Tinta Darah
13. 13

69.LORONG-MENJELANG PAGI

Dengan penuh kepanikan Ranaya berlari di lorong menuju kamarnya. Lalu sesaat kemudain Elin muncul sambil berlari dan setengah terhuyung. Beberapa kali Elin harus berpegangan pada tembok dan memegang kepalanya. Tapi Elin terus berusaha mengejar Ranaya yang telah masuk ke kamarnya.

CUT TO

70.KAMAR RANAYA-MENJELANG PAGI

Ranaya mengambil penggaris besi di atas kasur, kemudian bergegas sembunyi di balik tembok sambil berjongkok.

Begitu Elin masuk, Ranaya langsung menarik kaki Elin.

Elin terjatuh dengan wajah membentur lantai.

Tak ingin kalah, Elin langsung bangkit dan berusaha menusuk Ranaya. Tapi Ranaya kembali berhasil menahannya dengan penggaris besi.

Merasa lebih unggul, Elin tersenyum dan semakin kuat mendorong pisau. Hingga penggaris Ranaya terbelah dua.

Ranaya tak berkutik saat Elin menempelkan ujung pisau pada lehernya.

ELIN

Wanian kamu ya, ngarayu suami urang. Dasar murahan.

RANAYA

(TERTAWA SINIS)

Aku sengaja melakukannya agar kalian bisa saling bunuh.

ELIN

KURANG AJAR MANEH!

Elin menekan ujung pisau hingga leher Ranaya terluka dan meringis kesakitan.

Tangan kanan Ranaya perlahan mengambil salah satu patahan penggaris besi.

RANAYA

Lakukan! Ayo cepat lakukan. Aku tak ingin ada yang bertahan hidup di rumah ini.

Elin yang sedikti ragu, kian melotot.

Lalu seketika Ranaya menancapkan penggaris besi di mata Elin hingga bola matanya pecah diiringi jeritan Elin yang memegangi matanya.

Ranaya sempat menahan tangannya pada penggaris agar Elin semakin tertekan. Hal ini membuat tangan Ranaya ternodai darah Elin dari matanya.

Elin yang panik dan menjerit, bangun dari duduk lalu berjalan mundur sambil terus memegangi mata yang masih tertancap penggaris besi hingga ke luar kamar.

CUT TO

71.LORONG DEPAN KAMAR RANAYA-MENJELANG PAGI

Elin terus berjalan mundur, hingga tanpa disadari diri dia telah berada di ujung pagar kayu pembatas lantai atas. Elin yang tak siap, tidak dapat dapat menahan tubuhnya dan dia terjatuh ke lantai bawah.

Ranaya ke luar kamar begitu mendengar jeritan Elin saat terjatuh.

Sebelum menyentuh lantai, tubuh ELin sempat terkena kayu pembatas tangga dan akhirnya tergeletak di lantai tak bernyawa lagi.

Ranaya menyaksikan semua itu tanpa ekpresi. Tidak tersenyum, tidak juga menangis.

Setelah beberapa detik melihat tubuh Elin tak bergerak di bawah, Ranaya kembali ke kamar.

CUT TO

72.KAMAR RANAYA-MENJELANG PAGI

Ranaya masuk ke kamar dangan kaki yang masih tertatih. Beberapa saat Ranaya memperhatikan seisi kamarnya yang berantakan dan banyak noda darah. Lalu Ranaya berjalan lagi menuju meja rias, dan mengambil kertas hasil tulisannya yang bertebaran di bawah meja rias dan spidol.

Setelah semua kertas terkumpul, Ranaya bangun. Di depan cermin meja rias, Ranaya memandangi dirinya yang penuh noda darah baik di wajah, di leher, di gaun, dan terakhir di tangannya. Dia mengangkat tangan kanannya itu dan memandanginya sambil diputar perlahan.

Selama beberapa saat Ranaya memandangi dirinya lagi di depan cermin. Kemudian dia keluar kamar sambil membawa kertas-kertas itu.

CUT TO

73.LANTAI 2-MENJELANG PAGI

Ranaya berjalan menyusuri lorong, lalu menuruni tangga dengan langkah tertatih dan wajah yang datar.

Sesampainya di bawah, Ranaya diam sejenak memandangi mayat Elin yang telungkup di dekat tangga. Dengan sisa tenaga, dan peasaan mual, Ranaya berusaha mencari kunci yang mungkin disembunyikan di baju Elin. Namun hasilnya nihil. Dari kejauhan, Ranaya menatap mayat Dodi yang tergeletak di ruang tamu. Lalu ia berjalan lagi menuju ruang tamu.

Saat melewati ruang keluarga, Ranaya melirik mayat Dodi yang telentang dan menganga mulut serta lehernya. Kali ini Ranaya tak kuat menahan mual. Dia muntah.

Meski begitu, Ranaya tetap harus mencari kunci untuk bisa keluar dari sini, segera sebelum darahnya habis.

Ranaya meraba merogoh semua kantong celana dan baju Dodi. Hasilnya tetap tidak ada.

Ranaya menatap seisi bangunan yang besar dan banyak barang. Ranaya terkulai pasrah di sebelah mayat Dodi sejenak. Kemudian dia berjalan menuju pintu utama.

CUT TO

74.RUANG TAMU UTAMA-SUBUH

Ranaya berjalan lesu hingga dia tepat di depan pintu. Tatapannya kosong menatap keluar pintu yang telah di tralis permanen.

FX: SUARA AYAM BERKOKOK

Ranaya seolah tersadar dari lamunan, kemudian ia duduk dan bersandar pada tembok di dekat pintu.

Dengan tangan gemetar, Ranaya memandangi kertas hasil tulisan tangannya satu persatu lalu ia letakan di lantai satu persatu juga.

Mulai dari tulisannya dengan bolpoin hitam, spidol merah, hingga ia tiba pada lembar-lembar terakhir yang belum tuntas ia tulis dengan tinta darah.

Ranaya diam beberapa saat memandangi tulisan terkahirnya. Lalu ia memandangi lagi luka, pada kaki yang masih basah dan berdarah campur nanah.

Ranaya menghela napas sambil kembali menatap ke luar pintu bertralis besi yang tak kan bisa ia buka.

Ranaya menganggkat spidol, menempelkan ujungnya pada luka di kaki meski harus menahan sakit, dan mulai menulis dengan jarak cukup jauh dari paragraf sebelumnya.

INSERT-KERTAS PADA TANGAN KIRI RANAYA

Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menunggu kematian.

TAMAT.

Setelah meletakan kertas terakhir di lantai, mata Ranaya tertuju pada lembar pertama tulisannya yang pernah diremas Elin dan belum diberi judul.

Ranaya mengambil kertas itu dan nampak berpikir beberapa saat. Lalu, Ranaya menyentuh luka pada lehernya dengan jari telunjuk.

Dengan keadaan tangan yang masih gemetar, Ranaya memandangi sejenak darah yang menempel pada ujung jari telunjuknya. Lalu Ranaya mengambil lembar pertama tulisannya itu.

INSERT-KERTAS PADA TANGAN KIRI RANAYA

Dengan darah di ujung jari telunjuk, Ranaya mulai menulis di posisi paling atas pada kertas. Ia menuliskan sebuah judul untuk kisah yang ia tuliskan secara perlahan, yaitu.

TINTA DARAH.

Setelah itu pandangan Ranaya mulai kabur dan terlihat miring. Lalu semua menjadi gelap.

CUT TO

75.RUANG TAMU-PAGI

Sauara bising mesin gergaji serta silaunya sinar matahari, perlahan menarik kesadaran Ranaya.

Kita melihat samar-samar beberapa orang berdiri di depan pintu tralis besi. salah satunya sedang memegang gergaji besi.

Setelah tralis besi berhasil terbelah, mereka satu persatu masuk seiring pandangan Ranaya yang kain jelas.

Ranaya bangun dan mengerjap karena silaunya matahari.

Dua orang berseragam polisi menghampiri Ranaya dan berlutut. Sementara beberapa lainnya langsung berhamburan ke dalam rumah.

POLISI 1

Apa kamu yang bernama Ranaya?

Ranaya mengangguk.

POLISI 1

Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang.

Ranaya kebingungan melihat serombongan polisi datang tanpa ada seorang pun di Lembang yang mengenalnya.

Polisi 2 berpindah tempat menuju kaki Ranaya yang terluka dan memeriksanya sejenak, lalu menekan tombol pada HT.

POLISI 2

Medis masuk medis.

Tak lama dua orang medis datang membawa tandu.

Dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Ranaya yang masih terlihat kebingungan.

CUT TO

76.HALAMAN RUMAH RANAYA-PAGI

Ranaya dibawa menggunakan tandu ke luar rumah. Dia melihat satu persatu orang-orang dari kepolisian, medis, dan beberapa wartawan berada di halaman rumahnya.

Lalu kebingungan Ranaya akhirnya bisa terjawab, ketika dia melihat seorang laki-laki berseragam ekpedisi dari perusahaan yang bertugas mengirim pesanan Ranaya berdiri di salah satu sisi.

Rupanya dia adalah kurir yang waktu itu bertugas. Dia terlihat khawatir menatap kondisi Ranaya.

Sekuat tenaga Ranaya berusaha megucapkan terima kasih lewat senyum tipis.

TAMAT.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar