SYZYGY
15. SYZYGY #15

53. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SORE

Jam dinding menunjukkan pukul empat sore kurang sedikit. Luna duduk di atas ranjang dengan lutut menekuk, menggambar sesuatu di buku sketsanya. Terdengar ketukan dari arah pintu, lalu Venna masuk, masih mengenakan seragam sekolah.

 

VENNA
Mama masih di parkiran, nanti nyusul. (mengangkat tas kain di tangannya) Makan sama-sama, yuk.

 

Luna balas tersenyum, mengangguk. Luna meletakkan buku sketsa serta pensilnya di atas meja di sisi ranjang, sementara Venna mengeluarkan dua kotak makan dari dalam tas kain dan menyerahkan salah satunya pada Luna. Venna lalu duduk di kursi di sisi ranjang.

 

VENNA (cont’d)
Umm, Luna. 
LUNA
(menoleh pada Venna) Hmm? 
VENNA
(jeda sejenak) Kak Eden... udah bilang ke kamu belum? 
LUNA
(mengerjap) Bilang... apa?

 

Venna menggumamkan ‘oh’ seolah memahami sesuatu yang tidak dipahami Luna. Luna tampak bingung, tapi sebelum dia bertanya, Venna berpindah duduk di atas ranjang, berdempet di sebelah Luna.

 

VENNA
Sebenernya malam hari pas kamu pingsan waktu presentasi itu, aku ngomong waktu berdua aja sama Kak Eden nungguin kamu di luar. Timing-nya jelek banget, sih, tapi rasanya kalau aku nggak ngomong waktu itu, selamanya aku nggak bakal ngomong. Jadi aku bilang kalau aku udah naksir dia dari kelas 10, tapi baru berani ngomong sekarang. Terus...

 

Venna menatap Luna penuh arti. Luna berusaha keras tidak membaca pikiran Venna.

 

LUNA
Terus...? 
VENNA
Terus aku ditolak (tersenyum). Katanya, makasih, tapi dia sukanya sama orang lain.

 

Venna tertawa kecil, lalu membuka kotak makannya. Luna masih terdiam, memandangi kotak makannya sendiri.

 

LUNA
Sori.       
VENNA
Hmm?       
LUNA
Aku nggak pernah tahu kamu naksir cowok waktu kelas 10. Kita satu rumah, tapi aku jarang ngomong sama kamu.

 

Venna tertegun sejenak, lalu tersenyum lebar.

 

VENNA
(menyenggolkan bahunya pada bahu Luna) Kalau gitu mulai sekarang kita harus selalu saling cerita, oke? Nanti kalau kamu ditembak, pokoknya aku harus ditraktir!

 

Luna tertawa gugup, Venna terbahak. Pintu kamar terbuka, dan Widya masuk bersama para anggota komite yang datang untuk menjenguk Luna. Semuanya mengenakan seragam sekolah, ada yang membawa bunga untuk Luna. Mereka berbincang dan menanyakan kabar Luna, hingga topik obrolan berganti menjadi soal komite.

 

ANGGOTA KOMITE #1
Tadi Pak Baskara udah sempat press con, sih. Masih belum jelas, tapi kayaknya udah pasti bubar, deh. 
ANGGOTA KOMITE #2
Sayang, ya, padahal keren banget proyek kayak gini.

 

Beberapa anggota komite lain menggumamkan hal yang sama. Luna terdiam, hingga sebuah pemikiran terlintas di benaknya.

 

LUNA
Umm, anu...

 

Semua anggota komite menatap Luna, begitu pun Widya dan Venna yang berdiri agak jauh dari ranjang.

 

LUNA
Aku mau minta tolong... boleh?



54. INT. MOBIL SEDAN HITAM — SORE

Baskara masuk ke jok belakang mobilnya, menghela napas. Wajahnya tampak lelah. Dia mengendurkan dasinya, lalu menopang dahinya dengan sebelah tangan sementara sikunya disandarkan ke pintu mobil. Dia memejamkan mata, menunggu, tapi mesin mobil tidak kunjung dihidupkan. Baskara pun mengernyit, menatap Marko yang rupanya sedang menonton video di ponselnya.

 

BASKARA
Ko, saya pusing. Bisa jalan sekarang, nggak?
MARKO
(menoleh perlahan, mengacungkan ponselnya) Pak, Bapak udah lihat ini?

 

Baskara mengernyit, lalu menerima ponsel Marko yang disodorkan padanya.

 

INSERT: Layar ponsel Marko menampilkan sebuah video yang diunggah di sebuah platform daring beberapa jam yang lalu. Video menampilkan Luna dengan sembilan anggota komite yang lain. Semuanya mengenakan seragam, kecuali Luna. Dari latarnya, terlihat bahwa video itu disyuting di kamar rawat Luna.

 

ANGGOTA KOMITE #3
Sebagai ketua angkatan pertama Komite Pemuda Peduli, saya benar-benar bangga dan bersyukur sudah diberi kesempatan ini. Saya bisa ketemu teman-teman yang hebat dari seluruh penjuru Indonesia, dan saya bisa belajar banyak banget dari Pak Baskara sendiri. 
ANGGOTA KOMITE #2
Iya. Video ini kami unggah atas inisiatif sendiri, bukan disuruh Pak Baskara atau siapa pun. Kami hanya ingin Anda semua tahu, komite ini sama sekali nggak seburuk yang diomongkan di media-media. 
ANGGOTA KOMITE #4
Kami belajar di komite ini, tidak dieksploitasi.

 

Anggota komite lain mengangguk setuju.

 

LUNA
Saya pingsan hari itu karena kondisi kesehatan saya yang lagi buruk, sama sekali bukan salahnya Pak Baskara. Pak Baskara hanya ingin memajukan negara ini dengan caranya sendiri, dan ini salah satu cara yang dipilih beliau saking cintanya sama Indonesia. (jeda sejenak) Kalau Anda juga cinta negara ini seperti beliau, saya yakin Anda pasti mengerti.

 

Baskara menggulir layar dan melihat video tersebut mendapat ribuan likes. Komentarnya juga ribuan, dan hampir semuanya bernada positif dan membela Baskara.

 

MARKO
Bapak milih anak-anak yang bener, ya, Pak?

 

Baskara tertawa kecil, lalu mengembalikan ponsel Marko.

 

BASKARA
Kalau anggota dewan masa depannya kayak mereka semua, mungkin kerjaan saya bakal lebih enteng, ya, pas jadi presiden nanti. 
MARKO
(mengacungkan jempol) Baskara Suryadikara for president! Salam Matahari!

 

Baskara tertawa lagi. Marko menyalakan mesin mobil dan melajukannya keluar dari parkiran gedung DPR.


55. EXT. HALAMAN SAMPING YAYASAN “SATU ATAP” — SORE

Eden duduk bersila di teras samping gedung Yayasan "Satu Atap". Tabo tiduran di dekat kakinya, sementara beberapa anjing dan kucing lain bermain di halaman di depannya. Luna lalu menghampiri Eden dan duduk di sebelahnya, sementara Eden membaca sesuatu dari ponselnya.

 

EDEN
(mengacungkan ponsel) Kamu nggak ikut lagi?

 

INSERT: Layar ponsel Eden menunjukkan berita tentang angkatan kedua Komite Pemuda Peduli binaan Baskara serta kepastian jadwal presentasi pertama mereka di depan anggota dewan.


Luna tertawa kecil, menggeleng.

 

LUNA
Gantian. Venna yang kepilih. Seneng banget anaknya.

 

EDEN
Lebih pas gitu, deh, kayaknya.

 

LUNA
(menoleh, menyipitkan mata) Maksudnya?

 

Eden tertawa kecil, mengangkat bahu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Luna tertawa juga, lalu mengangkat Tabo ke pangkuannya.

       

EDEN
Oh ya, yang katanya kamu bikin pembatas buku dari gambar kamu buat hadiah kenaikan temen-temenmu sekelas, gimana jadinya? 
LUNA
Ah, itu? (tertawa kecil) Mereka.. seneng, sih. Mereka bilang nggak pernah tahu kalau aku ternyata bisa gambar. Terus banyak yang heran juga kenapa aku ngasih pita warnanya bisa pas warna kesukaan mereka. 
EDEN
Berkat bisa denger, ya? 
LUNA
(tertawa kecil, mengangguk) Padahal selama ini aku selalu berharap aku nggak punya kemampuan kayak gini. Tapi... mungkin bisa gini ada gunanya juga, ya?

 

Eden tersenyum, mengangguk. Luna kembali membelai punggung Tabo, sementara Eden menatapnya lekat-lekat selama beberapa saat.

 

EDEN
Luna.

 

Luna menoleh. Eden masih menatapnya intens, tapi tidak mengatakan apa-apa. Luna mengerjap, tampak bingung.

       

LUNA
Umm, apa? 
EDEN
(tampak gugup) Eh? Lho? Kamu nggak dengar? Barusan aku... ngomong apa.

 

Luna tertegun sejenak, lalu tertawa. Ganti Eden yang tampak bingung.

 

LUNA
Eden tuh perkecualian. 
EDEN
(mengerjap) Ha? 
LUNA
(tersenyum) Kalau Eden, aku nggak bisa dengar. Terus kalau kita pegangan tangan, aku nggak bisa dengar pikiran orang lain juga. 
EDEN
Eh? Kok bisa gitu?
LUNA
(mengangkat bahu) Nggak tahu.
EDEN
Berarti selama ini, kalau kita lagi bareng gini, kamu nggak bisa denger aku mikir apa? 
LUNA
(menggeleng) Tapi jadinya kalau lagi sama Eden tuh rasanya tenang banget. Rasanya... normal.

 

Luna tersenyum pada Eden, lalu tersipu sendiri. Luna pura-pura sibuk membelai punggung Tabo untuk mengusir gugup sementara Eden masih menatapnya lekat-lekat. Cukup lama Eden hanya menatap Luna dalam diam sebelum dia tersenyum, lalu menggamit tangan Luna dan menggenggamnya.

 

EDEN
(tersenyum) Kalau gitu, kita sama-sama terus aja mulai sekarang. Mau, ya?

 

Luna menatap Eden, wajahnya memerah. Dia hanya mengerjap beberapa kali, terlalu gugup untuk menyahut. Eden tertawa kecil, Tabo mengeong.

 

EDEN (cont’d)
Masih kurang jelas?

 

Tidak menunggu Luna menyahut, Eden mencondongkan badannya mendekat ke arah Luna, lalu membisikkan sesuatu di telinga Luna. Luna mengulum senyum, dan setelah Eden mundur kembali ke posisinya semula, keduanya saling bertatapan dan Luna mengangguk perlahan.

 

Eden mengepalkan kedua tangannya ke udara, masih dengan tangan satunya menggenggam tangan Luna, lalu berteriak “Yes!” keras-keras. Luna tertawa, Tabo melompat kaget dari pangkuan Luna lalu mengeong keras, protes. Luna dan Eden tertawa lagi.

 

LUNA (v.o.)
Beberapa hal di dunia ini memang nggak bisa kita ubah. Aku masih nggak ngerti kenapa aku punya kemampuan aneh kayak gini, atau sampai kapan aku bisa denger kayak gini. Tapi kalau hal ini bisa jadi kutukan atau anugerah, aku pilih menjadikannya anugerah.

 


FADE OUT


 TAMAT

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar