SYZYGY
3. SYZYGY #3

12. INT. RUANG VOLUNTER YAYASAN “SATU ATAP” — SIANG

Luna duduk di depan meja pantri, handuk besar melingkupi badannya. Dia masih mengenakan seragamnya yang basah, rambutnya juga masih agak basah. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dalam diam, lalu menatap Eden yang sedang memanaskan air di depannya. Tidak lama kemudian, Eden berbalik dan meletakkan secangkir cokelat hangat di atas meja di depan Luna.

 

EDEN
Kalau dunia lagi bising banget, nggak ada salahnya, kok, kita nyepi bentar. Biar tetep waras. 
LUNA
Kamu juga... bisa dengar? 
EDEN
Dengar? 
LUNA
Ng-nggak. Nggak apa-apa.


Luna menarik cangkir dari Eden mendekat, menatap cokelat hangat di dalamnya untuk menghindari tatapan Eden. Eden diam sejenak, lalu berjalan meninggalkan meja pantri.

 

EDEN
Diminum aja dulu cokelatnya. Tenang aja, nggak saya racun, kok (tertawa). Saya ambilin baju ganti dulu di loker saya, ya. Kayaknya ada. 
LUNA
Ng-nggak usah.


Luna buru-buru berdiri, lalu tidak sengaja menjatuhkan ransel yang dipangkunya ke lantai. Seragam olahraga yang dia letakkan di atas ranselnya terjatuh juga, dan Eden pun melihat tulisan “Lunatic” yang dicoretkan pada bagian punggungnya. Keduanya terdiam sejenak, tapi saat Eden berniat mengambil seragam Luna dari lantai, Luna menyambarnya duluan. Luna melipat seragam olahraganya supaya tulisannya tidak kelihatan dari luar.

 

EDEN
Kamu harus kasih tahu seseorang. Orang tua kamu, atau guru kamu di... 
LUNA
Percuma. Nggak ada yang percaya karena yang jahilin saya ketua OSIS, anaknya kepala yayasan. 
EDEN
(menunjuk kaus di tangan Luna) Walaupun buktinya sejelas itu?

 

Luna tidak menjawab. Dia hanya menunduk, meremas kaus olahraga di tangannya.

 

EDEN (cont’d)
Saya tahu ini bukan urusan saya, tapi...

 

Luna mengambil ranselnya dari lantai dan memanggulnya di bahu, lalu menatap Eden.

 

LUNA
Makasih. (jeda sejenak) Makasih.

 

Eden berniat mengucapkan sesuatu, tapi Luna lebih dulu berlari melewatinya, keluar dari ruangan.



13. INT. KAMAR LUNA — MALAM

Hujan sudah tinggal gerimis setelah seharian turun. Luna duduk di depan meja belajarnya, mencoret-coret buku sketsa dengan pensil. Earphone terpasang pada kedua telinganya, mengalunkan instrumental piano dalam volume pelan.

 

Luna lalu meletakkan pensilnya, selesai menggambar sketsa secangkir minuman cokelat. Dia menghabiskan beberapa saat memandangi gambarnya sebelum menatap tangan kanannya, mengingat saat Eden sempat memegang tangannya tadi siang. Luna mulai melamun, lalu terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Luna melepas earphone dari telinganya.

 

ENGGAR (o.s.)
Luna? Om boleh masuk?

 

Luna berdiri dengan sedikit enggan, menghampiri pintu kamarnya dan membukanya. ENGGAR, ayah angkat Luna, tersenyum menyapanya. Luna membuka pintunya lebih lebar dan mundur, mempersilakan Enggar masuk.

 

ENGGAR
Tadi kata Widya kamu basah kuyup pas pulang. Kehujanan? 
LUNA
Dikit.       
ENGGAR
Tapi nggak sakit, kan? Nggak demam?

 

Luna menggeleng. Enggar tampak lega.

 

ENGGAR (cont’d)
(diam sejenak) Kamu nggak mau pulang bareng Venna aja? Kalau dijemput sama Widya juga, kan nggak perlu kehujanan kayak tadi. 
LUNA
(menggeleng) Nggak usah, Om. Nanti ngerepotin. MRT aja.

 

Enggar mengangguk, tapi Luna bisa mendengarnya menggumam kecewa di dalam hati. Luna diam saja.

 

ENGGAR
Ya udah, kalau gitu... oh, kamu udah makan?

 

Luna mengangguk, dan Enggar mengangguk lagi. Suasana menjadi lebih canggung.

 

ENGGAR (cont’d)
Ya udah, kalau gitu Om tinggal dulu.

 

Enggar keluar dari kamar Luna, tapi baru selangkah melewati ambang pintu, Enggar berbalik lagi. Luna tidak jadi menutup pintu. Keduanya berpandangan dalam diam selama sesaat.

 

ENGGAR
Kalau ada apa-apa, Luna cerita sama Om, ya? Atau sama Widya, atau sama Venna. Senyamannya kamu aja. Kita keluarga. Ya?

 

Luna hanya mengangguk, dan Enggar menepuk pundak Luna lalu berbalik dan meninggalkan kamar Luna. Luna menutup pintu, kembali duduk di depan meja belajarnya. Dia menaikkan kedua lututnya ke atas kursi dan memeluknya, lalu meraih bingkai foto yang terletak di sudut meja. Foto Luna kecil bersama kedua orang tuanya.


14. INT. KAMAR RAWAT RUMAH SAKIT — SENJA (FLASHBACK)

Luna kecil, 10 tahun, duduk di atas ranjang rumah sakit dengan mengenakan gaun pasien. Selang infus terpasang pada punggung tangan kirinya. Perban melilit pada dahi, lengan serta kaki kanannya. Ranjang yang lain kosong. Enggar duduk di kursi di sebelah ranjang Luna, wajahnya tampak kusut dan sedih.

 

LUNA KECIL
Mama sama Papa mana? 
ENGGAR
(terisak, menggeleng) Mama sama papanya Luna... udah pergi duluan, Nak. 
LUNA KECIL
Kenapa Luna nggak diajak? 
ENGGAR
(mengusap mata yang basah, berusaha tersenyum) Soalnya... soalnya mereka sayang banget sama Luna.       
LUNA KECIL
Tapi Luna mau ikut.

 

Enggar beringsut mendekat ke ranjang, lalu menggenggam tangan Luna kecil.

 

ENGGAR
Mbak Indah bilang, Luna di sini dulu sama Om. Nanti kalau udah waktunya, Luna bisa ketemu lagi sama mama dan papa Luna. Tapi sebelum itu, Luna jadi anak Om dulu, ya? Luna nggak perlu panggil Papa kalau nggak mau, tapi Luna tetap anak Om. Kita keluarga. Ya?



15. INT. KAMAR LUNA — MALAM (MASA SEKARANG)

Luna meletakkan kembali bingkai foto di tangannya ke tempatnya semula di ujung meja. Dia menatap sketsa secangkir cokelat pada bukunya, lalu menoleh ke arah jendela. Hujan sudah berhenti, dan bulan purnama balas menatap Luna dari langit malam.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar