SYZYGY
7. SYZYGY #7

25. EXT. MUSEUM KEBANGSAAN — PAGI

Established shot menunjukkan gedung Museum Kebangsaan RI yang berlokasi di jantung Ibu Kota Negara. Beberapa van milik media terparkir rapi di bagian depan. Di atas pintu masuknya yang terbuat dari kaca, terbentang spanduk besar dengan tulisan: “Selamat Datang Bpk. Baskara Suryadikara & 50 Besar Calon Anggota Komite Pemuda Peduli Angkatan Pertama”.


26. INT. AUDITORIUM MUSEUM KEBANGSAAN — PAGI

Suasana auditorium ramai. Tempat duduk tersusun dalam komposisi berundak, dengan panggung di bagian depan. Siswa dari berbagai SMA di Indonesia yang terpilih sebagai 50 besar calon anggota Komite Pemuda Peduli duduk secara acak di tempat yang tersedia. Semuanya mengenakan seragam putih abu-abu. Masing-masing mendapat nomor urut serta tablet dari panitia berisi ketentuan acara. Beberapa siswa tampak saling mengobrol satu sama lain, sebagian yang lain sibuk dengan esainya sendiri. Luna dan Venna duduk di barisan tengah.

 

VENNA
Rasanya aneh, ya, hari Sabtu gini pakai seragam.

 

Luna tertawa kecil, mengangguk. Venna melihat-lihat sejenak isi tablet dari panitia, lalu mematikan layarnya.

 

VENNA (cont’d)
Duh, tegang banget, nggak sih, Lun? Tanganku sampai keringat dingin semua, nih. 
LUNA
(tersenyum) Kamu tegang? 
VENNA
Ya iyalah, Luna! Kita kan mau presentasi esai kita langsung di depannya Pak Baskara. Siapa yang nggak tegang coba? Mana cuma dua menit lagi waktunya...

 

Luna diam sejenak, lalu mengeluarkan sebungkus permen pelega tenggorokan dari dalam tasnya dan menyodorkannya pada Venna.

 

LUNA
Buat... ngurangin tegang? 
VENNA
(tersenyum) Makasih, Luna!

 

Venna mengambil sebutir permen dan Luna menyimpan kembali sisanya di dalam tas.

 

VENNA (cont’d)
Omong-omong, temen satu sekolah kamu ada yang lolos juga nggak, Lun? Di sekolahku cuma aku doang.

 

Luna menatap sekeliling, lalu tidak sengaja beradu tatap dengan Abigail yang sedang mengobrol dengan siswa sekolah lain beberapa undakan di bawah tempat duduk Luna dan Venna.

 

VENNA (cont'd)
Luna? 
LUNA
(menoleh pada Venna) Oh, ng-nggak. Nggak tahu. Kayaknya nggak ada.

 

Venna mengangguk, sementara Luna berpura-pura membaca ketentuan pada tablet dari panitia. Sesaat kemudian, salah seorang PANITIA naik ke atas panggung, mengumumkan lewat mikrofon dari mimbar di sisi kanan panggung.

 

PANITIA
Semua peserta diharapkan menempati tempat duduk yang sudah disediakan. Acara akan segera dimulai.

 

Para siswa duduk, dan tepat saat jam dinding menunjukkan pukul sembilan, Baskara masuk ke auditorium dan naik ke atas panggung. Semua orang bertepuk tangan, termasuk Luna. Saat Baskara berdiri di belakang mimbar dan menghadap ke para hadirin, Luna menyadari satu hal.

 

LUNA
Ah... Yang waktu itu... 
VENNA
(berbisik) Kenapa, Lun?

 

Luna menggeleng, lalu kembali memperhatikan Baskara di panggung. Tepuk tangan mereda, tapi DENGUNG ISI PIKIRAN ORANG-ORANG terdengar lebih keras di telinga Luna. Luna mengernyit, tapi diam saja.

 

BASKARA
Selamat pagi semuanya. 
PARA SISWA
(bersama-sama, penuh semangat) Selamat pagi, Pak! 
BASKARA
(tersenyum) Terima kasih sudah memenuhi undangan saya dan hadir di sini. Sungguh suatu kehormatan bagi saya untuk memilih Anda dari hampir 2.000 pendaftar. Anda semua luar biasa, jadi mari sekarang kita bertepuk tangan untuk Anda semua yang sudah hadir di sini.

 

Para siswa kembali riuh bertepuk tangan. Tepuk tangan baru mereda saat Baskara mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar semuanya tenang.

 

BASKARA (cont’d)
Bung Karno pernah bilang, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Hari ini, saya akan memilih 10 orang dari Anda semua untuk bergabung dengan saya sebagai angkatan pertama Komite Pemuda Peduli Indonesia. Anda punya dua menit untuk membuat saya memilih Anda, jadi manfaatkan sebaik-baiknya.

 

Baskara menjeda sejenak, memandang sekeliling, lalu tersenyum.

 

BASKARA (cont’d)
Mari sama-sama kita guncangkan dunia.

 

Para siswa kembali bertepuk tangan. Baskara turun dari mimbar, lalu mendongak dan beradu tatap dengan Luna. Baskara tersenyum tipis, dan suaranya terdengar begitu jelas di telinga Luna, lebih mencolok dari suara pikiran orang-orang yang tumpang tindih di sekelilingnya.

 

BASKARA (v.o.)
Hei. Ketemu lagi.



27. INT. YAYASAN “SATU ATAP” — SIANG

Eden membawa dua boks karton yang tampak berat, menyusuri koridor di gedung Yayasan “Satu Atap”. Dia mengenakan kaus oblong, ranselnya terpanggul di punggung. Ratri berjalan di depannya, Tabo di samping Eden.

 

RATRI
Sori, ya, Den, weekend gini saya malah minta tolong kamu bantu-bantu di sini. Bapak tuh, tiba-tiba aja kepingin tempat praktiknya pindah ke sini. 
EDEN
(tertawa kecil) Nggak apa-apa, Bu, saya malah seneng bisa bantu. Sekalian biar pikiran nggak kusut.

 

Mereka masuk ke dalam salah satu ruangan yang masih minim perabot. Eden meletakkan kardus yang dia bawa di atas sebuah meja kerja yang masih kosong. Ratri lalu memberinya sebotol air mineral.

 

RATRI
Emang kusut mikirin apa, toh, Den? Mama kamu sakit lagi?

 

Eden menggeleng, berterima kasih pada Ratri untuk air mineralnya lalu membuka botolnya.

 

RATRI (cont’d)
(cemas) Terus? Ada masalah di kampus? 
EDEN
Nggak kok, Bu, aman semuanya (tertawa kecil). Cuma... yah, perasaan nggak enak aja dari tadi pagi. Nggak tahu kenapa. Soalnya mendung kali, ya, jadi mellow saya. 
RATRI
Halah, ada-ada aja kamu ini.       
EDEN
(tertawa kecil) Oh ya, mana lagi yang mesti diangkut, Bu? Masih ada? 
RATRI
Oh, ada, sih. Masih ada tiga dus lagi kayaknya. Ransel kamu tinggal aja di sini, biar nggak berat-beratin, Den.

 

Ratri berjalan meninggalkan ruangan. Eden meletakkan ranselnya di dekat dus di atas meja, lalu gantungan kunci bulan sabit yang dia gantungkan pada ritsletingnya tiba-tiba saja terjatuh ke lantai. Gantungan kunci itu menggelinding ke depan Tabo. Tabo mengeong, membuat Eden menoleh padanya. Eden tertegun melihat gantungan kunci bulan sabitnya tergeletak di lantai. Wajahnya seketika tampak cemas.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar