jalani berdua, kini hanya aku seorang. Dan ternyata aku bisa.

Sore itu setelah jam kuliah, aku berjalan seroang diri keluar dari gedung. Hari ini jadwalku dengan Ara berbeda. Langit terlihat mendung sepertinya sebentar lagi akan hujan, aku melirik jam tangan, berharap masih ada bus atau angkot. Namun belum sampai halte di depan kampus, hujan sudah turun dan berakhir aku berteduh di parkiran. Angin berhembus cukup kencang, membawa titik-titik hujan mengenai wajahku.

Aku tidak suka suasana hujan deras seperti ini, rasanya mencekam dan menakutkan, ditambah aku berada di ruangan terbuka seperti ini. Kenangan ketika Robi datang menjemputku ketika hujan seperti ini kembali terputar, tubuhku yang memang lelah, ditambah hujan deres yang menakutkan, membuat air mataku tanpa sadar keluar. Kenapa dunia harus sekejam ini padaku?

Ketika hujan yang semakin deras, mengalahkan suara tangisku, sebuah mobil berhenti beberapa meter di depanku. Aku langsung memutar tubuh, bisa gawat kalau orang yang berada di mobil melihatku menangis, malu.

"Ayo aku anterin pulang."

Aku langsung memutar tubuh, jantungku berdegup kencang, "Robi?" gumamku, bahuku mencelos ternyata bukan, "Aku nunggu reda aja," ucapku pada Banar.

Tapi lelaki itu bersikeras ingin mengantarku pulang, "Ayo ini hujannya bakalan awet, lagian aku nggak yakin nanti kalau hujannya reda kamu bakal dapet bus atau angkot, sudah ayo bareng aku aja."

"Nggak usah Banar, makasih."

"Yaudah aku tungguin di sini sampai hujannya reda."

Banar melipat payungnya, dan berdiri beberapa langkah di sampingku.

Sepuluh menit berlalu dengan keheningan, hujan masih belum juga reda.

"Kamu yakin nggak mau aku anterin aja?" kata Banar sedikit berteriak mengalahkan suara hujan.

"Enggak."

"Ini udah mau malem loh, yakin banget kamu?"

"Yakin."

"Seriusan?"

Aku menoleh ke arah Banar, menatapnya sebal, "Kamu kalo mau pulang gih sana pulang, aku mau nunggu hujan reda dulu!"

"Ya udah aku tungguin di sini."

Sejak kapan Banar sekeras kepala ini?

Lima menit setelahnya, terlihat curah hujan mulai berkurang dan tidak sederas tadi, aku menghela napas lega, akhirnya. Dan tanpa berkata apa-apa, aku berlalu menerobos gerimis meninggalkan Banar.

"Eh, eh, masih hujan Ze," teriaknya sambil mengikutiku membawa payung.

Banar memayungiku sampai ke halte terdekat, tapi tak langsung pergi dia ikut duduk di sampingku, "Kenapa lagi? Sana pergi," kataku mengusir.

"Aku bakal pergi, kalau kamu sudah naik ke bus."

Aku menggaruk kepalaku frustasi, "Terserah!"

Tapi sampai lima belas menit tak ada tanda-tanda bus datang, aku mulai melirik cemas jam tanganku. Langit sudah semakin gelap.

"Mau aku anter aja?"

Ck, aku berdecak sebal.

"Kali ini aja, karena terpaksa," jawabku sambil berdiri, dan kembali ke parkiran.

Banar kembali berjalan terburu-buru menyamai langkahku.

"Kalau dari tadi kamu mau aku anterin, udah dari tadi juga kamu sampai rumah," kata Banar setelah kami sudah masuk ke mobilnya.

"Berisik deh, dibilangin terpaksa juga aku."

"Iya, iya."

Lelaki itu mulai menyalakan mobilnya, menginjak pelan gasnya, dan berlalu keluar dari pelataran kampus. Hujan kembali turun ketika kami berada di jalan, aku menatap air hujan yang mengenai jendela.

"Kamu dingin nggak, AC-nya mau naikin? Atau mau pake selimut itu di bangku belakang ada selimut," kata Banar.

"Berisik deh, fokus aja nyetir."

"Buset galak banget."

Ingat, kondisiku hari ini tidak begitu baik. Seharian tadi kuliah dari pagi sampai sore, kejebak di kampus karena hujan dan sekarang harus kembali terjebak di dalam mobil dengan sahabat mantanmu, yang sejak tadi berisik, "Maksud kamu apa sih?"

Banar melirik sebentar, sedetik kemudian kembali fokus menyetir.

"Kamu dan sahabatmu itu, kalian maunya apa sih?"

Banar masih diam, fokus menyetir.

"Menyenangkan ya, mempermainkan perasaan orang kaya gini!"

Kali ini Banar tidak bisa lagi fokus, ia langsung membelokkan setir, dan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, "Aku tahu kamu marah sama sifat Robi."

"Itu kamu tahu."

Banar melepas selfbelt, merubah posisnya menghadapku, "Buka laci depanmu."

"Apa lagi sekarang?"

"Udah buka aja dulu."

Aku menurut, dan membuka laci di depanmu. Alisku berkerut, kotak berukuran sedang warna violet, lagi?

Banar memberi isyarat untuk membukanya, dengan malas aku membuka kotak itu, "Maksudnya apa?" kataku setelah melihat benda yang ada di dalam kotak.

"Kado ulang tahun," aku hampir saja melempar Banar dengan kotak itu kalau saja ia tidak melanjutkan ucapannya, "Terakhir dari Robi."

"Maksudnya?"

"Buka aja, di situ ada surat."

Aku menaruh kotak musik di atas paha, dan mengambil secarik kertas yang diletakkan di dasar kotar, warna kertasnya sama dengan warna kotaknya, violet.

Dear, Zeya.

Aku tebak kamu pasti lagi buka kado dariku, selamat ulang tahun ya. Maaf cuma kadonya aja yang dateng, akunya enggak.

Surat ini aku tulis, beberapa hari setelah aku didiaknosa dokter ternyata aku mengidap kanker kelenjar getah bening. Kata dokter kemungkinan aku bisa bertahan lama, tapi aku ragu Ze. Aku takut nggak akan mendapat kesempatan itu. Kankerku sudah masuk stadium akhir, tanpa gejala. Beberapa hari lagi aku akan dioperasi, kalau berhasil kado ini akan aku kasih sendiri, tapi kalau gagal mungkin Banar yang akan ngasih buat kamu.

Maaf aku terlalu pengecut, karena nggak berani ngasih tahu ke kamu apa yang sebenarnya terjadi dan malah menyakitimu. Aku rela kamu benci sama aku, aku rela kamu hapus semua kenangan kita, aku rela, asal kamu bisa menjalani hidupmu tanpa beban. Biar aku saja yang membawa kenangan kita berdua, biar aku yang menanggung semuanya. Aku akan bawa seluruh kenangan, rasa sayang, cinta kita berdua bersama tubuhku yang dikubur, biar kamu bisa bebas melangkah tanpa terbebani. Dari dulu kamu itu selalu menjadi pertama dan terakhir untukku, kamu akan selalu berada di dalam hatiku. My love for you, always forever.

Suatu saat nanti, kalau ada lelaki yang datang ke kamu, yang bisa menerima kamu dengan baik, yang bisa menyayangi kamu dengan baik, jangan ditolak ya.

Robi.

Dadaku terasa sesak, sakit sekali. Kenapa akhirnya seperti ini?

"Kenapa temanmu harus menjadi brengsek sampai akhir seperti ini?" suaraku sudah tidak jelas, karena air mata sudah tak bisa terbendung lagi.

"Aku minta maaf, atas nama Robi, dan aku juga minta maaf karena menyembunyikan ini dari kamu."

Hari itu, semua lembar kenangan yang aku tutup paksa, kini terbuka satu per-satu, hujan membawa kesedihan, tangis, dan juga kenangan.

***

Tiga hari sejak aku tahu kematian Robi, suasana rumah menjadi semakin suram. Mama dan kak Anna tak ada yang berani menanyaiku, mereka memilih membiarkanku menenangkan diri. Hari itu setelah aku menangis cukup lama di mobil Banar, lelaki itu mengantarkanku ke rumah, dan lelaki itu juga yang menceritakan semuanya pada Mama dan kak Anna yang kebetulan hari itu masih di rumah belum kembali ke rumah sakit.

Aku hanya mendengarkan Banar menceritakan semua yang terjadi pada Robi, di dalam kamar. Semalaman aku mengunci diri di kamar, dan menangis. Membuka semua kotak berisi kenangan kami, menatapnya satu persatu.

Dan hari ini setelah tiga hari mengunci diri, aku keluar kamar.

Hal pertama yang aku lakukan, memeluk Mama, "Maaa..."

Mama yang sedang menyapu terkejut karena tiba-tiba dipeluk dari belakang, "Aduh, anakku yang malang," ucapnya sambil membalas pelukanku dan mengelus lembut punggungku, "Nggak apa-apa ya sayang ya. Kamu bisa ya."

"Aku nggak yakin, Ma."

Mungkin aku lebih bisa terima kalau kamu putusin aku karna sudah tidak cinta, tapi yang terjadi...

Kamu memilih menjadi berengsek dan pengecut seperti ini, hanya untuk membuatku bisa melanjutkan hidup tanpa memikirkanmu, tanpa harus terbayang olehmu. Tapi apa kamu sadar, apa yang kamu lakukan malah membuatku merasa bersalah. Karena aku tidak bisa berada di sisimu, disaat" terakhirmu.

***

"Sudah siap?" Banar bertanya padaku sekali lagi, memastikan kalau aku tidak akan berubah pikiran.

Aku menjawab dengan mengangguk mantap, "Ya aku siap, aku siap buat ketemu Robi."

Satu bulan kemudian, aku memberanikan diri datang ke makam Robi ditemani Banar. Aku harus menunjukkan pada Robi, kalau aku bisa menjalani hidupku dengan baik seperti yang dia harapkan.

"Makasih ya Nar, sudah mau nemenin aku ke makam Robi," kataku ketika kami berada di dalam mobil.

"It's oke, tugasku."

Jalanan tidak begitu padat pagi ini, sekitar lima belas menit kami sampai di TPU. Sekali lagi aku mengatur napas, "Kamu bisa, kamu bisa."

"Yuk," ajak Banar.

Aku berjalan beberapa langkah di belakang Banar, mengikuti lelaki itu dan setelah melewati beberapa nisan, lelaki itu berhenti tepat di satu makam, "Hai, Robi lihat aku bawa siapa?" ucapnya.

Aku memasang senyum lebar, menatap nisan bertulis namamu, "Hai sayang," dan berjongkok di samping Banar.

Tanganku mengusap pelan batu nisan, dan meletakkan buket bunga di atasnya, "Aku bawain kamu bunga kesukaanmu, Violet."

Kini aku sadar, membencimu memang cara paling cepat untuk melupakanmu, tapi jadinya aku menutup mata dengan semua senyum, tawa, dan kebahagiaan yang kamu beri. Kini aku sadar, maksud kak Anna menyuruhku untuk bertahan, rasa sakit ini memang ada, kecewa sudah pasti, tapi yang harus kita lakukan bukan denial, melainkan menerima. Terima rasa sakitnya, terima rasa kecewa, hingga kita puas merasakannya, baru kita tahu waktu yang tepat buat menerimanya. Sekarang aku menerima semua, aku ikhlas, dan aku terima semua pilihan yang kamu ambil.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Sama-sama, semangat, Kak
@darmalooooo : Terima kasih, kak
Menarik
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi