SYZYGY
1. SYZYGY #1


FADE IN:


1. EXT. KOTA METROPOLITAN — PAGI

Langit mendung. Deretan gedung pencakar langit berdampingan dengan pepohonan dan ruang terbuka hijau yang luas. Jalan raya ramai oleh mobil dan sepeda, bersisian dengan jalur-jalur kereta listrik.

SUPERIMPOSED: “Ibu Kota Negara, 20XX”

  

2. INT. LORONG SEKOLAH — PAGI

LUNA, 17 tahun, berjalan cepat melewati deretan loker sambil menunduk. Rambut sebahunya menutupi kedua pipi. Earphone terpasang pada kedua telinga.

SUPERIMPOSED: “Luna”

Tiap kali berpapasan dengan siswa lain, Luna menghindar agar tidak bertabrakan. SUARA-SUARA ORANG tumpang tindih sebagai latar, tidak jelas mengucapkan apa.


LUNA (v.o.)
Aku benci bulan purnama. Karena tiap kali bulan mau purnama, duniaku jadi gaduh. Semua suara kedengaran makin keras, makin jelas. Makin berisik.


Luna bergeser lebih dekat ke loker, sekelompok siswa melewatinya dari sebelah kanan.


SISWA LAKI-LAKI #1 (v.o.)
Sin A ditambah sin B jadi... duh, lupa lagi. Apa ya?
SISWA PEREMPUAN (v.o.)
(melihat layar ponsel) Ih, di-read doang. Kapan balesnya?
SISWA LAKI-LAKI #2 (v.o.)
(menguap) Belum masuk, udah pengen pulang.


Luna menoleh ke arah berlawanan saat Siswa Laki-Laki #2 menoleh ke arahnya. Luna menunduk lagi, terus berjalan.


LUNA (v.o.)
Aku nggak ingat sejak kapan atau gimana awalnya, tapi aku bisa dengar isi kepala orang. Apa aja. Nggak bisa disaring, nggak bisa dibungkam. Aku dengar. Gitu aja. Dan kadang, aku bahkan nggak bisa bedain mana yang orang ngomong beneran, mana yang cuma di dalam kepalaku.


Luna berhenti di depan lokernya. Dia menatap pintu lokernya dengan gelisah selama beberapa saat, lalu membuka pintunya. Bergulung-gulung tisu yang basah kuyup jatuh ke lantai dari dalam loker Luna. Semua bukunya basah. Di sisi dalam pintunya, kertas-kertas ditempelkan acak, semuanya ditulisi “Lunatic” dengan spidol merah.


LUNA (v.o.)
Aku jadi nggak punya teman, tapi paling nggak, semuanya baik-baik aja.

 

Luna mengambil sebuah buku dari dalam loker. ABIGAIL dan dua orang teman perempuannya menabrak Luna dari samping. Luna jatuh terduduk di lantai. Bukunya jatuh juga. Abigail menginjak buku Luna, lalu berjongkok di depan Luna.

 

ABIGAIL
(tersenyum) Aduh, sori. Perlu dibantu?

 

Dua teman Abigail cekikikan di belakangnya. Luna hanya menggeleng, lalu mengambil buku yang tadi diinjak Abigail. Beberapa siswa yang lewat menoleh ke arah mereka, tapi tidak ada yang berhenti. Abigail melepas earphone dari telinga kiri Luna.

 

ABIGAIL (cont’d)
Makanya kalau berdiri jangan suka ngalangin orang. Lu. Na. Tic.

 

Abigail berdiri, lalu pergi bersama dua orang temannya. Luna berdiri juga, lalu tidak sengaja bertatapan dengan NELLA yang berdiri tidak jauh darinya.

               

LUNA (v.o.)
Sampai satu bulan yang lalu.

 

 

3. INT. RUANG KELAS XI IPS 2 — PAGI (FLASHBACK)

Abigail dan Nella berdiri di depan meja guru. Laptop terbuka di atas meja, GURU SEJARAH bersedekap di baliknya. Seisi kelas diam, termasuk Luna.

 

GURU SEJARAH
Jadi maksud kamu Abigail yang nyontek makalah kamu, gitu?
NELLA
I-iya, Pak.
GURU SEJARAH
Tapi di sini jelas, file makalah Abigail dibikin duluan daripada punya kamu. Lihat tanggalnya. (menunjuk layar laptop) Jadi saya tanya kamu sekali lagi, siapa yang nyontek siapa?


Nella diam, lalu mulai menangis. Siswa-siswa lain saling berbisik dan Luna bisa mendengar mereka berpikir memang Nella yang menyontek. Di tengah SUARA-SUARA itu, Luna juga mendengar Abigail tertawa.

 

ABIGAIL (v.o.)
Udah, deh. Kamu mau nangis darah juga Pak Yusman nggak bakal percaya. Siapa suruh bego. Flashdisk ada tugasnya dipinjemin gitu aja.
GURU SEJARAH
Nella, Nella. Sekalipun kamu murid beasiswa, saya tidak bisa menoleransi...

 

Luna berdiri dari kursinya. Semua orang menoleh ke arahnya.

 

LUNA
(menelan ludah) Yang bohong... Abigail, Pak.

 

Siswa-siswa lain makin keras berbisik-bisik. Guru Sejarah tampak kebingungan.

 

GURU SEJARAH
Maksud kamu?
LUNA
Abigail yang nyontek. Bukan Nella.

 

Seisi kelas makin heboh, Abigail menatap Luna tajam.


 

4. INT. LORONG SEKOLAH — PAGI (MASA SEKARANG)

 

Luna masih bertatapan dengan Nella, hingga Nella membuang muka lalu berjalan pergi.

 

LUNA (v.o.)
Mungkin harusnya aku diem aja waktu itu.

 


5. INT/EXT. YAYASAN “SATU ATAP” — PAGI

Titik-titik hujan membasahi jendela kaca. EDEN, 19 tahun, berjalan menyusuri salah satu koridor Yayasan “Satu Atap” menuju sebuah ruangan berisi beberapa kandang kucing dengan membawa ember berisi makanan kucing dan beberapa mangkuk aluminium.

SUPERIMPOSED: “EDEN”

Eden masuk ke ruangan itu, dan semua kucing yang ada di sana dengan gembira menyerbunya. Eden mulai membagi-bagikan makanan kucing ke dalam mangkuk-mangkuk aluminium sambil mengajak kucing-kucing itu mengobrol.

 

EDEN (v.o.)
Sadar nggak, kalau dunia ini bersuara? Alam juga berbahasa, sama kayak kita manusia. Lewat hujan. Angin. Petir. Tetes embun di pagi hari. Juga lewat dedaunan dan celotehnya para binatang.

    

Sementara kucing-kucing itu mulai makan, Eden menatap titik-titik hujan yang membasahi jendela.

 

EDEN (v.o.)
Makanya almarhum Papa selalu bilang, kita manusia yang cuma numpang tinggal di bumi ini wajib meluangkan waktu kita buat dengerin suaranya alam. Sebentar aja, tiap hari. Biar kita nggak besar kepala.
RATRI (o.s.)
Hayo, ngelamunin apa pagi-pagi gini? Awas kesambet, lho, Den.

 

Eden terkejut, menoleh lalu tersenyum melihat RATRI, pemilik yayasan, sudah berdiri di ambang pintu. Eden berdiri dan Ratri berjalan masuk, tampak senang melihat kucing-kucing yang makan dengan lahap.

 

RATRI
(bersedekap, memperhatikan kucing-kucing) Tapi emang, deh, kalau kamu yang kasih makan tuh beda. Selalu dihabisin. Dan mereka tuh selalu antusias banget tiap lihat kamu datang. Bikin saya iri aja.
EDEN
(tertawa, mengangkat bahu) Saya kan bisa bahasa kucing.
RATRI
(geleng-geleng kepala) Iya, deh, iya. Oh ya, mama kamu gimana kabarnya? Udah sehat?
EDEN
Hmm? Oh, udah, kok, Bu. Kemarin aja udah mulai jualan lagi.
RATRI
Syukur, deh, kalau gitu. Eh, kamu kalau ada apa-apa, bilang, lho, Den. Nggak usah sungkan. Buat saya sama Bapak, kamu tuh udah kayak anak sendiri. Ya?
EDEN
(tersenyum) Makasih, Bu. (melihat jam tangan) Eh, saya kayaknya mesti berangkat, deh, Bu. Ada kuliah pagi, dosennya on time banget orangnya. Pamit, ya.

 

Eden menyalami Ratri lalu melambai pada kucing-kucing. Dia keluar menyusuri koridor, lalu tersenyum dan berjongkok saat seekor kucing tabby berbulu oranye terang menghampirinya.

 

EDEN
(membelai bulu kucing) Pagi-pagi udah ngeluyur aja, Bo. Makan sana, udah aku taruh di tempat biasa. Hmm? Iya, sama-sama, Tabo.

 

Eden membelai kepala Tabo, lalu membiarkan si kucing berlari menjauh. Eden memperhatikan Tabo hingga kucing itu memasuki ruangan yang baru saja ditinggalkannya.

 

EDEN (v.o.)
Boleh percaya, boleh nggak, aku emang ngerti bahasa kucing. Dan nggak cuma kucing doang.

 


6. INT. MOBIL SEDAN HITAM — PAGI (MELAJU DI JALAN) 

BASKARA, 29 tahun, duduk di jok belakang mobil sambil memandang ke luar jendela. Hujan gerimis, jalanan ramai.

SUPERIMPOSED: “BASKARA”

Lampu merah, laju mobil melambat lalu berhenti. Baskara memperhatikan seorang pemulung yang berjalan di trotoar, memanggul sebuah karung besar penuh sampah di punggungnya. Pakaiannya lusuh, tubuhnya kurus dan agak bungkuk. Di sekitarnya, banyak pejalan kaki berpakaian rapi ala orang kantoran dengan payung aneka warna. Semua sibuk dengan ponsel masing-masing, tidak sedikit pun mempedulikan sosok si pemulung.

 

MARKO
Pindah ibu kota ternyata nggak menjamin apa-apa, ya, Pak?

 

Baskara beradu tatap dengan MARKO, sopir pribadinya yang duduk di belakang kemudi, lewat kaca spion dalam.

 

MARKO (cont’d)
Coba satu DPR isinya kayak Bapak semua, Indonesia pasti udah lebih maju dari Amerika sekarang.

 

Baskara tertawa kecil, lalu kembali menatap keluar jendela. Lampu lalu lintas berubah hijau, mobil kembali melaju membelah jalanan ibu kota.

 

BASKARA (v.o.)
Ya. Jakarta memang udah bukan ibu kota lagi sekarang, tapi selebihnya, nggak banyak yang berubah. Kemiskinan masih merajalela. Angka pengangguran masih tinggi. Sekolah gratis masih sebatas wacana. Rumah sakit nggak beda dari bisnis, nggak punya duit nggak dilayani. Dan pejabat korupsi masih langganan jadi headline berita.
MARKO
Bapak kenapa nggak langsung capres aja, sih, tahun depan? Kenapa mesti cawali dulu?
BASKARA
(tertawa kecil, menatap Marko) Saya harus 40 dulu baru bisa jadi presiden, Marko.
MARKO
Kenapa nggak diubah aja UU-nya? Kan Bapak DPR.
BASKARA
Iya, saya DPR, tapi bukan gitu aturan mainnya. Lagian, masih banyak hal yang lebih penting buat saya perjuangkan daripada itu.

 

Marko mengangguk paham, lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan di depannya. Mobil Baskara lalu memasuki halaman kompleks bangunan berlantai lima. Sebuah tulisan terbaca jelas pada papan nama dari batu granit di bagian depan kompleks, “DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI SURYA NUSANTARA”.


 

7. EXT/INT. GEDUNG DPP PARTAI SURYA NUSANTARA — PAGI 

Mobil yang membawa Baskara berhenti di area drop-off. Baskara turun dari mobil, lalu masuk ke gedung DPP Partai Surya Nusantara (PSN) setelah menyapa beberapa orang yang berpapasan dengannya di teras.

 

Baskara menaiki elevator menuju lantai lima, lalu berjalan menuju ruangan di ujung koridor. Tulisan “Ketua Umum PSN, Hadinata Suryadikara” terukir dalam huruf emas pada sebuah plakat yang tergantung di pintu. Baskara mengetuk pintunya dua kali, lalu masuk.

 

HADINATA duduk di belakng meja kerjanya, membaca sesuatu pada tablet pintar di tangannya. Saat Baskara berhenti di depan meja kerjanya, Hadinata meletakkan tabletnya di atas meja. Layar tablet menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja anggota DPR dari hasil survei sebuah lembaga pemerhati politik. Baskara menempati urutan teratas dalam daftar anggota DPR dengan kinerja paling memuaskan menurut survei.

 

HADINATA
Kamu bahkan lebih populer dari zaman Papa masih di DPR dulu.
BASKARA
Papa sendiri yang bilang anak harus lebih dari orang tuanya.

            

Hadinata tertawa, Baskara juga.

 

BASKARA (cont’d)
Jadi? Papa nggak panggil aku ke sini cuma buat itu, kan?
HADINATA
Selalu to the point ya (tertawa kecil). Komite pemuda kamu. Gimana kabarnya?
BASKARA
Lancar. Sesuai ekspektasi, masyarakat antusias. Tinggal tunggu eksekusinya aja. 

 

Hadinata mengangguk lalu berdiri, memunggungi Baskara dan memandang ke luar jendela kaca besar di belakang meja kerjanya dengan tangan bertaut di balik punggung. Dia diam sejenak sebelum berbalik, menatap putranya.

 

HADINATA
Sudah waktunya Indonesia berubah, Bas.  
BASKARA (v.o.)
Ya. Sudah waktunya Indonesia berubah. 
HADINATA
Jangan kecewain Papa. 
BASKARA
Nggak akan.

 

Baskara tersenyum pada ayahnya.

 

BASKARA (v.o. cont’d)
Dan aku yang akan mengubahnya.

                           

Ilustrasi gambar bumi, bulan, dan matahari yang bergerak pada orbit masing-masing lalu membentuk satu garis.

TITLE: SYZYGY

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar